Komputer Hidup (*Bagian 1)


523

Komputer Hidup (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah – 16072024

“Jadi AI nggak ramah lingkungan karena memakai lebih banyak energi sehingga mengeluarkan lebih banyak emisi gas buangan, ya Bang?” tanya seseorang.

Tentu saja. Industri berbasis AI memang sangat boros bahan bakar. (baca disini dan disini)

Nggak percaya?

Google telah mengakui bahwa mereka telah menghabiskan emisi gas buangnya selama 5 tahun terakhir, dimana 50% untuk energi AI yang merupakan tulang punggung search engine mereka. (https://www.theguardian.com/technology/article/2024/jul/02/google-ai-emissions)

Big Tech sekelas Amazon juga punya masalah yang sama saat menggunakan AI pada layanan-nya, dimana teknologi tersebut terbukti boros energi. Untuk mengatasinya bahkan Amazon terpaksa membeli energi bertenaga nuklir bagi pusat datanya dari Talen Energy. (https://qz.com/big-tech-nuclear-power-plants-ai-energy-electricity-1851569796)

Bahkan saking borosnya pada konsumsi energi, AI berpotensi mematikan jaringan listrik yang selama ini digunakan oleh banyak kalangan. (https://fudzilla.com/news/ai/59266-ai-s-energy-appetite-might-kill-the-power-grid)

Dan masih banyak lagi cerita sejenis.

Kesimpulannya, AI nggak ramah lingkungan karena boros energi.

Dan itu fakta.

Jadi, solusinya apa dalam menanggulangi AI?

Pernah dengar Finalspark?

Finalspark adalah perusahaan startup asal Swiss yang menggunakan komputer wetware alias komputer organik buatan. Komputer wetware sendiri terdiri dari neuron-neuron yang berbeda dengan komputer konvensional karena menggunakan bahan biologis dalam pengoperasiannya.

Bahan biologis ini sengaja digunakan pada komputer wetware karena menawarkan fitur komputasi yang jauh lebih hemat energi. Setidaknya jika dibandingkan dengan teknologi AI. (http://news.bbc.co.uk/2/hi/sci/tech/358822.stm)

Kalo diringkas, Finalspark mencoba kasih solusi atas borosnya penggunaan energi pada pusat data berbasis AI, dengan komputer hidup yang terbuat dari jaringan otak manusia. Istilah keren-nya organoid yang nggak lain merupakan jaringan otak manusia yang tumbuh secara artifisial dan in vitro.

Dengan adanya organoid, maka para pengguna platform Finalspark bisa mengakses informasi secara daring yang ramah lingkungan dengan menggunakan jaringan komputer hidup.

Lantas dimana letak masalahnya?

Secara prinsip, teknologi wetware mencoba menggabungkan perangkat keras, perangkat lunak dan biologi dalam satu wadah yang disebut sebagai neuroplatform.

Nah, neuroplatform ini menggunakan empat Multi-Electrode Arrays (MEAs) yang menampung jaringan hidup organoid, yang berasal dari massa sel 3D jaringan otak manusia. (https://www.tomshardware.com/pc-components/cpus/worlds-first-bioprocessor-uses-16-human-brain-organoids-for-a-million-times-less-power-consumption-than-a-digital-chip)

Dengan adanya organoid, maka kerja prosesor yang tadinya menggunakan perangkat teknologi boros energi dalam mengolah datanya, tergantikan dengan prosesor yang diadaptasi dari jaringan otak manusia.

Pertanyaan mendasarnya: mengapa para ilmuwan begitu tertarik menciptakan komputer dari jaringan otak hidup? apakah karena alasan tidak boros energi semata dengan mengoptimalkan bioprosesor? apakah hanya kebetulan munculnya masalah konsumsi bahan bakar pada AI lalu tetiba muncul solusi berupa neuroplatform?

Jawaban atas pertanyaan tersebut, saya nggak bisa kasih jawabannya.

Satu yang pasti bahwa penggunaan otak untuk mengoperasikan bioprosesor, sesungguhnya menyinggung masalah etik. Apakah itu etis? Nggak mudah menjawabnya. (https://www.discovermagazine.com/technology/could-a-brain-be-kept-alive-in-a-jar)

Kok bisa?

Seperti kita ketahui bersama, bahwa otak merupakan organ penting yang bisa menjalankan sederet aktivitas pada manusia.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kerja otak adalah perasaan. Jika perasaan senang, maka otak akan mudah dirangsang untuk bekerja lebih optimal. Sebaliknya jika otak merasa tertekan, kerjanya jadi tidak optimal.

Jadi, kerja otak manusia sangat dipengaruhi perasaan. Itu fluktuatif sifatnya.

Masalahnya, kerja otak pada organoid harus selalu dibuat ‘senang’ terus agar bisa beroperasi secara optimal. Mana mungkin kerja organoid jadi lemot yang berakibat pada lemahnya pengolahan data?

Jelas tidak mungkin.

Pertanyaan selanjutnya: bagaimana caranya agar organoid bisa dibuat ‘senang’ secara simultan?

Dengan cara dilatih.

Anda ingat tentang kerja operant conditioning yang diprakarsai oleh BF Skinner? Dengan cara itulah maka kerja organoid pada bioprosesor dilatih melalui sistem reward and punishment. (https://www.verywellmind.com/operant-conditioning-a2-2794863)

Teknisnya begini.

Jika kerja organoid bisa maksimal sesuai dengan yang diharapkan, maka organoid tersebut bakal menerima dopamin (neurotransmitter yang bertanggung jawab atas kesenangan). (https://www.health.harvard.edu/mind-and-mood/dopamine-the-pathway-to-pleasure)

Bagaimana jika kerja organoid melenceng dari yang diharapkan?

Organoid tersebut bakal menerima hukuman berupa rangsangan disharmoni seperti aktivitas listrik yang tidak teratur. Bahasa gampangnya: disetrum. Dengan perlakuan ini, maka organoid akan disiksa karena kerjanya tidak sesuai ekspektasi.

Dengan mekanisme ini, maka organoid yang dibuat dari jaringan otak manusia di laboratorium (in vitro) bisa disuruh bekerja sesuai permintaan dengan mekanisme reward and punishment.

Apakah ini mendatangkan masalah?

Jelas.

Pada bagian kedua kita akan bahas.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!