Sekolah Davos (*Bagian 2)


518

Sekolah Davos (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah

Pada bagian pertama tulisan, kita telah membahas upaya yang dilakukan oleh Prof. Klaus Schwab dalam menciptakan sekolah kader pemimpin masa depan global, yang kelak akan menjalankan program sang Ndoro besar. Setidaknya itu yang diungkapkan oleh Ernst Wolff. (baca disini)

Berbicara dengan David Gergen di Harvard pada 2017 silam, Schwab dengan bangga menyatakan: “Kami telah berhasil menembus kabinet dengan memajukan kader pemimpin muda global besutan Davos.” (https://twitter.com/i/status/1487267873777201158)

Dengan kata lain, sudah banyak alumni sekolah Davos yang telah menempati pos-pos penting secara global, dan ini sesuai ekspektasi Schwab. Singkatnya, para alumni sengaja ‘dilatih’ untuk memajukan agenda WEF.

Uniknya menurut Wolff, sangat sedikit alumni YGL yang berani blak-blakan tentang status mereka pada sekolah Davos tersebut.

Selain itu sangat jarang alumni sekolah Davos yang mengakui bahwa pencapaian yang mereka lakukan pada jenjang karir mereka, sebenarnya nggak terlepas dari ‘sokongan’ yang diberikan kartel Ndoro besar.

Lantas apa yang menyebabkan mereka berhasil menjadi alumni YGL?

Menurut Wolff, kemungkinan besar mereka dipilih karena kesediaan untuk melakukan apapun yang diperintahkan. Jadi tolok ukur yang dipakai adalah kepatuhan pada perintah yang diberikan. Dan ini berhasil dibuktikan saat plandemi Kopit digelar secara serentak di dunia.

Bagaimana pola pelatihan sekolah Davos?

Sekali lagi Wolff mengungkapkan bahwa di tahun-tahun awal sekolah, setiap anggota mengadakan pertemuan beberapa kali dalam setahun, termasuk sesi ‘pelatihan eksekutif’ selama 10 hari di Harvard Business School. Sesi ini perlu dilakukan agar setidaknya terbentuk kedekatan emosional antar sesama siswa.

Jadi kalo kemudian berhasil memimpin suatu organisasi atau negara, antar mereka nggak akan canggung melakukan komunikasi, karena sekolah Davos sudah menjembatani kedekatan itu. Secara umum, setiap siswa akan menjalani masa sekolah selama 5 tahun, dengan interval pelatihan yang tidak bisa diprediksi alias nggak teratur.

Alumni sekolah Davos sangat spektakuler dalam meraih karir di masing-masing bidangnya.

Setidaknya kalo merujuk pada laporan tahunan Forbes tentang 100 orang wanita paling berpengaruh di dunia, ada sederet nama yang jadi alumni sekolah Davos, dari mulai Christine Lagarde selaku mantan Direktur Pelaksana IMF hingga Ratu Rania dari Yordania.

Pada gender pria, ada nama mentereng yang saya jamin anda kenal, dialah Larry Flink selaku CEO BlackRock, yang juga alumni sekolah Davos.

Wolff mengatakan, bahwa jika ada alumni yang sukses, maka tak segan akan membantu alumni lainnya agar mereka juga meraih sukses, karena memang itu yang ditanamkan oleh YGL. Dengan adanya prinsip saling tunjang, maka manakala mereka siap, program besar sang Ndoro yang diberikan pada mereka, bisa dieksekusi dengan baik.

Misalnya saat Bill Gates yang telah lama berbisnis dengan jaringan Big Pharma dengan tujuan menguasai pangsa vaksin global, itu bukan terjadi secara kebetulan karena memang ada rencana besar yang akan dibuat melalui skema vaksinasi.

Atau misalnya Larry Fink yang menguasai seluk beluk bank sentral dunia, utamanya dalam upaya mengumpulkan data penduduk dunia melalui jaringan mereka, sengaja dipasang pada BlackRock agar program digital ID yang terkoneksi dengan sistem data perbankan, bisa direalisasikan.

Memangnya apa tujuan akhir dari genk Davos, sehingga mereka membutuhkan kerja nyata para alumninya?

Wolff mengatakan bahwa penggunaan uang digital berbasis blockchain, yang akan menjadi muaranya.

Ini harus dilakukan karena lockdown berhasil menguras aset cadangan devisa yang dikelola IMF, yaitu SDR (Special Drawing Rights). Seiring dengan banyaknya utangan yang diberikan, maka cadangan SDR akan semakin menipis.

Satu-satunya cara yang bisa dilakukan sebagai antisipasinya adalah dengan menggunakan uang digital berbasis blockchain. Nggak perlu cadangan devisa sehingga dana yang bisa dipakai unlimited jumlahnya.

Untuk memuluskan rencana ini, dua negara telah dipersiapkan, yaitu: Swedia dan Swiss. Nggak aneh jika kedua negara tersebut sangat sedikit memberlakukan pembatasan selama plandemi Kopit, tujuannya agar ekonominya hanya sedikit terdampak.

Sebaliknya, mereka telah menguji cobakan penggunaan uang digital, bahkan sebelum plandemi Kopit digelar secara global. (https://cointelegraph.com/news/swedens-central-bank-to-partner-with-accenture-to-launch-e-krona) (https://www.cnbc.com/2019/10/09/swiss-central-bank-snb-explores-use-of-digital-currency-for-trading.html)

Pada tataran operasional, saat ekonomi global berhasil dihancurkan oleh kebijakan konyol dibalik plandemi Kopit, maka akan berimbas pada meningkatnya angka pengangguran secara global.

Dan solusi untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memberikan Pendapatan Dasar Universal (Universal Basic Income/UBI) yang diatur oleh negara lewat peran bank sentral.

Sekarang coba jawab: UBI akan menggunakan platform digital currency atau uang kertas?

Satu yang mungkin anda perlu sadari, bahwa UBI akan diberikan dengan segudang syarat. Salah satunya adalah kepatuhan anda pada pemerintah dan otoritas yang berwenang. Jika anda nggak patuh, jangan harap UBI akan diberikan kepada anda.

Lalu, apa yang bisa dilakukan dalam melawan rencana jahat genk Davos?

Wolff sekali lagi kasih saran: “Dengan menyadari skenario yang mereka kembangkan bahwa ada virus super berbahaya yang akan mengancam umat manusia, pada hakikatnya adalah kebohongan semata. Semakin banyak orang yang sadar akan hal ini, semakin besar rencana jahat mereka dihancurkan.”

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!