Mencoba Mengubah Pola Permainan


524

Mencoba Mengubah Pola Permainan

Oleh: Ndaru Anugerah

Melihat banyaknya kematian akibat si Kopit, pakde kemudian menginstruksikan kepada LBP dan Doni Monardo untuk menekan angka kematian dengan durasi waktu 2 minggu (15/9). Ini menyasar pada 9 provinsi yang ada di Indonesia. Jatim salah satunya. (https://news.detik.com/berita/d-5174223/jokowi-beri-waktu-2-pekan-ke-luhut-doni-untuk-tangani-corona-di-9-provinsi)

Merasa jadi daerah target dalam menurunkan angka kematian akibat si Kopit, Gubernur Jatim (Khofifah Indar Parawansa) menyurati Menkes Terawan. Dalam suratnya, Khofifah meminta agar Kemenkes mengubah definisi kematian Corona.

Kenapa definisinya harus diubah?

Menurut Khofifah, angka kematian di Jatim tinggi, karena yang kebanyakan pasien yang meninggal adalah pasien dengan penyakit penyerta alias komorbid. Sehingga Khofifah minta ada status pembeda antara orang yang mati karena si Kopit atau mati dengan si Kopit alias punya penyakit penyerta. (https://kumparan.com/kumparannews/pemerintah-indonesia-bakal-ubah-definisi-kematian-corona-1uFMsBJULkq)

Istilah kerennya, confirmed case dan probable case.

Berdasarkan data per 22 September, Jatim menyandang status juara nasional angka kematian Corona (3015 pasien) atau setara dengan 7,3% sementara rata-rata nasional hanya 3,9%.

Jadi Khofifah cuma mau ngomong, “Kalo mau menurunkan angka kematian, ya harus ubah dulu definisi operasional dari kematian akibat si Kopit.”

Pernyataan Khofifah nggak berlebihan, mengingat beberapa hari yang lalu, Doni Monardo (17/9) sempat kasih pernyataan bahwa 92% orang yang mati karena si Kopit, nyatanya memiliki penyakit penyerta alias Komorbid. (https://www.thejakartapost.com/news/2020/09/16/92-of-covid-19-patients-in-some-regions-have-comorbidities-national-task-force.html)

Aliasnya, bukan si Kopit yang membunuh orang, tapi penyakit komorbid-lah biang keroknya.

Gayung bersambut.

Kemenkes merespons permintaan Khofifah. Tim Kemenkes Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan, dr. Subuh kasih pernyataan, “Penurunan angka kematian harus kita intervensi dengan membuat definisi operasional dengan benar, meninggal karena C19 atau karena adanya penyakit penyerta.”

Perhitungan akibat definisi tersebut selama ini, jelas merugikan. Kok bisa? Misal nih, kalo anda mati karena penyakit jantung yang anda miliki, tapi begitu di test si Kopit anda juga dinyatakan positif, maka status kematian yang anda sandang adalah meninggal karena si Kopit, bukan karena sakit jantung.

Padahal, yang benar adalah anda meninggal dengan si Kopit, bukan karena si Kopit.

Bayangkan jika definisi operasional ini berhasil diterapkan, apa yang akan terjadi? Orang akan melek status, bahwa penyebab kematian terbanyak nyatanya bukan dikarenakan si Kopit, tetapi karena penyakit penyerta yang dimilikinya.

Tanpa si Kopit-pun, kalo anda punya penyakit penyerta (seperti jantung, kanker, diabetes, paru-paru) anda akan mudah meregang nyawa. Apalagi kalo nggak ditangani dengan baik, bakal makin cepat prosesnya. Betul, apa betul?

Kalo orang sudah mulai sadar bahwa bukan si Kopit-lah yang sesungguhnya memicu kematian pada seseorang, tetapi lebih pada penyakit penyertanya (komorbid), kira-kira orang akan parno lagi nggak pada si Kopit? Nggak akan.

Reaksi selanjutnya apa, saya yakin anda cukup cerdas untuk menjawabnya.

Apakah rencana ini akan dibiarkan? Tentu tidak Roberto.

Nggak lama langsung ada nota keberatan dari beberapa kalangan atas upaya mengubah definisi tersebut. Siapa mereka? Silakan jawab sendiri.

Saran saya cuma satu pada Jokowi. Maju terus pak, dengan kepercayaan diri yang anda miliki, layaknya seorang pakde yang saya kenal dulu.

 

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!