Operasi Perubahan Perilaku
Oleh: Ndaru Anugerah
Di Republik Wakanda, rencana vaksinasi memang nggak menemukan kesulitan ‘berarti’ dalam implementasinya. Cukup kasih kata ‘wajib’, maka anda nggak perlu nanya macem-macem untuk sekedar tahu alasanya.
Namun nggak begitu cerita di luar negeri sana. Banyak kelompok kritis yang justru menentang upaya vaksinasi global tersebut.
Pusing juga gimana cara ngakalinnya, agar proyek bernilai milyaran dollar tersebut bisa dilaksanakan. “Kalo terus-terusan ditolak, gimana program vaksinasi global bisa berjalan?” Akhirnya disusunlah rencana, agar kelompok yang selama ini menolak kelak bisa ‘menerimanya’.
Gimana skenarionya?
Pada Juli yang lalu, WHO telah membentuk suatu Kelompok Penasihat Teknis (Technical Advisory Group) yang membahas tentang bagaimana agar vaksin si Kopit bisa diterima sama masyarakat luas. Untuk badan yang satu ini ditunjuklah Prof. Cass R. Sunstein sebagai ketuanya.
Siapa dia?
Prof. Sunstein adalah pendiri dan direktur program Ekonomi Perilaku dan Kebijakan Publik di Harvard Law School. (https://hls.harvard.edu/faculty/directory/10871/Sunstein)
Bukan itu saja. Prof. Sunstein adalah mantan kepala Kantor Urusan Informasi dan Regulasi di masa Presiden Barack Obama, yang bertanggungjawab atas kualitas informasi. (https://www.argumenta.org/wp-content/uploads/2017/10/Argumenta-David-Coady-Cass-Sunstein-and-Adrian-Vermeule-on-Conspiracy-Theories.pdf)
Nah, di tahun 2008 Sunstein kasih masukan ke pemerintah Obama agar membuat tim rahasia dengan tugas infiltrasi kepada kelompok pembangkang yang biasanya beroperasi secara online melalui situs web tertentu.
Caranya gampang: kasih aja label teori konspirasi pada para pembangkang online, selain melakukan infiltrasi kognitif pada kelompok tersebut. Diharapkan kredibilitas mereka bisa rusak oleh adanya infiltrasi tersebut. (https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1084585)
Dalam tataran teknis, akan ada agen yang menyamar sebagai pihak ketiga yang dibayar oleh pemerintah ke jaringan sosial media. Prof. Sunstein menyebutnya dengan istilah ‘ahli independen’. Cara ini cukup efektif, karena orang yang disewa tersebut bukan orang pemerintah tapi jadi ‘jubir’ pemerintah. Ya jelas aja orang awam bakalan percaya.
“Orang tidak bisa mempercayai pemerintah sebanyak mereka mempercayai orang yang mereka yakini independen,” demikian kurleb ungkap Prof. Sunstein.
Dalam menyukseskan program sang Ndoro besar, WHO juga mengontrak raksasa PR yang bernama Hill + Knowlton untuk berkolaborasi dengan Sunstein. (https://efile.fara.gov/docs/3301-Exhibit-AB-20200714-38.pdf)
Asal tahu saja, berkat kesaksian palsu yang dikeluarkan lembaga PR tersebut, perang Teluk di tahun 1990-an bisa terlaksana. (https://www.theguardian.com/education/2001/oct/04/socialsciences.highereducation)
Apa fungsinya Hill + Knowlton kok dipakai sama WHO dengan nilai kontrak mencapai USD 135.000?
Untuk mengidentifikasi para influencer dan pihak lainnya, yang kelak bisa digunakan untuk mempromosikan pesan WHO akan program vaksinasi global, terutama di media sosial.
Cara ini cukup cerdas, mengingat WHO nggak bakalan kena sanksi berupa penyebaran propaganda ilegal, yaitu propaganda terselelubung yang berasal dari pemerintah tetapi tidak diberi atribut pemerintah, sehingga dibuat seolah-olah berasal dari pihak ketiga. (https://fas.org/sgp/crs/misc/RL32750.pdf)
Kok bisa?
Kan WHO bukan negara, melainkan lembaga multinasional. Jadi mana bisa dituntut dengan tuduhan menyebarkan propaganda ilegal?
Pertanyaan selanjutnya, kenapa WHO melakukan cara-cara intelijen dalam menyukseskan program vaksinasi global?
Margaret Chan selaku mantan Dirjen WHO pernah ngomong, “Kebijakan WHO ‘didorong’ oleh kepentingan pendonor.” (https://www.nytimes.com/2014/09/04/world/africa/who-leader-describes-the-agencys-ebola-operations.html)
Ini benar adanya, mengingat staf Gates Foundation secara nggak resmi ‘memberikan’ restu bagi kebijakan yang akan diterapkan WHO sebelum dipublikasikan. (https://www.foreignaffairs.com/articles/2012-03-06/money-or-die)
Bahkan pernyataan yang berbunyi, “Prioritas Gates telah menjadi prioritas WHO,” jelas nggak berlebihan. (https://www.politico.eu/article/bill-gates-who-most-powerful-doctor/)
Jika demikian skenario yang akan dijalankan WHO, siapa kelompok yang akan dianggap sebagai ‘ancaman’ dan akan dijadikan target operasi rahasia tersebut?
Tentu saja mereka yang secara aktif menyuarakan kebenaran dibalik scamdemic berkode si Kopit. Pada tataran operasional, akan ada penyusupan kepada web-web online yang secara berkala menentang program vaksinasi global tersebut.
Dan bila penyusupan telah dilakukan, maka ‘agen’ tersebut akan melakukan pembusukan terhadap isi berita yang kerap didengung-dengungkan untuk melawan narasi media mainstream.
Apakah ini berlebihan? Nggak juga.
Anda tahu Twitter? Nah kepala editorial Twitter untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika, adalah seorang perwira aktif dari Unit Perang Psikologis AD Inggris yang dikenal sebagai Brigade 77. Kenapa pakai seorang perwira tentara yang masih aktif? Lalu apa tugasnya?
Nggak lain melakukan operasi perubahan perilaku pada media sosial tersebut yang selaras dengan kepentingan sang Ndoro besar. (https://www.middleeasteye.net/news/twitter-executive-also-part-time-officer-uk-army-psychological-warfare-unit)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments