Infiltrasi itu Ada


511

Pawai atau karnaval di TK Kartika V/69 Probolinggo berdampak pada polemik berkepanjangan. Pada momen itu sekumpulan anak-anak TK mengenakan pakaian serba hitam khas mujahid Timur Tengah, lengkap dengan replika senjata yang sepintas mirip-mirip AK-47.

Kontan, karnaval itu mengundang tanda tanya? Dan yang namanya netizen, tentu tak melewatkan kesempatan yang langka ini. Ambil gadget trus di shoot dan langsung disebar ke media sosial. Seketika viral-lah aksi karnaval yang dianggap menyalahi kewajaran tersebut?

Banyak keanehan disana. Masa iya karnaval anak TK dalam rangka perjuangan Hari Kemerdekaan, kok kostum dan alat peraganya sangat nggak matching buat anak seumuran itu. Mestinya pake kostum pakaian adat kek atau pakaian superhero, eh ini malah kostum ala ISIS lengkap dengan “senjatanya”.

Banjir komentar di medsos, akhirnya memaksa Kepala Sekolah – bunda Hartatik – meminta maaf kepada publik. Langsung jurus ngeles digelar. Alasannya tema kostum karnaval bertujuan mengenalkan perjuangan Rasulullah dan meningkatkan keimanan para siswa.

Karena keterbatasan dana, pihak sekolah ambil inisiatif untuk memanfaatkan properti yang ada di gudang sekolah. Walhasil, pasukan serba hitam plus cadar dan senjatanya yang akhirnya meluncur di karnaval tersebut.

Sasus yang beredar, pihak orangtua merasa “dibohongi” pihak sekolah. Karena awalnya, karnaval tersebut tidak ada pembicaraan untuk memakaikan kostum ala Mujahid kepada anak-anak.

Pihak Kodim 0820 Probolinggo-pun yang menaungi TK Kartika V/69 juga meminta maaf. Letkol Depri Rio Saransi selaku komandan Kodim merasa kecolongan terkait lolosnya kostum pawai tersebut, lantaran pihak sekolah yang tidak berkordinasi terlebih dahulu.

Kadisdik Pemuda dan Olahraga – M. Maskur – bahkan akan menegur dan menyiapkan sanksi kepada pihak sekolah. Terlebih setelah selidik punya selidik, “acara pawai itu belum mengantongi ijin kepolisian,” ungkap Kapolresta Probolinggo, AKBP Alfian Nurizal.

Jelas, awalnya ada prosedur yang dilanggar disana. Makanya ramai-ramai pihak yang terkait akhirnya minta maaf kepada khalayak. Bahkan KPAI pun meminta agar kasus itu diusut tuntas.

Lagian mana wajar sih, anak-anak kok dikasih kostum ala Mujahid ISIS. Kesannya, simbol gerakan radikal kok malah dijadiin bahan lucu-lucuan?

Namun kejadian jadi aneh, saat Mendikbud – Muhadjir – malah mengatakan yang sebaliknya. “Kalo dilihat secara utuh, karnaval itu seperti karnaval biasa. Setelah saya cek langsung di lapangan, karnaval itu tidak ada yang luar biasa,” ujarnya sambil menyerahkan uang 25 jeti kepada pihak sekolah

Langkah ajaib lainnya malah diperlihatkan pihak kepolisian, dengan mengeluarkan pernyataan akan memburu siapa pengunggah video ke dunia maya tersebut. Super duper aneh.. pertinyiinnyi: apa mungkin peristiwa itu bakal terekspos ke publik, tanpa ada jasa sang pengunggah?

Akibatnya semua beraksi. Warganet meradang, tak terkecuali Gus Yahya Cholil Staquf selaku warga Nahdliyin Jawa Timur.

Menurutnya pakaian hitam-hitam dan replika bedil itu tak bisa dimaknai, selain propaganda radikalisme. Dengan kata lain, sang Kepsek berniat menciptakan pembenaran atas kelompok radikal sebagai “cermin perjuangan Rasulullah.”

Selain itu, kalo ditelusuri, mustahil kalo aparat keamanan setingkat TNI dan Polri kecolongan. Toh nyatanya mereka punya aparatus intelejen yang bisa bergerak di lapangan. Artinya, setiap pergerakan di lapangan, agak aneh kalo mereka nggak tahu sebab musababnya.

Timbul spekulasi, jangan-jangan kedua institusi itu bermaksud melindungi “orang-orang tertentu” atau mau menyembunyikan kerusakan institusi yang ditimbulkan akibat adanya infiltrasi radikalisme di tubuh mereka. Entahlah? Setidaknya Gus Yahya mengendus kemungkinan tersebut.

Dengan dibubarkannya HTI yang telah sukses belasan tahun malang melintang di negeri ini, rasanya agak musykil kalo virus radikalisme bisa dibasmi dalam waktu sekejab. Meskipun pemerintah telah resmi membubarkan HTI, infiltasi yang mereka buat sudah sangat dalamnya.

Setidaknya perlawanan akan mereka sajikan.

Dan seperti ulasan saya, mereka akan mendompleng salah satu paslon di 2019 nanti, sebagai bargaining politik. Mereka akan berupaya memenangkan paslon yang mereka usung, dengan imbalan organisasi mereka akan bisa dihidupkan kembali kelak paslon tersebut menang.

Ini adalah final war buat buat mereka. Dengan diam atau golput, sama saja memberikan kesempatan buat mereka kembali hidup di negeri kita tercinta. Pertanyaannya: relakah kita?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!