Menakar Jabar


506

Menakar Jabar

Rasanya kalah di pilkada itu, ibarat kehilangan pacar karena digebet sama sahabat karib. Sakitnya ngalah-ngalahin sakit gigi plus pantat bisulan.

Berkaca pada kekalahan di pilkada DKI, maka partai-partai pro-Jokowi, menyusun siasat yang sangat beda. Kali ini strategi itu dimainkan di pilkada Jabar.

Sebelum melanjut ke skenario,kita ulas balik, apa yang menyebabkan kekalahan telak di pilkada DKI?

Simpel sebenarnya. Ada dua alasan utama. Pertama karena sistem dikotomis bisa dimunculkan. Dan kedua karena politik identitas masif digelar.

Dengan ronde final yang dikotomis, dimana Ahok-Djarot dihadapkan pada Anies-Sandi, sangat tidak menguntungkan bagi petahana saat itu. Apa artinya? Melawan 1 musuh, akan lebih mudah jika harus melawan banyak musuh.

Lihat pada putaran pertama, dimana Ahok-Djarot memimpin dengan 42,99%, sementara Anies-Sandi hanya 39,95%. Kok bisa kalah diputaran kedua? Ini yang saya maksud sistem dikotomis yang hanya bersisa 2 paslon. Dengan dimainkannya putaran kedua, akan memudahkan tim Anies-Sandi untuk mengerucutkan isu.

Pilihannya hanya 2: kalo nggak Ahok atau Anies, kafir atau seiman, masuk surga atau masuk neraka. Dan pilihan-pilihan itu dimainkan dengan sangat manisnya oleh operator lapangan di masjid-masjid plus pabrik penghasil hoax, Saracen.

Singkatnya sistem dikotomis jangan coba dimainkan, kecuali kepepet atau udah pasti bakal menang. Ini-lah yang bisa menjawab masalah pilkada di Jateng, Jatim dan , dimana pro-Jokowi udah bisa dipastikan menang. Beda kasus dengan di Jabar.

Dengan adanya banyak calon, praktis kalo memainkan isu SARA bisa dikatakan nggak ajib. Coba bayangin kalo nyerang isu SARA ke Kang Emil atau Deddy Mizwar cap badak? Mana manjur? Lha wong di sinetron ajah perannya si Demiz dah jadi pak haji muluu…Masa mau diserang anti Islam??

Boleh dikatakan, praktik politisasi masjid, gak akan digelar. Dan itu sudah ada konfirmasi dari kubu partai korupsi syariah, ehh PKS maksudnya…

Lantas gimana kans’nya? Militansi akan menjadi penentu siapa yang akan memenangkan kontestasi di jabar, selain soliditas.

Coba kita tilik.

Kang Emil dan Uu Ruzhanul Ulum yang diusung partai Nasdem, PKB, PPP dan Hanura, memiliki kans menang dikalangan pemilih millennial. Nama Kang Emil lumayan laku dikalangan pemilih pemula. Cuma masalahnya, partai pendukunganya bukan partai besar. Ini menyulitkan konsolidasi eksternal di lapangan, terutama dalam kampanye nanti.

Paslon duo D, alias Demiz dan Demul yang diusung oleh partai Golkar dan Demokrat, memiliki keuntungan tersendiri. Pertama karena partai pengusungnya partai besar, jadi teknis masalah dilapang akan mudah diminimalisir. Kedua, nama Deddy Mizwar lumayan ajib dikalangan warga Jabar yang agak-agak agamis, gitu…

Paslon ketiga Sudrajat-Ahmad Syaikhu yang diusung oleh partai Gerindra, PKS dan PAN memiliki keuntungan karena ketiganya sudah berpengalaman dalam mendulang kemenangan di pilkada DKI. Cuma masalahnya, operator lapangan yaitu HTI sudah dibubarin. Ini yang jadi kesulitannya, selain sistem dikotomis tidak berlaku di Jabar.

Sedangkan paslon Tb.Hasanuddin dan Anton Charliyan yang diusung oleh PDIP, menurut saya hanya tim hore. Selain keduanya kurang dikenal dimata warga Jabar, saya dapat bocoran kalo pilkada ini PDIP hanya menarget konsolidasi partai menuju pileg 2019. Bisa dibilang: menang syukur, kalah juga kagak rugi…

Menurut analisa saya, pilkada ini akan dimenangkan oleh paslon duo D, namun menangnya tipis. Setipis kondom… sekitar 2-3 % saja.

Ahh.. jadi nggak sabaran lihat hasil Jabar 2018.

Kumaha atuh neng Euis??

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah Mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!