Operasi Senyap di Jabar
Sebuah analisa, tentunya lahir setelah mengamati kondisi. Bukan lahir dari wangsit. Itu yang biasa saya lakukan untuk menarik benang merah suatu masalah.
Bagaimana saya bisa menganalisa kalo Jabar bisa dimenangkan oleh Duo-D.
Sebelum saya memberi jawaban atas pertanyaan itu, mari kita sedikit flashback apa yang sesungguhnya terjadi di Jabar, akhir-akhir ini.
Tercatat banyak peristiwa demi peristiwa terjadi dengan modus yang sama. Bermula di Cicalengka, dimana Ceng Emon, pengasuh ponpes Santiong yang dianiaya oleh orang tak dikenal pada subuh (27/1). Aksi berlanjut di Bandung, dimana Ustadz Prawoto selaku Komando Brigade PERSIS dibunuh oleh tetangganya sendiri (1/2).
Aksi berlanjut di kota Bandung kembali, tepatnya di mesjid At-Tawakal, dimana seorang bernama M. Lukman menodongkan pisau kepada remaja mesjid (4/2).
Biar lebih maknyus, dibuat berita hoax. Seorang santri di Garut mengaku dibacok dan dikeroyok oleh enam orang tak dikenal (7/2). Lebih dramatis lagi, hoax kedua menyusul. Ustadz Sulaiman dibacok oleh orang gila di desa Cigudeg (8/2).
Pertanyaannya sederhana. Apa modus dari semua kejadian tersebut?
Isu penyerangan para ulama di Jabar oleh orang-orang tak dikenal atau orang gila, yang ujung-ujungnya diduga simpatisan PKI. PKI menyerang ulama, itu isunya.
Kenapa di Jabar?
Satu, karena Jabar adalah pemasok terbesar aksi massa 212. Kedua, Jabar terkenal sangat religius. Sangat mudah dibakar, dengan isu yang berbau agama.
Apa targetnya?
Keresahan di masyarakat, bahwa pemerintah dibuat “seolah-olah membiarkan” isu penyerangan terhadap ulama terjadi. Lantas mulai deh muncul stigma kalo pemerintah anti ulama. Anti ulama artinya anti Islam. Dan final-nya, jangan memilih calon-calon guberner yang didukung oleh partai pro-pemerintah yang anti Islam.
Pada tulisan saya yang terdahulu, saya nyatakan kalo memainkan isu SARA via mesjid, sekarang sudah mulai susah, bray… Pertama pemerintah sudah memasukkan ketua BIN sebagai pembina Dewan Mesjid Indonesia disana. Yang kedua, sudah banyak mesjid yang menyuarakan untuk tidak memakai mesjid sebagai tempat untuk berpolitik praktis.
Jadi cara yang paling masuk akal, yah lewat isu kriminalisasi ulama dikalangan Jabar yang sangat religius.
Namun, menurut analisa saya, cara ini sangat tidak efektif. Masyarakat sudah mulai cerdas dengan isu kebangkitan PKI. Sederhana: bagaimana mau percaya, kalo PKI yang dikatakan sudah bangkit, wong sampai sekarang belum ada satupun yang berhasil dicyduk oleh aparat dan di blow-up di media massa.
Walhasil, operasi senyap ini bisa dikatakan gatot alias gagal total. Masyarakat Jabar, tidak merespon secara positif operasi hitam ini. Kenapa ini bisa terjadi, karena peran serta pemuka agama plus aparat keamanan yang ada di Jabar untuk meredamnya.
Frustasi-lah mereka. Saking frustasinya, kemudian mereka membangun stigma kalo presiden Jokowi melakukan intervensi di Pilkada Jabar, dengan menunjuk Plt Guberner dari Polri. Padahal, ini baru wacana sodara-sodara…baru wacana…
Kenapa dari awal saya mengkalkulasi kalo Duo-D akan memenangkan kontestasi. Pertama, karena dari sisi figur, Deddy Mizwar masih cukup laku untuk dijual dikalangan pemilih Jabar yang religius. Dan kedua, untuk konsolidasi daerah-daerah seantero wilayah Jabar, kerja nyata Dedi Mulyadi menjadi penentu. Seperti kita tahu, kalo Demul adalah orang lapangan yang sangat kuat kemampuan lobbying dan ‘gerilya’nya. Kemajuan Golkar menjadi partai terkuat kedua di pileg Jabar 2014, tak lepas dari perannya sebagai DPD Partai Golkar Jabar.
Memang pilkada Jabar akan menarik untuk dicermati. Adu strategi Jokowi lawan seterunya. Jika di DKI, pakde babak belur, wajar kalo dia mengingkan Jabar demi kepetingan pilpres 2019. Itung-itung sebagai ajang tebus kekalahan.
Kita lihat saja perkembangannya, sambil kita pantau apakah stok micin curah akan jadi komoditi yang langka menjelang hari pencoblosan di Jabar?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments