Menyoal Musim Dingin Demografi
Oleh: Ndaru Anugerah – 08102024
Bagaimana kita mengetahui tingkat kesuburan suatu masyarakat?
Cara yang paling moderat adalah dengan menghitung angka kelahiran alias fertility rate.
Berdasarkan definisinya, fertility rate adalah jumlah rata-rata anak yang lahir selama masa hidup seseorang. Dalam dunia kedokteran, fertilitas sendiri merujuk pada kemampuan seseorang untuk memiliki anak, dan infertilitas merujuk pada kesulitan seseorang dalam bereproduksi secara alami. (https://en.wikipedia.org/wiki/Fertility)
Secara teknis, fertility rate dihitung dengan bilangan setara 2,1 anak per wanita, untuk memastikan populasi yang relatif stabil.
jadi kalo nilainya kurang dari bilangan tersebut, maka otomatis tingkat kelahiran-nya rendah yang berakibat pada berkurangnya jumlah penduduk pada suatu wilayah. Atau justru sebaliknya. (https://www.oecd.org/fr/data/indicators/fertility-rates.html)
Memangnya berapa fertility rate secara global saat ini?
Berdasarkan penelitian terbaru yang dilakukan Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di Universitas of Washington di Mei 2024 silam, dikatakan bahwa dunia sedang mendekati masa depan dengan tingkat kesuburan terendah. (https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(24)00550-6/fulltext)
Secara global, angkanya menukik dari 4,84 di tahun 1950, menjadi 2,23 di tahun 2021. Dan berdasarkan prediksinya, di tahun 2100 mendatang angka-nya bakal mencapai 1,59.
Dengan kata lain, jika trend-nya tidak berubah, maka pada tahun 2100 mendatang, akan ada lebih dari 97% negara dan wilayah yang memiliki tingkat kesuburan di bawah apa yang diperlukan untuk mempertahankan ukuran populasi dari waktu ke waktu.
Bahasa sederhananya, manusia akan menjadi barang ‘langka’ di masa depan, karena makin sulitnya suatu pasangan untuk melahirkan anak.
Kok bisa terus merosot?
“Banyak alasan yang melatar belakangi hal ini, namun yang paling dominan adalah meningkatnya kesempatan wanita dalam meraih pendidikan dan pekerjaan, selain akses yang lebih baik ke alat kontrasepsi dan pelayanan kesehatan reproduksi,” ungkap Dr. Christopher Murray. (https://edition.cnn.com/2024/03/20/health/global-fertility-rates-lancet-study/index.html)
Dengan meningkatnya akses pendidikan dan pekerjaan pada kaum wanita, maka otomatis mereka enggan untuk menikah karena alasan karir.
Sekalipun mereka mau menikah karena tuntutan orang tua dan tradisi, mindset mereka bakal bergeser pada childfree alias nggak mau punya anak walaupun statusnya telah menikah. (https://www.cnn.com/us/childfree-by-choice-women-birth-rate-decline-cec/index.html)
Belum lagi dengan teknologi yang makin berkembang sehingga memungkinkan alat kontrasepsi diperoleh dimana-mana. Dengan adanya ini, otomatis dapat menekan laju angka kelahiran.
Kalo dulu orang hanya kenal kondom bagi kaum pria, kini ada juga kondom bagi kaum hawa. Jadi kalo sang pria ngebet punya anak, tapi wanitanya nggak berkenan, akan susah juga dengan mekanisme ini. (https://www.cdc.gov/condom-use/resources/internal.html)
Jadi, angka kelahiran yang terus menurun, jelas lampu merah buat pemerintahan di banyak negara. Utamanya negara-negara maju yang punya pandangan ‘aneh-aneh’ terhadap anak. (https://www.sdu.dk/en/nyheder/faldende-fertilitet)
Ini nggak berlebihan.
Merujuk pada data saat ini, China sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk terbesar di dunia, Total Fertility Rate (TFR)-nya di tahun 2022 silam hanya sekitar 1,09.
Angka yang sama juga bisa kita dapatkan pada negara India yang merupakan negara berpenduduk banyak di dunia, dengan angka TFR dibilangan 1,9.
Bahkan Korea Selatan dikenal sebagai negara di dunia dengan TFR paling rendah, dengan angka TFR dibilangan 0,57 di tahun 2022 silam. “Jangankan kepikiran punya anak, lha wong nikah aja ogah-ogahan,” begitu kurleb-nya. (https://en.wikipedia.org/wiki/Total_fertility_rate)
Mengantisipasi hal ini, Paus Fransiskus menyerukan istilah baru pada dunia. “Kita memasuki era musim dingin demografi, dimana kaum muda menghadapi ‘upaya besar’ untuk memulai keluaarga di lingkungan yang tidak menentu,” begitu ungkapnya. (https://www.france24.com/en/live-news/20230512-pope-warns-of-italy-s-demographic-winter)
Kronologinya begini.
Sang Paus yang telah berusia lebih dari 86 tahun tersebut melihat kasus yang cukup menarik di Italia, dimana angak kelahiran turun diambang batas 400.000, yakni angka 393.000. Angka tersebut dirilis oleh Istat yang merupakan lembaga statistik nasional di Italia.
Angka tersebut kemudian dibandingkan dengan angka kematian di angka 713.499 dalam populasi sekitar 58 juta jiwa.
Aliasnya, angka kematian lebih banyak ketimbang angka kelahiran.
Ini agak dilematis, mengingat rencana punya anak bakal kandas karena gaji kaum muda terbilang kecil sementara biaya hidup semisal ongkos sewa rumah/apartemen lumayan tinggi. Jadi, wajar kaum muda ogah punya anak karena biaya hidup nggak sinkron dengan gaji yang mereka terima setiap bulannya.
Belum lagi pajak dan inflasi yang kian hari kian meningkat, yang tentu saja dapat mengikis penghasilan mereka.
“Lha wong hidup aja udah sulit, ngapain punya anak? Yang ada, hidup akan makin sulit.”
Disinilah spirit childfree kaum muda bakal tumbuh subur karena realita-nya mendukung hal ini.
Jika ini dibiarkan terjadi, maka bukan saja Italia tapi juga dunia harus bersiap menyambut dunia tanpa bayi, dalam waktu dekat. (https://penntoday.upenn.edu/news/world-fewer-children-addressing-despair-behind-declining-fertility)
Siapa yang paling diuntungkan dengan skenario ini?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)