Perang Erdogan
Oleh: Ndaru Anugerah
Adalah seorang guru di Perancis sana yang bernama Samuel Paty. Nah nih guru ngajarin murid-muridnya tentang kebebasan berpendapat di negara tersebut.
Entah saking semangatnya apa gimana, Samuel Paty melakukan tindakan offside dengan menunjukkan kartun Nabi Muhammad yang pernah diterbitkan majalah satir Charlie Hebdo di tahun 2015, kepada murid-muridnya.
Alih-alih mengajarkan nilai demokrasi ala Perancis kepada murid-muridnya, peristiwa ini kemudian berbuntut panjang.
Salah satu anak yang bernama Abdoullakh Anzorov (18) seorang keturunan Chechnya, nggak terima terhadap perlakuan Paty yang dianggap telah melakukan pelecehan terhadap Islam. Nggak banyak cerita Paty lalu dipenggal kepalanya oleh anak tersebut. (https://sputniknews.com/europe/202010211080840842-suspected-killer-of-french-teacher-found-victim-after-bribing-schoolchildren-prosecutor-says/)
Sontak masalah ini jadi perbincangan hangat di Perancis. Lebih ramai lagi saat Presiden Macron nimpalin perlakuan Anzorov pada Paty dengan ungkapan, “Ini merupakan serangan teroris Islam.”
Bukan itu saja, lalu Macron punya rencana untuk mereformasi Islam yang ada di Perancis agar sesuai dengan nilai-nilai republik karena dianggap tengah dalam kondisi kritis. (https://www.washingtonpost.com/outlook/macron-france-reform-islam-paty/2020/10/23/f1a0232c-148b-11eb-bc10-40b25382f1be_story.html)
Nggak terima terhadap pernyataan Macron yang dianggap telah membela ‘penghujat’ Islam, Erdogan yang selama ini mem-branding dirinya sebagai ‘sultan’ bereaksi keras dengan mengatakan, “Sebaiknya Macron melakukan tes kejiwaan.” (https://www.bbc.com/news/world-europe-54678826)
Menanggapi situasi ini, majalah Charlie Hebdo bukannya meredam malah kasih ‘amunisi’ tambahan dengan menurunkan kartun ‘cabul’ tentang Erdogan yang tengah duduk di kursi sambil memegang minuman kaleng di tangan kanan, sementara tangan kirinya mengangkat rok seorang wanita yang mengenakan jilbab. (https://www.dw.com/en/erdogan-slams-scoundrels-over-charlie-hebdo-cartoon/a-55421236)
Makin senewen-lah sang Sultan.
Perang Erdogan dan Macron ini bukan yang pertama. Pada saat Macron melakukan kunjungan ke Beirut di Agustus silam, Erdogan tanpa canggung langsung menuding bahwa Perancis punya misi ‘kolonial’ di Lebanon. (https://www.brusselstimes.com/news-contents/world/126580/erdogan-accuses-macron-of-colonialism-and-spectacle-in-lebanon-as-tensions-rise-between-turkey-and-france/)
Bisa dibilang, kalo kasus Samuel Paty merupakan lanjutan perseteruan tersebut.
Sebagai tokoh yang menganggap dirinya sultan, Erdogan sangat piawai dalam mempromosikan dirinya. Coba tengok akun media sosial yang dimilikinya, semuanya mencoba menggambarkan betapa Islamis-nya beliau. Bahkan banyak kalangan menilai sosok Erdogan sebagai pemimpin al-Ikhwan al-Muslimin masa depan dengan kemeja jas yang akan membawa ke masa kejayaan Islam.
Wajar jika kasus pemenggalan Samuel Paty, Erdogan langsung bereaksi. Masa iya sultan diam-diam aja menanggapi kasus penistaan model gitu?
Dibalik reaksi kerasnya, ada tudingan bahwa sang sultan tengah menanamkan pengaruh geopolitik Turki ke banyak negara karena ada tujuan untuk memunculkan kembali negara neo-Ottoman.
Kalo tudingan ini benar adanya, maka rencana Erdogan tersebut sejauh ini masih mengalami banyak kegagalan. Kok bisa?
Saat niatnya untuk memporak porandakan Suriah, sang sultan malah kerjasama dengan negara-negara NATO yang dipimpin AS yang notabene-nya justru merupakan negara-negara ‘kafir’.
Eh, sudah mati-matian dukung perang Suriah, nyatanya usahanya tersebut beroleh kegagalan saat Rusia, Iran dan milisi Hizbullah justru datang untuk membantu Bashar Assad.
Ketika Erdogan berniat menanamkan pengaruh di kawasan Mediterania dengan mengancam orang-orang Yunani, langkahnya tersebut terpaksa ditarik mundur saat Perancis turun tangan membela Yunani. (https://greekcitytimes.com/2020/09/27/france-and-turkey-trial-of-strength-in-the-mediterranean/)
Dan yang paling gres adalah upaya Turki untuk memprovokasi serangan di Nagorno-Karabakh dengan harapan dapat memicu perang, kembali langkahnya terkendala oleh negeri Beruang Merah. (https://middle-east-online.com/en/russia-disagrees-turkeys-position-nagorno-karabakh-conflict)
Dengan kata lain, sudah banyak kasih sokongan dan buat gerakan, nyatanya pengaruh geopolitik yang diinginkannya nggak juga terwujud.
Yang paling anyar, kembali sang sultan kasih himbauan untuk memboikot semua produk Perancis kepada komunitas Muslim akibat tindakan Macron yang membela Samuel Paty. (https://www.aljazeera.com/news/2020/10/26/turkish-president-call-for-sweeping-boycott-of-french-goods)
Akankah tindakan ini berhasil? Entahlah.
Satu yang pasti bahwa sang Sultan lupa kalo istrinya (Emine Erdogan) merupakan seorang penggila produk buatan Perancis, salah satunya tas tangan bermerek Hermes dengan harga selangit. (https://ahvalnews.com/emine-erdogan/emine-erdogans-hermes-handbag-focus-after-french-boycott)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments