Lockdown Kok Dipakai?
Oleh: Ndaru Anugerah
“Aneh ya bang. Bukankah WHO telah menyatakan bahwa lockdown bukan cara yang efektif untuk menuntaskan pandemi si Kopit? Lantas kenapa sampai sekarang lockdown atau tindakan karantina masih dipakai dimana-mana?” tanya seseorang kepada saya.
Apa yang dinyatakannya benar adanya, mengingat WHO sudah kasih klarifikasi bahwa lockdown gak bisa dijadikan solusi buat mengatasi Kopit, termasuk untuk menghentikan penyebarannya. Apalagi kalo lockdown atau karantina tersebut diperpanjang terus kek sinetron di televisi. Sangat tidak efektif. (https://www.theguardian.com/commentisfree/2020/oct/10/continual-local-lockdowns-answer-covid-control)
Bahkan saya sudah ungkapkan hal itu sejak 7 bulan yang lalu, jauh sebelum WHO merevisi kebijakan yang awalnya sangat dianjurkannya. (baca disini)
Nah, apa yang sudah diungkapkan WHO, kini diperkuat dengan temuan yang dirilis oleh para ilmuwan yang hasilnya dipublikasi pada The New England Journal of Medicine (NJEM). Intinya bahwa lockdown atau karantina seekstrim apapun nggak bisa menahan laju penularan si Kopit. (https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa2029717)
Sebelumnya, AIER juga telah mengadakan penelitian yang dipublikasi di akhir Juli lalu, bahwa tindakan penguncian atau karantina nggak bawa dampak apa-apa terhadap tindakan mencegah penularan virus si Kopit. (https://www.aier.org/article/the-virus-doesnt-care-about-your-policies/)
Ini bukan penelitian pertama yang membahas tentang efektivitas lockdown atau karantina.
Prof. Isaac Ben-Israel yang merupakan ilmuwan top di negara Israel juga telah mengatakan hal yang kurleb sama, bahwa si Kopit akan hilang dengan sendirinya setelah 70 hari menghantam suatu wilayah. (https://www.timesofisrael.com/top-israeli-prof-claims-simple-stats-show-virus-plays-itself-out-after-70-days/)
Kemudian ada lagi penelitian besar yang dipublikasi The Lancet, yang intinya nggak ada kaitan antara tindakan lockdown atau karantina dalam menurunkan tingkat kematian penduduk. (https://www.thelancet.com/journals/eclinm/article/PIIS2589-5370(20)30208-X/fulltext)
Dengan semua temuan ilmiah tersebut, pertanyaan sederhana: kenapa banyak pemerintahan masih keukeuh untuk mengadakan pembatasan sana-sini? Apa dasarnya? Bukankah kebijakan tersebut akan menambah buruk kondisi perekonomian di negara tersebut?
Aneh bukan?
Kecuali kalo ada penelitian pembanding yang dilakukan secara independen di suatu negara, yang hasilnya bertentangan dengan penelitian yang telah dibuat oleh ‘pakar’ kelas dunia, itu lain lagi ceritanya. Nyatanya kan penelitian pembanding nggak ada alias cuma copas kebijakan dimana-mana yang dasarnya dari Prof. Lockdown. (baca disini)
Dan terakhir, biar anda buka mata terhadap kenyataan yang ada, sebuah penelitian yang berkaitan dengan kebijakan lockdown atau karantina, nyatanya dibuat seketat apapun (pakai masker, social distancing, stay at home, dan cuci tangan) tetap nggak berhasil menahan laju penyebaran virus.
Maksudnya?
Baru-baru ini, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Icahn di Gunung Sinai bekerjasama dengan Pusat Penelitian Medis AL untuk menguji apakah karantina dan isolasi ekstrim dapat menghentikan laju penularan virus si Kopit?
Untuk penelitian ini, pada bulan Mei silam, sebanyak 3.143 anggota mariner dilibatkan dalam program karantina ekstrim tersebut. Nah proyek ini dinamakan CHARM alias C19 Health Action Response for Marines. (https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa2029717)
Secara teknis, para marinir tersebut diuji pakai qPCR dan diambil darahnya tiap minggu untuk mengetahui antibodi IgG. Bagi para marinir yang kedapatan tes positif pada hari pendaftaran, hari ke-7 dan hari ke-14, akan dipisahkan dari teman sekamar alias diisolasi ketat.
Dalam percobaan tersebut, semua anggota marinir tersebut wajib mengenakan masker berlapis ganda saat di dalam dan di luar ruangan, kecuali saat tidur dan makan. Jarak sosial juga diatur minimal 6 kaki dan nggak boleh meninggalkan wilayah karantina dan mencuci tangan secara rutin.
Para anggota marinir juga diwajibkan tinggal pada ruangan yang terjaga kebersihannya karena disemprot dengan cairan disinfektan secara berkala. Selain itu, semua relawan juga diawasi dengan ketat ikhwal mobilitasnya dan juga wajib dicek suhunya secara rutin.
Jika ada gejala sakit si Kopit, maka buru-buru dicek swab dan langsung diisolasi secara ketat jika hasilnya positif.
Sudah mirip dengan simulasi lockdown yang sesungguhnya, bukan? Tapi ini lebih meyakinkan hasilnya, mengingat tingkat kepatuhan para prajurit marinir jauh lebih baik ketimbang rakyat sipil. Jadi bisa dikatakan 100% patuh alias nggak melanggar aturan.
Lalu apa hasilnya?
Virus si Kopit masih saja menyebar dan penegakkan disiplin yang ekstrim justru dapat memicu tingkat infeksi Kopiy yang lebih tinggi lagi.
Lantas, bagaimana dengan kelas kontrol yang tidak mendapatkan perlakukan karantina super ketat? Tingkat infeksinya justru sedikit lebih rendah daripada kelas percobaan.
Artinya apa?
Kalo tindakan karantina super ketat ala militer saja nggak bisa menahan laju penyebaran si Kopit, apalagi karantina yang diterapkan oleh banyak negara di dunia? Memang ada yang bisa lebih ketat lagi ketimbang tentara?
Lantas, apakah penelitian super penting ini diliput secara luas oleh media mainstream agar masyarakat jadi tahu tentang efektivitas karantina yang gagal dalam menghentikan laju infeksi si Kopit? Boro-boro.
Kalo sudah begitu, apa gunanya kita hidup berlama-lama dengan status karantina atau apapun itu namanya? Dimana pijakan ilmiahnya kebijakan ‘karantina’ tersebut?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Prof. Isaac Ben-Israel yang merupakan ilmuwan top di negara Israel juga telah mengatakan hal yang kurleb sama, bahwa si Kopit akan hilang dengan sendirinya setelah 70 hari menghantam suatu wilayah. (https://www.timesofisrael.com/top-israeli-prof-claims-simple-stats-show-virus-plays-itself-out-after-70-days/).
Kalau memang 70 hari, berarti COVID-19 sampai bertahun-tahun, ini memang sengaja disebarkan ke seluruh dunia, mungkin melalui udara di saat orang beraktivitas dan berkerumun mungkin yah bang