“Bang, kenapa kok sepertinya sangat benci Orde Baru?” demikian pertanyaan polos dari seorang pada suatu forum diskusi. Jawabannya teramat sangat panjang. Nggak cukup satu dua tulisan untuk menggambarkan secara detil kenapa saya sangat sinis ikhwal rusaknya pondasi negara ini yang disebabkan rejim Orde Baru.
Sebagai sebuah rejim, orde baru sangat efektif memporak porandakan kehidupan bernegara di Indonesia, yang sudah susah-susah digagas oleh founding father bangsa kita. Dan yang paling dahsyat daya rusaknya adalah sistem pengkotak-kotakan yang dilakukannya kepada segenap lapisan masyarakat berdasarkan Suku-Aagama-dan-RasAntargolongan (SARA).
Timbulnya kecurigaan berbasis etnis, agama maupun antar golongan, adalah buah politik adu domba yang dijalankan rejim otoriter Soeharto untuk menjaga stabilitas politik kala itu. Semacam manajemen konflik, guna melanggengkan kekuasaannya dari rongrongan pihak-pihak yang ingin menjatuhkannya.
Jangan heran, kita semua kini menjadi bangsa yang saling menaruh curiga. Ada istilah pribumi dan non pribumi. Islam dan non-Islam. dan lain sebagainya, itu semua merupakan warisan kebijakan politik pecah belah Orde Baru, yang secara sadar atau nggak, kita semua larut didalamnya.
Itulah yang menyebabkan bangsa ini sangat rapuh pondasinya. Istilah persatuan Indonesia, hanya sebatas slogan yang terpampang indah di dada burung Garuda. Tapi sejatinya bangsa ini berubah naturnya menjadi bangsa yang gampang dipecah belah plus baperan. Senggol sedikit, langsung bacok.
Situasi ini diperburuk oleh hadirnya proxy asing di Indonesia yang kerap mengusung ideologi Khilafah. Seakan Pancasila adalah dasar negara yang sudah nggak relevan untuk dipakai saat ini. Penggantinya adalah ideologi ala Arab yang nggak jelas bentuknya seperti apa?
Lucu juga, mengingat para makelar khilafah nggak punya kontribusi apa-apa terhadap proses kemerdekaan bangsa ini, tapi sekarang mereka mengklaim, bahwa merekalah yang paling tahu bentuk pemerintahan terbaik bagi bangsa ini. Padahal kalo balik ditanya, bentuk pemerintahan khilafah itu seperti apa, merekapun akan garuk-garuk pantat untuk menjawabnya.
Merasa tidak punya harapan terhadap masa depan bangsa ini, sejumlah pelajar Indonesia dengan sederet prestasi memilih hengkang dari negeri ini, walaupun mereka punya potensi untuk membangun bangsa ini. “Ngapain sekolah di Indonesia? Toh kita nggak pernah diakui sebagai bagian dari bangsa ini,” demikian keluh kesah mereka.
Melihat gelagat ini, Singapura melihat ada peluang. Dibukalah kanal beasiswa bagi pelajar berprestasi asal Indonesia untuk berkuliah di negeri Singa tersebut. Salah satunya adalah Nanyang Technological University alias NTU. Konon kampus ini jadi besar, yah karena banyaknya kontribusi pelajar Indonesia yang bersekolah disana.
Salah satunya adalah Silvia Halim yang pernah mengenyam pendidikan di jurusan teknk sipil NTU. Dia adalah salah satu sosok peranakan Tionghoa yang awalnya nggak merasa diterima oleh negara ini. Saking kesalnya, malah dia pernah berujar untuk tidak akan kembali lagi ke Indonesia.
Waktu kemudian berputar, sampai kemudian Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh duet maut Jokowi-Ahok yang memiliki cita-cita untuk memiliki moda transportasi massal bagi warga Jakarta. Pertanyaan awal, siapa yang kira-kira sanggup membangun konstruksi MRT tersebut?
Setelah cari info kanan-kiri, dapatlah nama SH sebagai sosok wanita yang idealis dan gila kerja. Namun sayangnya yang bersangkutan sedang bekerja di Singapura dengan segala jaminan kenyamanan hidup. Gimana cara membujuknya? Kalo bisa bicara, “Ngapain susah-susah cari kerja di Jakarta, lha di sini aja udah enak kok?”
Adalah Ahok yang kemudian diutus oleh Jokowi untuk mau membujuknya kembali ke Jakarta guna membangun MRT. Singkat cerita tantangan Ahok, dijaba-nya. Dan akhirnya sejarah mencatat, proyek moda transportasi massal tersebut bisa dirampungkan olehnya selaku Direktur Konstruksi MRT Jakarta. Kebayang gak, seorang wanita, peranakan Tionghoa pula?
Sebenarnya masih banyak orang-orang super model Silvia Halim yang saat ini menggantungkan hidupnya di luar negeri. Kenapa mereka enggak kembali ke Indonesia? Karena mereka sudah nyaman disana. Dan yang paling penting, mereka masih menganggap pemerintah Indonesia nggak memerlukan keahlian mereka.
Belajar dari kasus SH, bukan nggak mungkin mereka akan bisa ditarik kembali ke pangkuan ibu Pertiwi. Selama pemerintahannya punya visi yang sama dengan mereka untuk membangun negara ini. Bagi kaum idealis, uang bukanlah segala-galanya tapi kerja nyata adalah diktum mereka.
“Akan ada banyak sosok Silvia Halim lainnya yang akan bersedia membayar harga, jika mereka percaya siapa pemimpinnya,” demikian ucap kolegaku di NTU. Aliasnya, mereka hanya akan kembali jika dan hanya jika pemimpin negeri ini punya visi yang sama untuk membangun negeri.
Dan itu hanya ada pada sosok Jokowi.
Kenapa nggak Prabowo?
Jangankan punya misi membangun, lha pendukungnya aja hobi teriak kopar-kapir dan persekusi orang yang nggak segolongan dengan mereka. Pertanyaannya: apa mau mereka kembali ke Indonesia hanya sekedar dijadikan ‘budak’ oleh para makelar Khilafah?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments