Panic Buying China
Oleh: Ndaru Anugerah
“Kami meminta keluarga untuk menyimpan sejumlah kebutuhan sehari-hari yang diperlukan, guna mencukupi kebutuhan harian dan juga keadaan genting,” ujar sumber resmi di Kementerian Perdagangan China, pada minggu lalu. (https://www.reuters.com/world/china/china-urges-families-keep-stores-daily-needs-ahead-winter-2021-11-02/)
Mendengar seruan yang dikeluarkan Kemendag China tersebut untuk menimbun barang kebutuhan selama musim dingin, otomatis memicu panic buying di seantero Negeri Tirai Bambu tersebut.
Sayur-sayuran semisal kubis, langsung diserbu pembeli. Maklum, banyak masakan tradisional China yang menggunakan kubis selain kubis juga bisa disimpan sebagai stok makanan selama berbulan-bulan. (https://www.reuters.com/business/cop/chinese-stock-up-food-temperatures-fall-covid-19-spreads-2021-11-03/)
Supermarket juga jadi sasaran pembelian besar-besaran oleh warga China. (https://www.express.co.uk/news/world/1517400/china-panic-buying-food-supermarket-fighting-xi-jinping-coronavirus-lockdown-latest-vn)
Tak cukup sampai disini, warga juga langsung menyerbu beberapa situs e-commerce seperti Alibaba, untuk sekedar membeli sembako yang mulai sulit didapatkan melalui rak di supermarket. (https://www.wionews.com/world/chinas-new-directive-on-stockpiling-food-triggers-hoarding-panic-buying-427729)
Pertanyaannya: apakah China memang mengalami kelangkaan bahan pangan saat ini?
Kementerian Pertanian dan Urusan Pedesaan China mengatakan bahwa pasokan sayuran dan biji-bijian berada dalam mode normal, alias memiliki cadangan yang cukup, bahkan over produksi. (https://www.rt.com/news/539338-china-food-supermarkets-crisis/)
“Tidak ada kondisi kekurangan pangan, karena produksi pertanian semuanya normal. Total pasokan cukup sehingga konsumen tidak perlu khawatir,” ujar pejabat berwenang mengantisipasi aksi borong massal.
Bahkan sang pejabat menambahkan kalo terdapat peningkatan produksi sayuran sebanyak 1% pada tahun ini, sehingga akan cukup menyediakan setidaknya 1,5 kg per harinya kepada setiap warga China, terutama saat musim dingin yang kini menjelang.
Benarkah klaim yang diberikan pejabat China tersebut?
Setidaknya ada 2 hal yang patut dikritisi.
Pertama, China mengalami gagal panen akibat cuaca ektrim (hujan deras). Bahkan sejak September dan Oktober membanjiri provinsi Shandong yang merupakan sentra penghasil sayuran terbesar di China. (https://www.card.iastate.edu/ag_policy_review/article/?a=115)
Dan kedua, kondisi gagal panen ini memicu efek domino selanjutnya berupa kelangkaan barang. Karenanya rata-rata harga grosir sayuran melonjak hingga 39,8% sejak September lalu. Bahkan untuk beberapa sayuran berdaun (bayam, selada, dll), lonjakan harga mencapai lebih dari 50%. (https://www.theepochtimes.com/vegetables-pricier-than-pork-worry-chinese-consumers-as-costs-swell_4071421.html)
Dengan kedua fakta tersebut, benarkah klaim yang disampaikan pejabat Tiongkok tersebut?
Silakan anda jawab sendiri.
“Bukankah produksi pertanian bisa ditingkatkan, Bang?” mungkin anda punya pertanyaan demikian.
Sekali lagi, untuk meningkatkan produksi butuh energi yang nggak sedikit.
Pertanyaannya: bagaimana caranya untuk bisa menyediakan energi, lha wong sekarang China mengalami krisis energi? (https://asia.nikkei.com/Spotlight/Caixin/How-China-stumbled-into-a-painful-energy-shortage)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments