Bicara tentang people power, memang nggak ada habisnya. Hampir semua gejolak yang ada dibelahan bumi, memakai people power untuk bergerak demi meruntuhkan sebuah rejim. Gerakan reformasi 1998 dan pilkada DKI tempo hari, keduanya memakai people power untuk menggelembungkan aksinya.
Lantas, apa beda antara keduanya?
People power secara harfiah berarti kekuatan rakyat sebagai kekuatan sosial yang biasanya diterjemahkan sebagai gerakan rakyat secara masif untuk turun ke jalan guna menumbangkan sebuah rejim yang berkuasa.
People power ada 2 jenis. Pertama yang berdarah-darah. Itulah revolusi. Sedangkan yang kedua bersifat damai. Itulah reformasi.
Baik gerakan reformasi 1998 dan gerakan massa 212 saat gelaran pilkada tempo hari, boleh dikatakan sama. Keduanya nyaris tidak berdarah-darah. Keduanya bukan revolusi. Keduanya hanya people power dalam arti yang kedua.
Cuma bedanya, pada reformasi 1998, people power-nya terbangun dengan suksesnya dan ‘seolah-olah’ memaksa pak Tua untuk turun dari singgahsananya atas pesanan ‘boss besar.’ Sedangkan people power pada aksi 212 boleh dibilang gagal total, karena yang sebenarnya disasar untuk ditumbangkan, toh buktinya tetap bercokol. Walaupun atas pesanan ‘majikan yang sama’.
People power sebenarnya adalah bagian dari perang asimetrik. Ini sudah banyak saya ulas. Ada tiga langkah utama: Isu-Aksi-Pendudukan. Pada 1998, isu yang dimainkan adalah turunkan harga dan stop KKN alias Korupsi-Kolusi-Nepotisme yang melekat erat pada rejim otoriter Soeharto. Sedangkan pada aksi 212, isu-nya adalah penjarakan penista agama (Islam), yah Ahok dalam hal ini.
Nah, sedikit mengulas aksi 212, ada langkah antisipasi telat yang diambil pemerintahan Jokowi. Aksi mulai membesar, eh laporan intelijen baru masuk ke istana. “Darurat pak. Aksi ini bukan untuk memenjarakan Ahok, tapi untuk menurunkan Bapak.” Yaelah, kemana aje tong…
Dan hanya orang-orang yang mempunyai kemampuan intelijen, yang bisa mengurai ‘operasi intelijen’ berbalut aksi massa tersebut. Orang-orang yang saya maksud adalah para mantan perwira tinggi yang ada disekeliling Jokowi. Ada Luhut Binsar, Hendropriyono dan juga Moeldoko. Setidaknya merekalah yang berperan besar untuk meredam gerakan people power kala itu.
Terbayang jika aksi saat itu tidak berhasil diredam?
Apakah gerakan people power akan berhenti menjelang pilpres dan pasca pilpres 2019 ini? Belum tentu.
Adalah Amien Rais yang kemudian menyuarakan kembali gerakan bernada sama: “Kalo nanti terjadi kecurangan (pilpres), … kita nggak akan ke MK. Nggak ada gunanya. Tapi kita langsung people power,” demikian ujarnya pada Minggu (31/3) di Mesjid Sunda Kelapa, Jakarta.
Lewat seruan ini, seakan AR hendak mengulang kembali nostalgia reformasi 1998, dimana oleh sebagian pihak dia dinobatkan sebagai bapak Reformasi. Romantisme banyaknya orang yang larut pada gerakan people power tersebut, kembali dihembuskan olehnya.
Seakan orang mau diajak untuk turun ke jalan. Seakan orang memilik keingingan yang sama untuk menurunkan rejim. Seakan-akan hanya paslon 02 yang boleh menang pilpres.
“Untuk people power, butuh kondisi minimal yang harus dipenuhi. Ada masalah ekonomi yang dijadikan alasan utamanya, atau masalah keyakinan yang dinista,” begitu kata seorang narsum.
Pertinyiinnyi: apa kedua prasyarat tersebut dipenuhi?
Dengan kata lain, gerakan people power yang digaungkan oleh si Admin, tak lebih hanya sekedar omong kosong semata. Ibarat lagi horny berat, tapi nggak ada pelampiasannya. Apa lacur hanya onani jawabannya.
Kenapa si Admin kok sampai ngotot koar-koar untuk menyulut people power digelaran pilpres kali ini?
Yah karena ada bos besar yang memerintahkannya. Ada kepentingan bos besar di Indonesia yang tengah dikoyak-koyak oleh si paman Gepetto. Dan dia kudu bergerak. Kenapa harus dia? Karena dia adalah pion bos besar itu sendiri.
Gak percaya? Coba tilik dari mana dia mendapatkan gelar doktornya? Apakah gelar itu didapatkannya dengan cuma-cuma? Masih ingat sama ulasan saya sebelumnya tentang the Chicago Boys?
Ahh…Pilpres 2019 ini memang makin menarik untuk diulas. Bagaimana akhir cerita strategi si Tukang Kayu dalam menaklukkan pion-pion boss besar yang tengah mengoyak singgahsananya. Akankah people power berubah menjadi kampret power?
“Kok kampret power? Lha kan cuma kampret aja yang bergerak, semvak merah…”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments