Menyoal False Flag
Oleh: Ndaru Anugerah – 11062024
“Bang, bisa bahas soal false flag operation?” tanya seorang netizen.
Secara definitif, false flag operation alias operasi bendera palsu adalah tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menyamarkan sumber tanggung jawab yang sebenarnya melakukan sebuah aksi dan menyalahkan pihak lain atas aksi tersebut.
Istilah false flag operation berawal pada abad ke-16 sebagai tindakan yang menyatakan tipu muslihat dalam peperangan laut. Teknisnya, sebuah kapal bakal mengibarkan bendera putih sebagai tanda netralitas agar tidak diserang oleh pihak musuh di lautan. (https://www.grammarphobia.com/blog/2018/05/false-flag.html)
Pada mulanya, taktik ini digunakan oleh para bajak laut dan serdadu untuk menipu kapal lain agar mereka diijinkan mendekat. Saat itulah para bajak laut dan serdadu lalu melayangkan serangannya kepada kapal musuh yang telah tertipu atas aksi bendera palsu mereka.
Belakangan, operasi bendera palsu makin banyak digunakan, agar publik termakan propaganda yang dimainkan. Dibuat seolah-olah ada, nyatanya nggak ada. Atau, dibuat seolah-olah nggak ada, faktanya ada.
Ini dapat terungkap manakala orang yang berpikiran kritis menanyakan 3 hal utama atas apa yang telah terjadi: siapa, apa dan mengapa.
Jadi, untuk memecahkan operasi bendera palsu, anda jangan telan bulat-bulat informasi yang disajikan, apalagi yang berasal dari media mainstream yang tentu saja tidak bebas kepentingan.
Apa yang terjadi jika seseorang menanyakan narasi mainstream sebagai propaganda false flag?
Yang paling sederhana, seseorang bakal dilabel sebagai penganut ‘teori konspirasi’. Ini sengaja dilakukan, agar narasi mainstream yang telah dihembuskan (sebagai false flag) tidak tergoyahkan dan mudah dilahap sebagai konsumsi publik tanpa keraguan sedikit-pun.
Contoh paling gamblang tentang false glag adalah peristiwa Lavon, yang terjadi di Mesir pada musim panas 1954 silam. (https://cisac.fsi.stanford.edu/publications/the_lavon_affair_how_a_falseflag_operation_led_to_war_and_the_israeli_bomb)
Saat itu, intelijen militer Israel melakukan operasi rahasia berkode Operasi Susannah.
Teknisnya, sekelompok orang Yahudi yang berdomisili di Mesir direkrut oleh intelijen militer Israel, untuk menanam bom di wilayah Mesir (yang menarget bioskop, perpustakaan dan lembaga pendidikan milik AS), yang menyasar warga sipil Amerika ataupun Inggris.
Setelah bom yang dipasang meledak dan menewaskan warga sipil AS dan Inggris, maka pihak yang disalahkan adalah Ikhwanul Muslimin ataupun faksi komunis yang ada di Mesir.
Skenario-nya, saat bom memakan korban, maka warga Mesir akan melakukan aksi balasan yang memicu ketidakstabilan di Mesir. Saat itulah, maka Inggris punya cukup alasan untuk mempertahankan Terusan Suez yang rencanaya bakal dikembalikan ke pemerintah Mesir dengan alasan stabilitas. (https://www.sahistory.org.za/dated-event/britain-and-egypt-sign-suez-canal-agreement)
Ini bisa terjadi karena Israel melihat adanya endorsement AS yang cukup besar kepada pemerintahan Gamal Abdul Nasser. Dengan adanya dukungan tersebut, maka otomatis menghalangi rencana Inggris yang selama ini menawarkan perlindungan militer pada Terusan Suez.
Operasi Susannah yang digelar Israel adalah contoh sederhana dari false flag yang bernama MIHOP alias Make It Happen On Purpose. Dalam MIHOP, penyerangan acapkali menyebabkan kematian atau cedera yang dilakukan oleh salah satu kelompok, namun menyalahkan kelompok lain untuk tujuan strategis, politik atau bahkan propaganda.
Contoh lain dari MIHOP adalah Operasi Gladio yang dilakukan di seluruh Eropa pada pertengahan tahun 1950-an. Saat itu, badan-badan intelijen bekerja sama dengan NATO untuk menggelar serangkaian teror dengan menggunakan kelompok sayap kanan.
Sasaran tembak-nya adalah kelompok kiri yang saat itu dinilai tengah naik daun utamanya pada parlemen di beberapa negara Eropa. (baca disini)
Ada lagi jelas operasi bendera palsu dimana pihak berwenang sebenarnya telah mengetahui adanya serangan yang telah direncanakan dengan matang, namun tutup mata atas kenyataan ini. False flag jenis ini dinamakan LIHOP alias Let It Happen On Purpose.
Dengan kata lain, pihak berwenang sudah mengetahui terlebih dahulu adanya serangan yang direncanakan (bahkan tahu soal detil serangan seperti tanggal dan lokasi), tapi sengaja tutup mata atas informasi tersebut.
Contoh paling jelas tentang LIHOP adalah pengeboman World Trade Center yang berlokasi di New York, yang dilakukan oleh teroris Arab pada Februari 1993 silam. (https://www.history.com/this-day-in-history/world-trade-center-bombed)
Padahal, baik CIA dan FBI tahu akan rencana pengeboman. Bahkan beberapa pelaku merupakan aset CIA yang tentu saja telah mendapatkan pelatihan dan pendanaan dari lembaga intelijen itu. (https://www.independent.co.uk/news/terror-blowback-burns-cia-1182087.html)
Lantas apa perlunya kedua badan intelijen AS tersebut melakukan LIHOP?
Untuk membangun narasi palsu bahwa intelijen Irak terlibat dalam aksi terorisme yang dilakukan di AS. Narasi ini diperlukan untuk memperkuat alasan dalam menggelar skenario perang melawan terorisme (GWOT), utamanya sejak peristiwa 9/11.
Sampai sini saya harap anda paham duduk masalahnya.
Masalahnya banyak sekali operasi bendera palsu yang tidak terekspos. Misalnya saat pasukan Special Air Force (SAS) yang melakukan operasinya di Basra, Irak pada 2005 silam. Saat mereka melancarkan aksinya dengan membunuh warga sipil di Irak, mereka menyamar sebagai jihadis. (https://web.archive.org/web/20051212101108/https:/theinsider.org/news/article.asp?id=1556)
Otomatis para jihadis yang disalahkan atas aksi kejam tersebut, meskipun belakangan aksi busuk ini akhirnya terkuak karena salah satu ‘jihadis’ jadi-jadian itu ditangkap aparat keamanan Irak. (http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/middle_east/4264614.stm)
Saya sudahi pembahasan tentang false flag operation, agar anda paham modusnya. Harapannya anda nggak mudah ditipu oleh media mainstream tentang content yang menjadi narasi mereka terhadap sebuah kasus.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments