Orang Dibelakang Layar


515

Bicara tentang kemerdekaan negara Indonesia yang dideklarasikan oleh duet Proklamator, Soekarno-Hatta, memang tak pernah ada habisnya. Ada romansa disana, dan tentunya cerita yang melatarbelakangi kejadian itu.

Sejauh yang kita ketahui, menjelang 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta terpaksa “di-aman-kan” oleh kelompok pemuda Menteng 31 yang dipimpin oleh Soekarni, ke sebuah desa yang bernama Rengas Dengklok, Karawang. Disana ada sebuah rumah milik petani Tionghoa bernama Djiau Kie Siong.

Dan sejarah mencatat, karena ulah golongan muda itulah, kemudian terjadilah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dideklarasikan oleh duet Soekarno-Hatta. Kebayang, gimana jadinya kalo peristiwa Rengas Dengklok batal digelar, apa mungkin kita bisa merdeka?

Sebenarnya peristiwa delik Proklamasi menyimpan beberapa pertanyaan yang menurut analisa saya, sengaja dikaburkan untuk menutupi fakta yang sesungguhnya. Dan yang paling bertanggungjawab secara sistematis terhadap usaha pengaburan sejarah ini adalah rejim Orde Baru.

Coba kita runtut benang merahnya, apa yang sebenarnya terjadi saat itu…

Bicara konteks proklamasi, kita samakan persepsi kita dulu. Apa peristiwa itu terjadi by luck atau by design? Artinya itu peristiwa yang terjadi secara spontan yang diprakarsai kaum muda semata, atau itu peristiwa yang sudah lama ada desainer-nya?

Sedikit tengok ke belakang, tepatnya tahun 1924, ada seorang pemuda asal desa Suliki – Padang, yang menulis sebuah karya monumental. Naar de Republiek dalam bahasa Belanda yang berarti “Menuju Republik”. Buku inilah yang kelak menjadi inspirasi penulis lagu kebangsaan kita, yaitu Wage Rudolf Supratman.

Jika kita buka buku Naar de Republiek, maka akan terlihat benang merah teks lagu Indonesia Raya. Apakah WR Supratman hanya seorang yang kebetulan membaca karya orang tersebut dan kemudian terinspirasi dan menuliskannya, ataukah memang ada faktor lain? Entahlah…

Lepas peristiwa pemberontakkan PKI pertama di tahun 1926 yang berlangsung di 3 kota, orang itu pecah kongsi dengan partai palu arit tersebut. Baginya PKI tak lebih dari boneka Soviet di Indonesia yang bersifat reaksioner. Ia kemudian mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) pada tahun 1927 di Bangkok.

PARI sebagai partai klandestin, pasti bergerak tanpa suara, layaknya gerakan bawah tanah lainnya. Satu yang pasti, PARI didirikan dengan tujuan utama membuat cikal bakal terbentuknya Indonesia merdeka, suatu saat nanti.

Jika kita melihat siapa saja yang terlibat pada peristiwa Proklamasi 1945, maka nama-nama seperti Soekarni, Wikana, Chaerul Saleh dan Sayuti Melik, terdapat kesamaan yang kita bisa tarik. Benar binggo!! Mereka adalah sel-sel klandestin PARI yang telah jauh dipersiapkan sang desainer sebagai pelaku sejarah Indonesia merdeka.

Singkatnya, yang terjadi pada peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bukanlah peristiwa by luck yang sifatnya spontan. Ini adalah kejadian by design, yang telah dipersiapkan jauh sebelum Bung Hatta dan Bung Karno memikirkan tentang konsep Indonesia merdeka.

Dan orang dibelakang layar itu adalah Tan Malaka.

Oleh Soekarno, Tan Malaka pun dinobatkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keppres No.53/1963.

Namun apa lacur, oleh Orde Baru, Tan Malaka malah dianggap sebagai tokoh komunis yang namanya sengaja dihapus dari catatan sejarah Indonesia. “Apa kata Mamarika kalo seorang komunis dijadikan pahlawan nasional?” begitu kurang lebihnya.

Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, adalah kebodohan rezim Orde Baru yang mengganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakkan beberapa kali. “Tan Malaka justru malah menolak pemberontakkan PKI di tahun 1926,” begitu ujarnya.

Terlepas kontroversi yang ada, sebaiknya kita bisa menempatkan orang sesuai porsinya. Kalo dia berjasa, ya kita hormati dia, jangan malah menghujatnya. Terutama bagi seseorang Tan Malaka yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya bagi Indonesia.

Saya pikir, tak berlebihan kiranya, kalo seorang sekelas Mohammad Yamin akhirnya memberikan gelar Bapak Republik Indonesia, pada seorang Tan Malaka. Karena tanpa usahanya, apa bisa kita mengenyam kemerdekaan di tahun 1945?

Anyway, Dirgahayu Indonesia-ku!!

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!