Menyoal Bahan Kimia Berbahaya (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan, kita telah membahas tentang peran Bisphenol-A alias BPA, yang dilarang penggunaannya karena dapat memicu serangkaian penyakit mematikan pada manusia jika digunakan. (baca disini)
Sebagai gantinya, kini kita menggunakan Bisphenol-S alias BPS, yang diklaim lebih ramah untuk digunakan. Dengan struktur kimia yang mirip dengan BPA, wajar jika banyak pihak mempertanyakan klaim keamanan senyawa kimia ini.
Memangnya apa dampak negatif dari penggunaan BPS?
Berdasarkan data, BPS lebih mudah diserap oleh tubuh manusia ketimbang BPA. Ini sudah bisa dideteksi pada setidaknya 81% penduduk di AS lewat tes urine yang dilakukan. (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22620267)
Dan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Johanna Rochester dan rekan-rekannya, mereka menyatakan bahwa BPS dan BPF ditenggaraii lebih beracun ketimbang BPA, karena mereka juga dianggap sebagai pengganggu endokrin yang potensial. (http://ehp.niehs.nih.gov/1408989/)
Satu yang pasti, bahwa BPS dapat mengganggu aktivitas hormonal pada mamalia. Bukankah manusia adalah makhluk mamalia, juga? (https://www.researchgate.net/profile/Mariana_Fernandez2/publication/236956906_In_vitro_study_on_the_agonistic_and_antagonistic_activities_of_bisphenol-S_and_other_bisphenol-A_congeners_and_derivatives_via_nuclear_receptors/links/02e7e52bd54b448562000000.pdf)
Yang lebih mencengangkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan pada ikan zebra, BPS berhasil mengubah sel saraf di otak ikan tersebut dan menyebabkan perilaku hiperaktif pada larva ikan. Sungguh mengerikan. (http://www.pnas.org/content/112/5/1475.abstract)
Dengan semua temuan ini, maka bisa dikatakan bahwa pengganti bahan kimia sintetik berbahaya sebelumnya, nggak kalah lethal-nya ketimbang bahan kimia yang digantikannya. Malah beberapa penelitian menyatakan bahwa BPS lebih buruk ketimbang BPA.
“Bukankah sebelum menggunakan bahan kimia tertentu, sudah ada penilaian risiko yang dilakukan oleh para ahli?”
Secara prosedur memang demikian adanya.
Hanya saja ada dua hambatan dalam menjalankan prosedur ini. Pertama ada keterbatasan teknis tentang toksikologi dan juga tingkat ketelitian ilmiah terhadap bahan kimia yang diteliti. Dan yang kedua menyangkut lembaga yang menyelenggarakan penilaian risiko tersebut.
Dengan demikian, penilaian risiko nggak mudah untuk dilakukan, oleh para ahli sekalipun.
Menjadi masuk akal bahwa sebelum BPA dilarang untuk digunakan, orang mengira bahwa paparan senyawa kimia itu ada pada manusia adalah melalui usus. Faktanya, paparan BPA pada manusia adalah melalui mulut dan bukan melalui usus.
Mulut adalah rute paparan BPA pada tubuh manusia, yang memungkinkan BPA untuk bersirkulasi tanpa melalui tahap metabolisme dalam aliran darah manusia.
Awalnya, banyak ahli toksikologi menolak realita ini yang dianggapnya nggak masuk akal. Bagaimana mungkin terdapat konsentrasi BPA dalam jumlah tinggi pada darah manusia? Menurut asumsinya, BPA diserap melalui usus dan terdegrasi dengan cepat di hati. Sehingga nggak mungkin ada kandungan BPA dalam jumlah banyak dalam aliran darah.
Nah terus, konsentrasi BPA dalam jumlah tinggi, asalnya darimana kalo bukan melalui mulut? Jika melalui usus, itu jelas nggak mungkin. Proses metabolisme nggak diperlukan untuk paparan BPA dalam jumlah tinggi dalam darah. (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3734497/)
Selanjutnya, dalam memberikan penilaian risiko, harusnya ada penilaian tentang titik akhir yang berlaku secara umum, misalnya kematian, cacat atau kanker.
Apakah ini menjadi perhatian para ahli toksikologi dalam memberikan penilaian risiko?
Akan sulit untuk menjawabnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah seputar racun campuran. Misalkan seseorang mengalami kematian akibat racun A dan racun B. Nggak bisa diklaim bahwa dia terkena racun A atau racun B an sich karena penyebabnya adalah racun kombinasi alias campuran. (http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1471489214000988)
Sudah rahasia umum bahwa penilaian risiko hanya menguji bahan aktif tertentu saja yang dijadikan target. Dan proses ini hanya didasarkan pada asumsi hubungan dosis-respons yang bersifar linier untuk bahan kimia tunggal (target) pada berbagai dosis. (http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.276.7132&rep=rep1&type=pdf)
Proses ini menegaskan jika penilaian risiko yang dilakukan selama ini hasilnya meragukan. Menjadi lumrah jika banyak ahli yang mengkritisi hal ini. (http://www.altex.ch/resources/altex_2014_2_157_176_Charukeshi1.pdf)
Belum lagi lembaga didaulat untuk melakukan penilaian risiko.
Wabah BSE alias Bovine Spongiform Encephalopathy yang dikenal dengan mad cow disease yang terjadi di Inggris pada dekade 1980-an. Berdasarkan penilaian risiko yang dilakukan pemerintah Inggris, semua sapi yang terindikasi terkena BSE langsung dimusnahkan.
Bukan itu saja, menurut laporan yang dibuat pemerintah, sebagian besar populasi Inggris telah terpapar prion menular dari penyakit sapi gila tersebut. Ini sangat mengerikan. (https://www.cbsnews.com/news/chronology-of-mad-cow-crisis/)
Apa lembaga yang didaulat untuk memberikan rekomendasi? Siapa yang melakukan pemodelan? (baca disini)
Ditengah situasi ini, seorang Lord Phillips bersuara dengan mengusulkan agar peringatan akan bahaya sapi gila harusnya dijelaskan secara khusus kepada masyarakat luas, baik yang ilmiah maupun non-ilmiah, agar tiap orang sadar bahayanya.
Terlebih lagi, Lord Phillips mempertanyakan wabah tersebut dalam laporan lengkapnya. (http://webarchive.nationalarchives.gov.uk/20090505194948/http:/www.bseinquiry.gov.uk/report/volume1/toc.htm)
Apakah langkah Lord Phillips mengubah skenario pandemi? Kan nggak.
Point penting yang saya mau sampaikan adalah bahwa penilaian risiko sangat banyak titik kelemahan-nya. Dan ini nggak bisa dijadikan acuan pasti tentang apa yang sudah direkomendasikan aman untuk digunakan. (http://www.cogem.net/index.cfm/en/publications/publicatie/can-interactions-between-bt-proteins-be-predicted)
Termasuk rekomendasi aman dalam menggunakan BPS.
Saya jadi ingat pernyataan yang dikeluarkan Federasi Internasional Ginekologi dan Kebidanan (FIGO) di tahun 2012 silam, menyangkut banyaknya penyakit dan kelainan genetik lainnya (dari mulai obesitas, diabetes, hipospadia hingga disfungsi reproduksi) akibat paparan bahan kimia berbahaya.
“Beban kesehatan dan ekonomi global yang terkait dengan bahan kimia beracun, melebihi jutaan kematian yang diprediksi sebelumnya,” begitu kurleb-nya. (http://www.figo.org/sites/default/files/uploads/News/Final%20PDF_8462.pdf)
Kini giliran anda yang menyimpulkan pernyataan yang dirilis FIGO tersebut.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments