Menyoal Virus dan Pengujiannya (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
Semua treatment yang berkaitan dengn si Kopit, entah itu test pengujian, perlakuan yang diberikan untuk mengurangi laju penyebaran, hingga pembuatan vaksin, semua didasarkan pada keberadaan virus Kopit tersebut.
Jadi, kalo sekarang dilakukan test untuk mengetahui seseorang terkena si Kopit atau nggak, atau tersedianya vaksin si Kopit saat ini, semua tentu didasarkan pada ‘keberadaan’ si Kopit tadi. Nggak mungkin juga dibuat obat cacing untuk mengatasi sakit kepala, bukan?
Nah masalahnya, gimana bisa tahu tentang keberadaan si Kopit sehingga bisa ditemukan vaksinnya? Karena informasi yang akan saya berikan cukup banyak, maka tulisan ini akan dipecah menjadi dua bagian.
Virus Kopit pertama kali ditemukan diberi nama 2019-nCoV dan kemudian diganti namanya menjadi SARS-CoV-2 oleh WHO. Berdasarkan virus tersebut, WHO kasih keterangan, “Pihak China telah mengidentifikasi jenis virus Korona jenis baru yang diisolasi pada 7 Januari 2020.”
WHO menambahkan, “Pada 12 Januari 2020, China telah membagikan urutan genetik dari virus Korona jenis baru tersebut untuk digunakan negara-negara lainnya dalam mengembangkan peralatan diagnostik tertentu.” (https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/330760/nCoVsitrep21Jan2020-eng.pdf)
Jadi WHO menegaskan virus baru yang ditemukan tersebut telah diisolasi.
Seperti kita ketahui, genom SARS-CoV-2 lengkap pertama diberi nama MN908947.1 yang diterbikan oleh Pusat Pengendali dan Pencegahan Penyakit Wuhan bekerjasama dengan Pusat Klinik Kesehatan Masyarakat Shanghai. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/MN908947.1)
Jadi MN908947.1 adalah agen etiologi yang menyebabkan Kopit. Dan karena CDC Wuhan telah mengkonfirmasi bahwa virusnya telah diisolasi, makanya semua test Kopit didasarkan pada urutan genetik tersebut. (https://www.nature.com/articles/s41586-020-2012-7)
Menurut keterangannya, mereka mengambil sampel darah dan sel kulit dengan menggunakan test usap dari tujuh pasien terduga Kopit yang tinggal di Wuhan. Dan setelah menyaring genom manusia tersebut, 5 sampel kemudian menjalani analisis metagenomik menggunakan NGS (next-generation sequencing).
Hasilnya, mereka menemukan kecocokan sekitar 87,1% dengan virus Korona SARS. Lalu dengan menggunakan PCR yang ditargetkan dan mengisolasi hampir 30.000 pasangan bata genom virus Korona yang diketahui.
Para peneliti Wuhan mengatakan kurleb-nya, “Supernatan kultur diperiksa keberadaan virusnya dengan menggunakan metode qRT-PCR yang dikembangkan pada penelitian ini dengan amplifikasi sebanyak 40 siklus.”
Dengan putaran amplifikasi yang dilakukan sebanyak 40 putaran, artinya para peneliti Wuhan juga otomatis melakukan amplifikasi semua kesalahan pada pengenceran. Dengan kata lain, mereka memperkuat semua kontaminan yang ada pada tes tersebut. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2902203/)
Padahal menurut standar MIQE yang dijadikan rujukan tes qPCR, 40 siklus adalah batas mutlak keandalan yang berarti apapun di atas 35 siklus (putaran) akan berakibat pada tidak diketahuinya RNA target. (https://www.gene-quantification.de/miqe-bustin-et-al-clin-chem-2009.pdf)
Dan ini selaras dengan publikasi para peneliti pada Infectious Diseases Society of America yang menyatakan bahwa ambang batas siklus yang efektif untuk mengidentifikasi SARS-CoV-2. “Apapun di atas 34 siklus (putaran) hasilnya menunjukkan bahwas subyek test tidak memiliki ‘penyakit yang berarti atau dapat menular.”
Dengan kata lain, siklus atau putaran di atas 34 tidak dapat dijadikan sebagai rujukan pada tes, karena nggak menggambarkan apa-apa. (https://academic.oup.com/cid/advance-article/doi/10.1093/cid/ciaa619/5841456)
Ini fatal. Padahal, WHO telah menetapkan standar untuk test RT-PCR guna mengetahui seseorang terinfeksi Kopit atau nggak, dengan amplifikasi yang dianjurkan sebanyak 50 siklus (putaran). (https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/real-time-rt-pcr-assays-for-the-detection-of-sars-cov-2-institut-pasteur-paris.pdf)
Merujuk pada hal tersebut, nggak aneh kalo hasil tes PCR sebenarnya nggak menggambarkan apa-apa karena siklus (putaran) yang digunakan tidak mengacu pada standar test yang ditentukan.
Belum lagi, secara esensi test PCR bersifat kualitatif dan bukan kuantitatif. Itu penemunya sendiri Dr. Kary Mullis yang ngomong. Jadi mana bisa menghitung jumlah virus yang ditemukan? (http://www.virusmyth.com/aids/hiv/jlprotease.htm)
Nah kalo jumlah virus (viral load) nggak bisa dihitung, darimana kita tahu kalo virus tersebut diklaim telah menyebabkan penyakit Kopit?
Bukankah rumusannya, banyaknya virus yang ditemukan dalam tubuh orang yang terinfeksi, berbanding lurus dengan penyakit yang ditimbulkan? (https://www.cebm.net/covid-19/sars-cov-2-viral-load-and-the-severity-of-covid-19/)
Seharusnya, untuk mengetahui suatu virus dikatakan menimbulkan penyakit atau tidak, Postulat Koch yang dapat menjawab masalah tersebut. Bukan dengan test PCR. (https://microbenotes.com/robert-koch-and-kochs-postulates/)
Masalahnya, apa Postulat Koch untuk mengetahui penyebab penyakit, dilakukan untuk kasus Kopit? Kan nggak.
Ini kita baru bicara seputar proses identifikasi virus Kopit yang prosesnya acak adut. Dan kita belum bicara soal isolasi virus yang diklaim telah dilakukan.
Pada bagian kedua nanti saya akan jelaskan.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments