Krisis di Sri Lanka (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama tulisan, kita sudah bahas tentang krisis ekonomi yang ada di Sri Lanka, yang nyatanya bukan dipicu oleh status pelabuhan Hambantota yang katanya ‘dijual’ ke China, seperti narasi mainstream yang banyak beredar selama ini. (baca disini)
Lalu, kalo bukan karena pelabuhan Hambantota, apa penyebab krisis ekonomi di Sri Lanka?
Untuk jawab pertanyaan ini, kita harus flashback ke masa lampau.
Setelah merdeka dari Inggris di tahun 1948, pertanian yang dikelola di Sri Lanka berorientasi pada pasar ekspor, seperti teh, kopi, karet hingga rempah-rempah. Hasil ekspor inilah yang menyumbang devisa bagi negara. Oleh negara, uang hasil ekspor dipakai untuk mengimpor bahan pangan bagi penduduknya. (http://countrystudies.us/sri-lanka/51.htm)
Seiring berjalannya waktu, Sri Lanka mulai mengembangkan hasil ekspor-nya, dari semula hanya hasil perkebunan, meluas ke bahan tekstil dan juga sektor pariwisata.
Namun masalahnya, neraca ekspor kadang nggak sesuai ekspektasi. Walhasil, penurunan ekspor akan memberikan efek buruk bagi cadangan devisa negara tersebut. Ini akan mengarah pada krisis neraca pembayaran, utamanya pada utang-utang yang mereka miliki pada investor. (https://www.jstor.org/stable/3520187)
Untuk mengatasi masalah ini, Sri Lanka layaknya kebanyakan negara berkembang lainnya, mengandalkan bantuan finansial dari lembaga Bretton Woods, sekelas IMF.
Dan hingga saat ini, sudah ada 16 paket bantuan keuangan yang diberikan pada Sri Lanka, sejak 1965 silam. (https://www.advocata.org/commentary-archives/2021/10/01-prof-athukorala-sri-lanka-and-the-imf-myth-and-reality-part-2)
Anda tentu mahfum, jika setiap bantuan yang diberikan lembaga Bretton Woods, pasti ada segudang syarat yang diberikan. Ini dikenal Structural Adjustment Programs. (baca disini)
Hal yang sama, berlaku pada bantaun IMF pada Sri Lanka, dimana banyak syarat yang harus dipenuhi dari mulai pengetatan anggaran, kebijakan moneter, memotong subsidi pangan bagi rakyat hingga depresiasi mata uangnya.
Alih-alih membawa perbaikan ekonomi, nyatanya bantuan tersebut malah membuat Sri Lanka masuk lebih dalam ke jerat utang yang disediakan IMF.
Berdasarkan data, utang terakhir yang diberikan IMF pada Sri Lanka di tahun 2016 silam. Tercatat, negara mendapatkan suntikkan dana sebesar USD 1,5 miliar untuk pemulihan ekonomi, Sialnya, ekonomi terus merosot bukannya membaik. Di sisi yang lain, beban utang terus meroket. (https://frontline.thehindu.com/cover-story/roots-of-sri-lanka-economic-crisis/article38467127.ece)
Masalah nggak berhenti sampai disitu, karena di tahun 2019, Sri Lanka mengalami 2 kali guncangan ekonomi. Pertama ledakan bom yang menyasar gereja-gereja dan hotel-hotel mewah di kawasan Kolombo. (https://www.bbc.com/news/world-asia-52357200)
Guncangan ini menghantam sektor pariwisata yang jadi Primadona bagi Sri Lanka. Akibat serangan teror, arus wisatawan anjlok. Wajar, mana ada wisatawan yang mau berkunjung ke negara yang jadi sarang teroris bermukim?
Dan ini menguras cadangan devisa negara tersebut akibat defisit anggaran, dari sektor pariwisata. (https://www.dw.com/en/after-the-tragedy-sri-lankan-tourism-braces-for-impact/a-48449331)
Sedangkan guncangan kedua justru dibuat oleh Presiden Gotabaya Rajapaksa, yang melakukan pemotongan pajak secara tidak masuk akal pada berbagai sektor. (https://publicfinance.lk/en/topics/erosion-of-the-tax-base-a-33-5-decline-in-registered-taxpayers-from-2019-to-2020-1638797962)
Pada tataran teknis, pajak pertambahan nilai, dipotong dari 15% menjadi 8%. Sementara pajak tidak langsung lainnya, seperti pajak pembangunan negara, pajak pendapatan hingga biaya layanan ekonomi, malah dihapus keberadaannya oleh Rajapaksa.
Akibat pemotongan pajak ini, sekitar 2% PDB Sri Lanka raib. Angka ini cukup besar bagi pendanaan negara yang baru saja diguncang serangan teror. (https://www.ft.com/content/2848219a-1122-11ea-a7e6-62bf4f9e548a)
Ibarat jatuh lalu tertimpa tangga, nasib sial kembali dialami Sri Lanka saat plandemi Kopit melanda pada Maret 2020. Ini disebabkan karena Rajapkasa salah ambil keputusan dengan mengeluarkan kebijakan yang melarang impor pupuk. Alasannya klasik: mencegah terkurasnya cadangan devisa. (http://fas.org.in/rajapaksas-eco-extremism-spells-doom-for-sri-lankan-agriculture-and-rural-livelihoods/)
Akibat beleid ini, Rajapaksa menyatakan bahwa Sri Lanka adalah negara pertanian organik 100% yang nggak mengandalkan pupuk dalam menggenjot produksi pertanian.
Ini sama saja bunuh diri. Mana ada produksi bisa digenjot tanpa menggunakan pupuk?
Belakangan, kebijakan ini ditarik pada November 2021 silam, karena dinilai nggak berjalan sesuai harapan. Akibat kebijakan konyol tersebut, produksi pertanian Sri Lanka langsung jeblok, sehingga impor yang lebih banyak lagi mutlak diperlukan untuk menutup kekurangan konsumsi nasional. (https://www.imf.org/en/News/Articles/2022/03/02/pr2254-sri-lanka-imf-executive-board-concludes-2021-article-iv-consultation-with-sri-lanka)
Sebaliknya, pendapatan ekspor pada produk teh dan karet yang selama ini jadi primadona, jadi turun produktivitasnya akibat kebijakan anti pupuk Rajapaksa. Ini menggerus cadangan devisa negara, yang biasanya digunakan untuk mengimpor pangan.
Ujung-ujungnya kelangkaan pangan terjadi karena negara nggak punya cukup uang untuk impor. Ini akhirnya memicu angka inflasi secara signifikan akibat harga barang-barang yang terkerek naik disebabkan langkanya stok. (https://economynext.com/sri-lanka-tea-farms-fear-40-pct-crop-loss-in-2022-rubber-wipe-out-over-fertilizer-ban-86600/)
Disini kita bisa tahu, apa yang menjadi penyebab sesungguhnya krisis ekonomi yang terjadi di Sri Lanka saat ini. Jadi bukan Hambantota yang jadi biang keladinya, tapi karena ada campur tangan lembaga Bretton Woods dan juga inkapabilitas seorang Rajapaksa dalam memimpin negara.
Melihat situasinya, naga-naganya Sri Lanka bakal menggantungkan nasibnya kembali pada bantuan IMF, yang sudah pasti menjerat negara tersebut ke dalam jurang utang yang nggak akan mungkin mereka bisa lunasi selamanya. (https://www.timesnownews.com/world/sri-lankan-parties-want-interim-govt-with-new-pm-as-imf-talks-loom-article-90782421)
Rencananya suntikan dana yang bakal dipakai untuk recovery, tapi yang terjadi kemudian proses kebangkrutan ekonomi bakal menghantui Sri Lanka diakhir cerita. (https://thediplomat.com/2022/03/sri-lanka-and-the-neocolonialism-of-the-imf/)
Anyway, ini skenario mirip-mirip yang terjadi di Wakanda, bukan sih?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
Bang. Soal Kudeta Putin dong