Menuju Krisis Demografi? (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah – 11042025
Pada bagian pertama tulisan, kita sudah membahas bagaimana racun lingkungan ‘sengaja’ digunakan untuk menurunkan tingkat kesuburan manusia yang berimbas pada berkurangnya populasi manusia. Ini bukan saja di Jepang, tapi di banyak negara lainnya. (baca disini)
Apakah hanya racun lingkungan saja yang berpotensi menurunkan tingkat reproduksi manusia?
Nggak juga.
Faktanya, tingkat kesuburan seseorang nggak hanya dipengaruhi oleh penurunan jumlah sperma ataupun masalah yang berkaitan dengan reproduksi lainnya.
Salah satu yang berperan adalah persepsi yang dimiliki orang-orang jaman now dimana mereka nggak menginginkan banyak anak seperti generasi sebelumnya.
Jajak pendapat yang digelar oleh Gallup pada 2018 silam, dengan jelas menunjukkan bahwa jumlah orang Amerika yang meyakini keluarga ideal mencakup tiga anak atau lebih, telah turun persentase-nya secara drastis, hampir setengahnya pasca PD II. (https://news.gallup.com/poll/236696/americans-theory-think-larger-families-ideal.aspx)
Di sisi yang lain, trend masyarakat yang menginginkan untuk menikah di usia lanjut atau nggak menikah sama sekali (alias hidup selibat), jusru mengalami peningkat yang tajam. Ini tentu saja berkontribusi terhadap penurunan angka kelahiran.
Ini patut disayangkan.
Jika dulu usia pernikahan maksimal 30 tahun, maka kini seseorang cenderung menikah di usia di atas 30 tahun. Padahal batas usia 30an dipandang sebagai usia produktif (khususnya bagi wanita) untuk melahirkan anak. Kok malah nggak menikah? (https://ifstudies.org/blog/no-ring-no-baby)
Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa penurunan jumlah kelahiran merupakan akibat dari menurunnya keinginan kaum muda saat ini untuk memiliki anak. Ini disebabkan karena mereka nggak siap dalam menjalin hubungan jangka panjang sebagai bentuk komitmen.
Lantas, apa penyebab fenomena sosial ini? Apakah ini hanya kebetulan atau justru ada yang mendisain-nya?
Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya klasik.
Mengapa?
Karena kartel sang Ndoro besar, telah lama menginginkan krisis kesuburan ini, baik itu menggunakan EDC yang menyebabkan jumlah sperma di seluruh dunia anjlok, ataupun menggunakan rekayasa sosial.
Salah satu rekayasa sosial yang digunakan adalah penggunaan pil KB di era 1960an di kalangan wanita, serta munculnya gerakan free-love yang berimbas pada bubarnya struktur keluarga yang ideal. (https://web.archive.org/web/20171212220618/http:/gender.stanford.edu/news/2011/pill-and-marriage-revolution)
Dengan rekayasa sosial ini, hegemoni perkawinan-lah yang sebenarnya mau disasar sang Ndoro besar. Tujuannya satu: orang nggak lagi memandang sakral lembaga perkawinan. (https://open.clemson.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1081&context=all_theses)
Menjadi masuk akal, jika kemudian tingkat perceraian meningkat drastis karena alasan free-love. Dan ini berimbas pada menurun-nya tingkat kesbuburan dan otomatis berkurangnya angka kelahiran. (https://mainedivorcelawblog.com/why-were-there-so-many-divorces-in-the-70s/)
Apakah ini asumsi belaka?
Sosiolog sekelas Ludwig von Mises telah lama memprediksi hal ini. “Tujuan free-love yang sebenarnya adalah pembubaran lembaga keluarga,” begitu kurleb-nya. (https://mises.org/online-book/socialism-economic-and-sociological-analysis/chapter-4-social-order-and-family/5-free-love)
Pendapatnya tersebut diperkuat oleh Aaron Russo di tahun 2009 silam. “Gerakan pembebasan perempuan pada kenyataannya telah disponsori oleh Yayasan Rockefeller sebagai bagian dari rencana untuk mencapai apa yang telah diperingatkan Mises,” ungkap Russo. (https://archive.org/details/reflections-warnings-an-interview-with-aaron-russo-full)
Dengan kata lain, apa yang diprediksi Mises, belakangan dijadikan alasan pembenaran oleh sang Ndoro besar.
Selain itu, aspek rekayasa sosial lainnya adalah digitalisasi kehidupan sosial.
Maksudnya gimana?
Apakah anda tahu bahwa aplikasi kencan kini makin merebak di dunia maya? Dan ini sejalan dengan digitalisasi kehidupan yang disponsori oleh The Fourth Industrial Revolution. (https://www.octalsoftware.com/blog/dating-app-statistics)
Merebaknya aplikasi dating apps ini berimbas pada budaya kencan kilat yang tentu saja mengangkangi lembaga perkawinan. Dengan semboyan one night stand dan sensasi seksual yang selalu berubah sesuai mood, siapa juga yang butuh status ‘married’, apalagi punya anak?
Belum lagi dengan masif-nya endorsement gerakan LGBT-Q yang terjadi belakangan ini. Dengan hadirnya gerakan LGBT-Q, mungkinkah proses reproduksi manusia bisa terjadi? (baca disini)
Nah, sekarang anda sudah bisa melihat gambaran kasarnya bukan?
Jadi, alasan untuk menghindari proses reproduksi, tidak terjadi secara spontan, karena memang ada yang mendisain dan juga memfasilitasi. Semua mengarah pada satu tujuan: agenda depopulasi.
Sesuai dengan slogan yang sang Ndoro usung bahwa manusia adalah biang kerok pemanasan global dengan jejak karbon yang ditimbulkannya. Sehingga, solusi atas pemanasan global adalah pengurangan populasi manusia. Sesederhana itu.
Jika belakangan ini ada narasi bahwa rencana untuk tidak memiliki anak di era perubahan iklim sebagai solusi yang ‘brilian’, kita nggak bisa protes untuk menerima narasi itu. (https://www.npr.org/2016/08/18/479349760/should-we-be-having-kids-in-the-age-of-climate-change)
Atau perubahan iklim yang telah mengakibatkan orang-orang untuk berpaling dari rencana reproduksi-nya, ini juga menjadi narasi lumrah yang harus kita terima. (https://www.popsci.com/environment/having-children-climate-change/)
Atau juga narasi yang mengatakan bahwa pasangan muda saat ini mulai enggan untuk memiliki anak akibat perubahan iklim yang terjadi. (https://gizmodo.com/young-americans-are-scared-to-have-kids-because-of-clim-1845775135)
Dan masih banyak narasi sejenis lainnya. Anda bisa menambahkannya sendiri.
Sekarang kita kembali pertanyaan diawal tulisan.
Akankah Jepang berhasil menanggulangi krisis populasi yang melanda negaranya dengan alokasi dana mencapai 5,3 triliun yen atau setara dengan USD 34 miliar? (https://www.newsweek.com/japan-news-plans-tackle-population-crisis-2025-2006421)
Saya sanksi akan hal itu.
Mengapa?
Karena solusinya memang bukan insentif finansial dari pemerintah. Mau berapa banyak dikasih insentif, tetap saja orang susah atau nggak mau punya anak. Faktor racun lingkungan dan rekayasa sosial jauh lebih besar pengaruhnya kepada warga Jepang.
Kalo pemerintah Jepang serius menggenjot angka kelahiran, harusnya warganya diedukasi dan segala macam racun lingkungan dieliminasi. Bahwa bayi bukanlah makhluk menakutkan yang kelak menghasilkan karbon dan segenap racun lingkungan nggak baik untuk dikonsumsi.
Beranikah pemerintah Jepang mengambil langkah tersebut?
Sebagai penutup, Malthus menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk akan berlangsung sangat cepat menurut deret ukur, dan itu sudah sudah terbukti salah dan nggak lagi relevan.
Masalahnya mengapa di sekolah-sekolah teori Malthus yang sudah usang itu tetap diajarkan seolah dianggap sebagai kebenaran yang tak terbantahkan? Sadar nggak sih kalo Malthus termasuk bagian dari entitas sang Ndoro besar? (baca disini)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)