Menyambut Paus Baru
Oleh: Ndaru Anugerah – 13052025
“Bang, bisa bahas tentang Paus yang baru?” tanya seorang netizen.
Perasaan baru aja terpilih, kok langsung ditodong pertanyaan.
Tapi, biar nggak bikin netizen tersebut kecewa saya akan bahas. Tapi satu yang perlu mendapat garis bawah, bahwa apa yang saya katakan sifatnya obyektif dan nggak ada pretensi untuk mendiskreditkan suatu golongan, yah.
Terlahir dengan nama Robert Francis Prevost pada 69 tahun yang lalu, Paus baru yang mendapat nama gerejawi Leo IV, merupakan penghuni tahta Santo Petrus Vatikan ke-267.
Prevost juga merupakan Paus pertama yang berasal dari Amrik, meskipun hari-hari pelayanannya banyak dihabiskan di Peru. (https://www.nytimes.com/2025/05/08/world/europe/who-is-robert-francis-prevost-pope-leo-xiv.html)
Berbeda dengan pendahulunya yang berasal dari ordo Jesuit, Prevost berasal dari kongregasi Santo Augustinian, yang mendedikasikan hidup gerejanya pada orang-orang misqueen, selain mengusung pelayanan dan penginjilan. (https://apnews.com/article/vatican-new-pope-leo-xiv-robert-prevost-order-st-augustine-d803636fad69fe4d4c919181fc5ad5c1)
Berdasarkan rekam jejak yang dimilikinya, karir Prevost terbilang moncer.
Di tahun 2014, dirinya diangkat sebagai Uskup Chiclayo do Peru. Peran-nya saat itu dikenal baik sebagai prefek Dikasteri yang bertugas dalam memilih dan mengawasi para uskup.
9 tahun kemudian (tepatnya di Januari 2023), Prevost berhasil menduduki jabatan sebagai Uskup Agung Peru. Ajaibnya, dalam beberapa bulan saja, dirinya mendapat promosi untuk menduduki jabatan kardinal.
Mungkin kalo di kemiliteran, Prevost mirip-mirip dengan sosok Teddy yang karir-nya meroket karena ada ‘orang kuat’ yang meng-endorse dirinya.
Lalu kenapa Prevost memilih nama kepausan-nya sebagai Paus Leo XIV?
Sasus beredar, Prevost ingin memposisikan dirinya sebagai penerus Paus Leo XIII, yang menjadi sosok Paus yang lahir ditengah pergolakan besar di dunia, dari mulai masa revolusi industri, hingga awal munculnya mazhab Marxisme, dan mencoba mengusung tema keadilan sosial. (https://cardinalseansblog.org/2025/05/08/the-gift-of-a-new-holy-father/)
Bukankah dunia kini juga tengah mengalami pergolakan besar dengan intensi The Great Reset dari sang Ndoro besar?
Kalo embel-embel lain tentang Paus Leo XIV, anda bisa cari sendiri, la-yah. Bukan porsi saya juga untuk mengambil porsi jurnalis mainstream.
Lalu gimana sosok Paus Leo XIV ditinjau dari spektrum geopolitik?
Pertama, pandangannya terhadap kaum LGBT.
Berdasarkan rekam jejaknya, Prevost sempat mendukung deklarasi Fransiskus yang intinya mengijinkan pemberkatan bagi sesama jenis dalam “situasi tidak lazim”. (https://www.vaticannews.va/en/vatican-city/news/2023-12/fiducia-supplicans-doctrine-faith-blessing-irregular-couples.html)
Meskipun pada 2012, Prevost juga pernah menegaskan kritik pedasnya pada media hiburan yang memiliki simpati terhadap kepercayaan dan praktik yang bertentangan dengan Injil, termasuk gaya hidup homoseksual dan ‘keluarga alternatif’ yang terdiri dari pasangan sesama jenis dan anak angkat mereka. (https://www.nytimes.com/2025/05/02/world/americas/pope-candidate-cardinal-robert-francis-prevost.html#:~:text=when%20asked%20about%20gay%20clerics,at%20odds%20with%20the%20gospel.%E2%80%9D)
Jadi gimana sikap Prevost terhadap LGBT?
Bagi saya, sikapnya pada kaum pelangi tersebut dipengaruhi oleh arah kebijakan Vatikan pada gerbong sang Ndoro besar. Apakah arah angin Prevost bakal mengikuti Paus Franciskus pendahulunya?
Bagaimana cara membuktikan-nya?
Gampang jawabnya. Apa sikap yang diambil Prevost terhadap kebijakan iklim?
Berbicara pada tahun lalu tentang perubahan iklim, Prevost mengatakan bahwa kini saatnya beralih dari kata-kata ke tindakan nyata. (https://www.ncronline.org/earthbeat/he-was-pope-leo-xiv-said-its-time-action-climate-change)
Maksudnya, kalo Paus sebelumnya melahirkan Laodato Si sebagai ensiklik lingkungan, sekarang-lah saatnya Paus Leo XIV mengeksekusi cetak biru tersebut.
Ini bukan omon-omon, karena Prevost rencananya bakal mengambil langkah-langkah konkret di Vatikan, termasuk pemasangan panel surya dan menggunakan kendaraan listrik sebagai upaya untuk menyukseskan ensiklik lingkungan ala Laudato Si. (https://www.bloomberg.com/opinion/articles/2025-05-08/pope-leo-xiv-might-be-the-climate-champion-we-need)
Dan ‘kebetulan’, rencana tersebut selaras dengan kebijakan Hijau dari sang Ndoro besar.
Jika demikian, akankah Prevost yang sama bakal menolak gerakan Pelangi yang juga mendapat endorsement dari sang Ndoro besar? (baca disini dan disini)
Dan yang cukup penting untuk di highlight adalah kegagalan dirinya dalam menuntaskan kasus pelecehan seksual yang menimpa sejumlah wanita di Peru, yang berhasil dilecehkan oleh seorang pastor. Padahal itu wewenang dia sebagai Uskup Chiclayo di Peru.
Seharusnya, Prevost punya wewenang untuk membuka penyelidikan terhadap aduan warga, bukan malah menutup akses itu yang seakan ‘melindungi’ iman yang diduga melakukan pecelahan terhadap umatnya tersebut. (https://www.dailymail.co.uk/news/article-14693619/Pope-Leo-XIV-looked-way-confronted-child-sex-abuse-allegations-against-priest-Chicago-church.html)
Jika mengurus keuskupan saja seorang Prevost nggak becus, bagaimana dirinya bisa memimpin kawanan domba yang lebih luas dengan cakupan dunia?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)