Pelajaran Berharga dari Kongo


522

Apa yang terbayang dipikiran anda manakala mendengar nama AFRIKA? Selain kering berkepanjangan, kelaparan, dan wabah penyakit, pastinya juga konflik bersenjata. Framing inilah yang sengaja didengungkan oleh media mainstream internasional yang banyak kita temui di televisi dan juga dunia maya.

Mungkin sebagian benar adanya. Tapi kalo kita kritis sedikit, coba kita perhatikan secara seksama, mengapa konflik bersenjata kerap melanda benua hitam tersebut?

Jawabannya satu: karena benua Afrika kaya akan sumber daya alamnya.

Kenal negara Sierra Leone dan Botswana? Mereka terkenal akan berliannya. Tahu negara Burundi? Negara tersebut kaya akan nikel-nya. Pernah dengar Mozambique? Negara ini terkenal dengan hasil alumunium dan gas. Atau Benin yang kaya akan emas-nya.

Semua negara tersebut terletak di benua hitam. Karenanya wajar memicu konflik bersenjata disana. karena benua ini kaya akan hasil SDA-nya, yang konon memberikan kontribusi sekitar 30% total pasokan dunia.

Wajar kalo kemudian banyak pihak yang punya kepentingan atas benua hitam. Dan kalo kepentingannya tidak diakomodir, bisa dipastikan perang akan terjadi. Ujung-ujungnya yang jadi korban adalah rakyat jelata yang nggak tahu apa-apa. Dan ironisnya, kita hanya tahu kalo perang terjadi disana, tanpa tahu sebab utamanya.

Tak terkecuali Kongo.

Terlahir dengan nama Zaire, Kongo awalnya adalah negara koloni Belgia. Layaknya negara Afrika, negara ini juga sangat kaya akan SDA-nya. Koltan yang menjadi bahan baku komponen barang-barang elektronik semisal telepon genggam dan komputer, Kongo-lah sebagai salah satu penghasilnya.

Belum lagi kobalt yang jadi bahan baku baterai dari produk keluaran iPhone dan juga mobil listrik Tesla, juga berasal dari negara ini. Tak terkecuali Microsoft dan Renault hingga Huawei juga menggunakan bahan baku kobalt yang berasal dari Kongo.

Belum lagi kandungan uraniumnya dan juga emas. Gak aneh negara-negara maju makin ngiler untuk dapat ‘menguasai’ negeri Kongo. Tak heran jika kudeta bersenjata jadi pilihan manakala rejim yang berkuasa berada sisi haluan idelogi yang berbeda.

Apa maksudnya?

Tahun 1965, sebagai kepanjangan perang dingin antara ideologi sosialis dan ideologi kapitalis, Kongo-pun bergolak. Mobutu Sese Seko yang disokong oleh Belgia dan sekutunya, mengkudeta presiden Patrice Lumumba yang beraliran sosialis. Kudeta tersebut meraih sukses, dan negara-negara Barat kemudian mendapatkan jatah konsesi SDA atas bumi Kongo.

Mirip-mirip rejim Orde Baru di bawah diktator Soeharto, Kongo-pun dibawah pimpinan Mobutu Sese Seko berubah menjadi rejim yang sangat otoriter. Korupsi merajalela disemua lini, ekonomi negara amburadul, hutang negara menumpuk dan akibatnya terjadi ketimpangan pembangunan di negara tersebut. Jurang antara si kaya dan si miskin makin menganga. Kecemburuan sosial menemukan ladangnya.

Selama memimpin Kongo selama kurang lebih 30 tahun, Mobutu tercatat menjalankan rejim kleptokrasi. dimana uang negara dia rampok demi memperkaya diri sendiri. Bahkan rekeningnya di bank Swiss sudah mencapai angka USD 4 milyar. Sungguh fantastik.

Sebagai lembaga Bretton Woods, IMF dan Bank Dunia tahu akan kebiasaan Mobutu yang kerap menggarong uang negara, termasuk uang pinjaman dari kedua lembaga tersebut. Namun mereka tutup mata, karena tahu bahwa Mobutu adalah boneka Barat yang harus mendapatkan sokongan mereka sepenuhnya.

Seiring berjalannya waktu, di akhir 1990an, komunisme dunia mulai berguguran, di mulai dengan Rusia dan negara-negara sosialis di belahan Eropa Timur. Akibatnya, kapitalisme tidak lagi mempunyai lawan. Dan fungsi Mobutu (dan juga Soeharto) sebagai boneka Barat tidak lagi dibutuhkan, malah harus segera dilengserkan.

Gimana kapitalisme bisa berjaya kalo dikit-dikit dikorupsi kanan-kiri?

Kasus Kongo harusnya bisa dijadikan rujukan, bahwa negara-negara kaya SDA akan sangat rawan jadi incaran aksi penggarogan oleh negara-negara Barat. Tak terkecuali Indonesia. Jangan heran kalo akhirnya Barat menaruh beberapa kaki tangannya di Indonesia, dengan harapan konsesi untuk menggarong SDA tersebut bisa terus jatuh ke tangan mereka.

Dan ajang pilpres 2019 kita bisa saksikan bersama bagaimana upaya gigih mereka, untuk dapat berkuasa kembali atas Indonesia. Pertanyaan retorik: siapa paslon yang diusung oleh ‘gerombolan siberat’ untuk bisa berkuasa atas bumi pertiwi tercinta? Apa layak kita berdiam diri saja?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!