Narasi Yang Nggak Berimbang
Oleh: Ndaru Anugerah
Sejak Rusia meluncurkan operasi khusus di wilayah Donbass yang bertujuan untuk melindungi Republik Donetsk dan Luhansk (DPR dan LPR), yang diakui sebagai entitas independen oleh pemerintah Moskow, disaat itu juga media mainstream menyebutnya sebagai invasi. (https://www.vientianetimes.org.la/Region_world/Reworld_Putin39.php)
Apakah itu invasi atau agresi?
Sama sekali bukan. Saya telah membahasnya pada 2 tulisan seri sebelumnya. (baca disini dan disini)
Jurnalis investigasi independen asal AS yang berada di Donbass, George Eliason mengatakan bahwa narasi invasi hanya akal-akalan Presiden Volodymyr Zelenksy (dengan menggunakan tangan sekutu Baratnya plus media mainstream) untuk bisa memaksa Donetsk dan Lugansk, agar kembali ke pangkuan Ukraina. (https://www.indiegogo.com/projects/donbass-war-journalism-and-humanitarian-aid#/)
Nggak hanya bergerak ditataran wacana, pemerintah Kiev juga bergerak ditataran operasional.
Misalnya pada Desember 2021 silam, pasukan Ukraina telah mengumpulkan ratusan ribu pasukannya untuk terlibat kontak senjata di wilayah Donbass dengan penduduk sipil.
OSCE sebagai otoritas yang memonitor aksi di Donbass, tahu akan hal ini, bahwa pemerintahan Kiev telah melanggar Minsk Protocol dengan merepresi wilayah yang memisahkan diri memakai kekuatan bersenjata. (https://tass.com/pressreview/1406823)
Apakah media mainstream pernah membahas soal ini?
Tidak pernah bukan?
Sebaliknya, media mainstream mulai menggiring opini publik dengan membuat narasi bahwa akan ada invasi/agresi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina, sejak musim semi 2021 silam.
Bahkan guna mendukung narasinya, mereka memuat citra satelit tentang posisi pasukan Rusia, yang katanya tinggal sepelemparan lembing dari perbatasan Ukraina.
Padahal ini hoax.
Berdasarkan citra satelit yang ditunjukkan media tersebut, pasukan Rusia berada 460 mil jauhnya dari perbatasan Ukraina alias satu hari perjalanan darat. Dengan jarak sejauh itu, mana mungkin pasukan Rusia melakukan invasi mengingat jaraknya masih sangat jauh?
Namun, narasi itu terus diulang-ulang, agar masyarakat internasional percaya bahwa benar Rusia akan menginvasi Ukraina dalam waktu dekat.
Bahkan untuk menghidupkan narasi, menurut Eliason, sejumlah media mainstream menerbitkan peta dan skenario serangan yang akan dilakukan Rusia pada Ukraina.
Nggak cukup sampai disitu, bahkan aktor Hollywood Sean Penn sampai datang ke Ukraina guna membuat film dokumenter tentang rencana ‘Agresi Rusia’. (https://www.foxnews.com/entertainment/sean-penn-ukraine-russia-documentary)
“Itu semua difabrikasi dengan sengaja agar publik internasional percaya bahwa Rusia akan melakukan agresi pada Ukraina. Itu semua dibuat oleh konsultan infowar asal AS,” ungkap Eliason.
Luar biasa.
Sekarang kita lihat, bagaimana diamnya media mainstream menanggapi aksi penembakan yang dilakukan oleh pasukan Ukraina plus batalyon Neo-Nazi terhadap penduduk Donetsk dan Lugansk selama setidaknya 8 tahun terakhir. (https://sputniknews.com/20220224/russias-spec-op-why-kiev–its-western-backers-had-failed-to-implement-minsk-accords-for-8-years-1093345653.html)
Padahal jelas-jelas menurut laporan PBB, telah terjadi pelanggaran HAM serius di wilayah Donbass yang dilakukan oleh pasukan Ukraina. Kalo nggak serius, angka orang yang tewas di wilayah tersebut sejak Revolusi Maidan 2014, nggak mungkin lebih dari 13.000 orang. (https://www.unian.info/war/10416549-donbas-war-death-toll-rises-up-to-nearly-13-000-un.html)
Atas masalah ini, Eliason menambahkan bahwa pasukan Ukraina sengaja menarget pengungsi yang hendak mencari suaka ke Rusia (yang mayoritas anak-anak dan orang tua), dengan menggunakan peluru dan ranjau sebagai senjata yang menyasar target hidup.
Sekali lagi, apakah media mainstream pernah buka suara soal hal ini?
Ironisnya, sekelas Kanselir Jerman Olaf Scholz menampik tudingan Rusia akan adanya genosida yang dilakukan pasukan Ukraina pada penduduk Donbass. (https://www.anews.com.tr/world/2022/02/19/scholz-says-russian-attack-on-ukraine-would-be-serious-mistake)
Sekarang saya tanya, kalo kemudian Rusia bereaksi keras terhadap aksi genosida selama ini dan memulai operasi militer khusus untuk melindungi warga Donbass dan membersihkan Ukraina dari anasir Neo-Nazi, salahnya dimana? (https://english.almanar.com.lb/1544050)
Bagaimana kita tahu bahwa anasir Neo-Nazi begitu berkuasa di Ukraina?
Pendapat sejarahwan AS, Prof. Stephen F Cohen, bisa dijadikan rujukan. “Kaum Neo-Fasis memainkan peran resmi dan ditoleransi di Ukraina, karena AS mendukung peran mereka,” ungkapnya. (https://www.thenation.com/article/archive/americas-collusion-with-neo-nazis/)
Bahkan ada kejadian pada 2 Mei 2014, dimana sekitar 50 orang di daerah Odessa, dibakar hidup-hidup oleh kaum nasionalis radikal dan neo-Nazi Ukraina.
Dan sekali lagi, kejadian ini nggak pernah diliput oleh media mainstream.
“Media mainstream mengabaikan fakta bahwa Batalyon Azov, yang merupakan komponen resmi Angkatan Bersenjata Kiev, memiliki ideologi pro-Nazi,” ungkap Prof. Cohen.
Pernyataan yang dilontarkan oleh komandan Azov, Andriy Biletsky di tahun 2017 silam, bahwa mereka mengusung ideologi rasis, membenarkan fakta yang diungkapkan Prof. Cohen. (https://thehill.com/opinion/international/359609-the-reality-of-neo-nazis-in-the-ukraine-is-far-from-kremlin-propaganda)
Atas masalah neo-Nazi yang ada di Ukraina, bahkan Majelis Umum PBB pernah membahasnya pada 16 Desember 2021 silam dan sedianya akan menjatuhkan resolusi atas masalah tersebut.
Tebak siapa yang akhirnya menentang rencana resolusi tersebut?
Ukraina dan juga AS. (https://www.un.org/press/en/2021/ga12396.doc.htm)
Ya jelas saja, mana mungkin AS yang membidani pasukan neo-Nazi, kemudian mendukung resolusi yang akan mengakhiri pasukan zombie haus darah ciptaannya? (https://marktaliano.net/the-us-sponsored-neoliberal-neo-nazi-coup-detat-in-ukraine-an-act-of-war/)
Semoga anda mendapatkan informasi yang berimbang.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments