Saat Janji Sorga Kini Melayang


523

Oleh: Ndaru Anugerah

Suriah, Maret 2011. Perang yang di-framing oleh media mainstream sebagai perang sektarian bernuansa mazhab berkecamuk di belahan selatan Deraa sebagai penanda mulainya perang sipil di negara yang berbatasan dengan Turki tersebut. Target dari perang ini, saya sudah pernah ulas. (baca disini)

Untuk menyukseskan acara, maka para jihadis seantero jagat diundang melalui operasi sarang Hornet yang mengumbar kesadisan. Para sponsor dikerahkan demi memuluskan rencana yang telah dirancang oleh sang ndoro besar. Tak terkecuali di Indonesia.

Puluhan tagar bersandi #save, terus digulirkan oleh para pengasong khilafah di tanah air. Tujuannya ada dua. Pertama guna menggalang dana. Kedua dana yang didapat kemudian disalurkan untuk memberangkatkan para jihadis ke Suriah plus iming-iming gaji selangit.

Begitulah siklusnya.

Dana jutaan dollar digelontorkan demi menumbangkan rejim Bashar Assad. Sayangnya rencana ternyata nggak seindah kenyataannya. Suriah yang disokong mati-matian oleh Rusia, belakangan malah menjungkir balikan ‘rencana kudeta’ tersebut.

ISIS yang dijadikan proxy AS dan Israel, berhasil dipukul mundur, hingga akhirnya dipaksa mengibarkan bendera putih. Padahal Abu Bakar Al Baghdadi selaku amir, sudah mendeklarasikan berdirinya pemerintahan Khilafah di atas bumi Syam tersebut.

Kini para jihadis yang berada di kamp pengungsian, bingung mau ngapain karena janji sorga yang dulu pernah dijanjikan, kini entah kemana?

Masalah diperparah saat Bashar Assad mulai mengeluarkan ultimatum untuk segera mengeksekusi para jihadis ISIS tersebut pada pertengahan tahun 2020 ini. Masuk akal, mengingat para pengungsi tersebut merupakan beban tersendiri bagi pemerintah Suriah jika tidak segera diselesaikan.

Mendengar rencana ini, mendadak makin ciut-lah nyali para eks jihadis tersebut. Siapa juga yang nggak bergidik mendengar kabar akan adanya rencana eksekusi dari Bashar Assad.

Aneh juga kalo dipikir. Padahal, kalo seruan jihad yang kerap mereka teriakan untuk menumbangkan rejim thogut, bukankah jika mereka mati bisa otomatis langsung masuk surga lengkap dengan 72 bidadarinya?

Singkat kata, nangis Bombay-lah mereka secara berjamaah sedemikian hingga tangisan tersebut terdengar di telinga Trump sebagai sang ndoro besar.

Pusing tujuh keliling mendengar tangisan tersebut, maka keluarlah statement dari Trump: “Semua negara wajib menulangkan dan mengadili para kombatan ISIS dari Suriah secepatnya.”

Apakah seruan ini efektif?

Sama sekali tidak. Di negara-negara Eropa sendiri, sebagai sekutu dekat AS, gelombang demonstrasi yang menolak kepulangan para kombatan ISIS tersebut ke negara mereka masing-masing, makin marak digelar. Siapa juga yang mau pelihara ular bludak?

Kalo yang dikirim pulang itu Mia Khalifah, mungkin mereka bakal sukarela menerimanya. Nah ini, para pengasong khilafah yang gak ada otaknya dan cuma bisa teriak ‘traktir’? Buat rusuh saja.

Bagaimana dengan di negara +62?

Wacana pemulangan kombatan ISIS sempat mengemuka. Tak tanggung-tanggung, sekelas menteri Agama yang jadi whistle blower-nya secara langsung. “RI berencana memulangkan pengungsi ISIS di kamp Suriah (yang berasal dari Indonesia), sebanyak 660 orang,” demikian ungkapnya.

Sontak, ide konyol tersebut mendatangkan sikap pro dan kontra.

Yang pro, dapat kita petakan sebagai supporter ISIS. Partai Sapi contohnya. Termasuk lembaga negara dan LSM yang kerap menyuarakan HAM di Indonesia. “Indonesia wajib menerima para WNI eks ISIS yang hendak kembali ke Indonesia,” demikian bunyi siaran pers-nya.

Kalo kita paham bagaimana para proxy tersebut bekerja di Indonesia lengkap dengan kucuran dananya, kita nggak bakalan kaget. Memang begitu cara kerjanya. Jualan HAM untuk diterapkan di Indonesia. Padahal kita tahu, apa HAM sudah diterapkan secara saklek di Mamarika sana?

Apakah hanya supporter ISIS yang bersuara keras terhadap pemulangan jihadis tersebut?

Tentu tidak. Ada kubu eks miliiter yang punya kepentingan yang sama terhadap rencana tersebut. FR bersama kelompoknya, ada dibarisan itu. Kenapa mereka ikutan beraksi?

Ada ketidaknyamanan para eks militer tersebut, melihat supremasi sipil bertengger di negara ini. Setidaknya selama 2 periode, selepas Pepo berkuasa. Dan mereka juga punya agenda politik.

Bagi mereka, yang memimpin republik ini harus berasal dari golongan pemegang bedil, bukan sipil. Walaupun mereka kerap koar-koar apa yang mereka lakukan demi kepentingan bangsa, namun kepentingan bisnis mereka-lah yang jadi tujuan sebenarnya, bukan yang lain. Business as usual.

Skenario yang awalnya hendak dipakai adalah: negera menerima kepulangan jihadis ISIS ke tanah air atas desakan banyak pihak. Alih-alih akan ada program deradikalisasi kemudian, ujungnya para kombatan itu malah bikin ulah dengan aksi bom sana sini diakhir cerita.

So far, berapa banyak program deradikalisasi yang berhasil?” demikian ungkap seseorang.

Nah kalo situasi rusuh mulai tercipta, mungkinkah sosok pemimpin sipil yang bisa ambil alih keadaan?

Tiba-tiba, jeng-jeng… muncul-lah sosok yang ada bau-bau militernya sebagai alternatif pemimpin yang punya strong leadership. Untuk hal itu, kelompok tersebut sudah menyiapkan sosok yang bakal dimajukan. Momen 2024-lah yang jadi targetannya. Percayalah..

Ini bukan tanpa sebab, mengingat mereka telah mendeklarasikan tim inti pemenangan JOMIN tempo hari, menjadi ormas. PBL namanya. Apa target mendirikan ormas, kalo bukan parpol sebagai muaranya?

Apakah Jokowi tak mengetahui ini semua? Tahu-lah. Tinggal tunggu momen di reshuffle nanti. Maka jangan hanya diam menyaksikan blunder demi blunder yang kerap mereka buat.

“Karena terus percaya sama mereka, sama aja dengan percaya kalo Lucinta Luna bisa keguguran.”

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Akttivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!