Seperti ulasan saya sebelumnya, bahwa eskalasi akan meningkat. Puncaknya hari ini hingga Jumat (24/5) besok. Dengan adanya aksi penembakan liar (telah memakan korban), maka narasi semakin liar dengan menyajikan provokasi yang lebih menggila lagi melalui kanal media sosial.
“Kemarin abang bilang kalo aksi 225 ada kaitannya sama pemilik ‘uang panas’ di rekening bank-bank Swiss dan Austria dengan Rothschild. Maksudnya apa, bang?” demikian sebuah pertanyaan meluncur.
Okay, saya akan jelaskan biar pada tahu permainannya.
Aksi massa yang melibatkan personil dalam jumlah besar, pastinya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pertanyaan sederhana: siapa di Indonesia yang punya uang dalam jumlah banyak? Banyak pastinya.
Saya coba persempit: siapa pemilik uang yang belakangan aktif turun ke jalan dan menyerukan agar Jokowi didiskualifikasi sebagai pemenang pemilu? Siapa pula yang sering bersuara untuk mendukung gerakan people power?
Dialah pemodal alias bohir aksi 225 tersebut. Klan Cendana.
Kalo dipikir, apa kepentingan KC dalam aksi people power tersebut? Kalo sekedar mendukung langkah politik yang diambil oleh Prabowo, ngapain juga mesti ngotot. Toh ada Mahkamah Konstitusi yang bisa dijadikan saluran penyampaian nota keberatan hasil pilpres.
Apa kita gampang percaya bahwa aksi tersebut digelar demi menegakkan kedaulatan rakyat seperti yang diklaim selama ini? Yang bokir…
“Aksi people power digelar untuk mengamankan aset Cendana yang tersimpan di bank-bank Swiss dan Austria,” demikian ungkap sebuah sumber. Seberapa besar total asetnya? Sangat besar. Merujuk pada laporan yang pernah dipublikasikan oleh TIME (1999), jumlahnya sekitar USD 9 milyar. Fantastik!
Itu baru angka yang tersimpan di beberapa bank. Belum yang berupa asset berupa saham di perusahaan-perusahaan raksasa Swiss seperti Nestle’s, Ciba-Geigy, Sandoz hingga Asea Brown Boveri (ABB). Perusahaan raksasa tersebut kalo ditelusur akan bermuara pada klan Rothschild.
Jadi, total jenderal berupa uang dan aset, bernilai ratusan trilyun rupiah ada disana.
Lantas dimana letak masalahnya?
Sejak runtuhnya dinasti Cendana, tak ada satupun rejim di Indonesia yang berani mengusik ketenangan mantan diktator Orde Baru tersebut. “Terlalu riskan,” demikian ungkap temanku. Dengan uang segitu banyak, mereka akan dengan mudah mengusik siapapun ‘yang berkuasa’ di republik ini.
Jangan heran, mantan presiden sekelas Pepo saja yang punya background militer, nggak berani mengutak-atik harta Cendana di luar negeri. “Mending cari aman saja,” demikian pemikirannya.
Seiring berjalannya waktu, Jokowi kemudian muncul ke permukaan dan memimpin negeri ini dengan gaya yang sangat berbeda. Sang tukang kayu mulai berani mengusik ketenangan klan Cendana. Disinilah, masalah bermula.
Ingat program Tax Amnesty yang sempat diusung oleh pakde? Itu sebenarnya adalah taktik yang dijalankan agar uang yang ada di Swiss dan Austria sana bisa diparkir kembali ke Indonesia. Total yang dibidik juga nggak besar-besar amat, cuma sekitar 20%. Tapi kenyataannya, target itu toh nggak tercapai.
Mentok di TA, maka program MLA alias mutual legal assistance yang digagas pemerintah Indonesia dengan Swiss, sebenarnya adalah upaya untuk ‘menarik paksa’ uang-uang panas yang diparkir di negeri bersalju abadi tersebut.
Apakah upaya MLA bisa berhasil? Bisa saja. Setidaknya pengalaman di Filipina dan Zaire bisa membuktikan kekuatan upaya MLA tersebut. Tercatat aset panas Ferdinand Marcos dan Mobutu Sese Seko di Swiss berhasil dibawa pulang kembali atas desakan pemerintah Filipina dan Zaire.
Berdasarkan skenario ini, maka bukan saja KC yang dibuat kelimpungan, tapi juga rekanan bisnis mereka (klan Rothschild) yang dibuat tidak nyaman. Bagaimana jadinya jika aset-aset Cendana di perusahaan-perusahaan raksasa tersebut, dibekukan? Situasi kolaps sudah terbayang.
Kondisi ini jelas tidak menguntungkan dan tidak boleh terjadi.
“Daripada kehilangan ratusan trilyun, mendingan buang ratusan milyar,” begitu kurang lebihnya.
Skenario harus dijalankan. Jadilah aksi yang sekarang ini.
“Akankah Indonesia di suriahkan, bang?” begitu tanya seseorang menanggapi isu jatuhnya korban pada aksi dini hari tadi.
Aku cuma senyam-senyum saja menanggapinya.
“Ini bukan soal khilafah apalagi rencana men-suriah-kan Indonesia. Ini soal pengamanan aset yang mau disita paksa. That’s all,” begitu jawabku. Tidak sejauh itulah…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments