Manajer Kampanye


509

“Bang, kenapa pakde Jokowi pilih ketua timses kok dari kubu pebisnis, bukan dari kubu militer?” demikian pertanyaan masuk melalui whatsapp sore itu.

Lewat tulisan ini, saya coba analisa alasan pakde menjatuhkan pilihannya pada seorang sosok Erick Thohir.

Sebenarnya, tim BOSAN sudah berulang kali memprovokasi pakde untuk memilih pendamping dari kubu militer. Selama ini, soal urusan timses, militer-lah yang lebih layak didaulat, karena mengerti strategi gerilya di lapangan dan lain sebagainya, selain punya jaringan di akar rumput.

Adalah Gatot Nurmantyo yang dijadikan umpan kubu kampret, untuk dipilih oleh pakde. Bahkan kubu PKS berulang kali menyinggung upaya kubu Jokowi untuk memilih GN. “Kan kita sudah pilih Djoko Santoso yang punya background militer, masa gak pilih yang militer juga sih?”

Bukan pakde namanya, kalo jebakan betmen itu ditelan bulat-bulat. Coba pikir, kalo seandainya pakde ambil GN sebagai ketua timses. minimal akan jadi blunder di kalangan timses. Kok bisa?

Pertama, dari pihak Moeldoko. Apa bisa dia bekerja optimal dengan junior-nya semasa aktif di kemiliteran dulu? Masa junior pimpin senior? Apa kata kak Emma?

Kedua dari pihak PDIP. tentu kalo ingat nama GN, para politisi PDIP agak gerah dibuatnya. Pasalnya manuver politik GN yang mengadakan aksi nobar “Pengkhianatan G-30S/PKI” di tangsi-tangsi militer tahun lalu. Kesan yang ditangkap publik, bicara soal PDIP pasti identik dengan PKI. PDIP pun meradang dengan aksi GN tersebut.

Blunder demi blunder akan tercipta, dan ujungnya sinergi yang harusnya bisa tercipta malah jadi sia-sia. Dan pakde sudah mencium hal ini. Walhasil, GN dibuang jauh-jauh sebagai bagian tim, apalagi dijadikan ketua timses.

Terus apa hitungan pakde untuk memilih ET?

Banyak yang menghitung karena pakde gak mau dibuat babak belur dengan kondisi rupiah yang terus menerus jadi bulan-bulanan dollar AS. Maka ditaruhlah ET. Diharapkan teman-temannya bakal ikutan dukung dirinya dari segi ekonomi untuk menyelamatkan nilai rupiah.

Kalo ini alasannya, agak gak pas menurut saya. Pertama, yang namanya pebisnis, tentu tidak kenal istilah nasionalisme. Cari untung adalah diktumnya, bukan nasionalisme. Lagian, sekelas ET apa cukup mumpuni menghadang kelompok Rothschild, misalnya?

Terus, kalo alasannya karena pakde butuh modal kampanye, selaku petahana pasti dana dia sangat mumpuni. Ngapain harus ngemis ke ET dan konco-konconya?

So, what’s the reason? Just because he is a millennial.

Dengan menggandeng generasi milenial, ada 3 keuntungan yang akan didapat pakde.

Pertama, generasi milenial adalah pemilih potensial.

Menurut definisi, generasi milenial adalah mereka yang berusia 17-40 tahun. Jumlahnya di pilpres 2019 mencapai 35-40%. Angka yang cukup menggiurkan untuk direngkuh. Dan sudah jadi rahasia umum, kalo milenial hanya bisa didekati oleh milenial juga, dan bukan oleh seorang jenderal. (baca disini)

Kedua, milenial adalah segmen yang harus diraup oleh pakde pada gelaran pilpres tahun depan. Pasalnya pakde sudah mengantongi ticket to ride terhadap generasi milenial. Merujuk pada hasil survey SMRC di akhir Desember 2017 lalu, milenial lebih memilih pakde dengan angka mutlak 58% ketimbang Om Wowo yang cuma 19%.

Aliasnya, pangsa pasar ini harus digarap serius, karena mereka telah melabuhkan pilihan mereka kepada pakde. Tinggal final touch. Dan menaruh seorang ET adalah alasan yang tepat, menurut saya.

Dan alasan terakhir, karena pakde ingin mengubah gelaran kampanye yang sarat dengan serangan hoax, dagangan SARA dan tipu-tipu ala kampret, dengan kampanye yang sehat dan penuh dengan hiburan. Lihat bagaimana pakde menyajikan opening ceremony Asian Games dengan gaya milenial yang cool, kan asyik ngelihatnya tuh…

Itulah alasan mengapa seorang pakde memilih seorang ET sebagai ketua timses.

Dampaknya cukup dahsyat.

Tercatat Sandiaga yang awalnya mati-matian bilang kalo ET nggak mungkin mau jadi ketua timses Jokowi, dibuat mati gaya.

Dan alasan ET mau ambil tawaran pakde, saya pikir cukup jelas.

Pertama karena dia cukup dekat dengan kaum milenial. Kedua, selaku orang muda, dia-lah sebenarnya pemegang tongkat estafet kepemimpinan di negeri ini, bukan para jenderal lapuk. Lagian, selaku pebisnis, dia pasti punya instink kalo pakde bakal menang.

Jadi nggak sabar pengen ngeliat kampanye model gimana yang akan disajikan pakde, nanti. Pasti kreatif dan lots of fun. Yah daripada ngeliat model kampanye ala para kampret, yang serba tegang dan tarik urat syaraf. Bisa-bisa kena stroke, brayy….

Betewe, gimana mbak Lia? Apa masih perlu tempee??

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!