Duterte Masuk Kandang (*Bagian 2)


526

Duterte Masuk Kandang (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah – 20032025

Pada bagian pertama kita sudah bahas bagaimana sosok Rodrigo Duterte dicokok oleh ICC dengan alasan pelanggaran HAM pada para bandar narloba, semasa dirinya berkuasa. (baca disini)

Pertanyaan-nya: bukankah apa yang dilakukan Duterte bersifat normatif demi melindungi warganya dari bahaya narkoba? Kenapa ICC sangat berkeras untuk mengandangkan Duterte?

Apakah ICC bebas kepentingan?

Kita tahu peristiwa 9/11 bukan?

Berapa korban jiwa warga lokal yang disebabkan serdadu AS di Irak dan Afghanistan dengan alasan adanya senjata pemusnah massal yang nggak pernah ditemukan buktinya? (baca disini dan disini)

Apakah ICC mencokok George Bush Jr. akibat aksi agresi-nya tersebut?

Coba bandingkan korban jiwa di Irak dan Afghanistan, apakah lebih sedikit dibanding korban jiwa yang disebabkan Duterte pada para narcos? (https://watson.brown.edu/costsofwar/figures/2019/direct-war-death-toll-2001-801000)

Atau misalkan penggunaan fosfor putih oleh pasukan Israel dalam membantai warga sipil di Gaza pada tahun 2009 silam? Itu kan kejahatan perang. Adakah ICC mencokok aktor intelektual dibalik tindakan tersebut? (https://www.hrw.org/news/2009/03/25/israel-white-phosphorus-use-evidence-war-crimes)

Atau agresi yang dilakukan Arab Saudi pada warga Yaman, dengan bantuan AS selama bertahun-tahun? Dengan korban jiwa mencapai ribuan, apakah ICC pernah mem-follow up aksi barbar tersebut? (https://www.aljazeera.com/news/2021/11/23/un-yemen-recovery-possible-in-one-generation-if-war-stops-now)

Coba perhatikan daftar negara yang ditenggarai telah melakukan kejahatan kemanusiaan pada warga-nya oleh ICC. Ini saya kasih link-nya. Adakah negara-negara Barat yang dijadikan target ICC dalam daftar tersebut? (https://www.icc-cpi.int/situations-under-investigations)

Saya ulang pertanyaan-nya: apakah ICC bebas kepentingan?

Apakah anda kenal sosok Christoph Flugge?

Dia adalah mantan hakim senior berkebangsaan Jerman yang bertugas di ICC yang terpaksa mengundurkan diri karena nggak tahan adanya campur tangan AS dalam kegiatan pengadilan (https://www.theguardian.com/law/2019/jan/28/international-criminal-court-icc-judge-christoph-flugge-quits-citing-political-interference-trump-administration-turkey)

“AS telah mengancam para hakim setelah ada niatan untuk memeriksa perilaku tentara AS selama bertugas di Afghanistan.” ungkap Flugge.

Apa artinya?

Karena ada niatan ICC untuk menyelidiki keterlibatan pasukan AS pada perang di Afghanistan (dugaan pelanggaran hukum internasional), AS langsung turun tangan dan ‘mengancam’ para hakim di ICC.

“Awas lu yah, jangan coba-coba nyolek pasukan AS dan sekutunya,” begitu kurleb-nya.

Kisah dimulai saat kepala jaksa ICC melakukan penyelidikan awal terhadap kejahatan perang AS di Afghanistan, karena adanyan indikasi yang kuat akan hal itu. Itu terjadi di tahun 2017.

“Ada dugaan kuat kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh personel militer AS di Afghanistan,” begitu isi notanya. (https://www.mintpressnews.com/international-criminal-court-investigation-war-crimes-afghanistan-us-troops/234037/)

Berbekal temuan tersebut, jaksa ICC menindaklanjuti dengan mengumumkan rencana investigasi awal.

Sepertinya si jaksa mungkin terlalu naif atau memang belum tahu info, bahwa yang menyangkut AS dan sekutunya, jangan coba-coba diotak-atik. Itu kalo dia mau selamat.

Menanggapi rencana tersebut, AS lewat penasihat keamanan nasional Trump, John Bolton, menyatakan secara gamblang, “AS akan menggunakan segala cara yang diperlukan untuk melindungi warga negara dan sekutu kami dari penuntutan yang tidak adil oleh pengadilan yang tidak sah ini,” begitu ungkap Bolton.

Dia memperingatkan, “Kami akan melawan ICC. Kami tidak akan bergabung, bekerjasama dan nggak akan memberikan bantuan apapun ke ICC. Kami akan membiarkan ICC mati dengan sendirinya, sebagai mana ICC sudah mati bagi kami.”

Walhasil, karena tekanan tersebut, nggak ada hakim ICC yang berani bertindak lebih jauh menindak lanjuti temuan awal. Siapa juga yang berani melawan tekanan AS?

Alias-nya, bisa dipastikan nggak lagi ada yang namanya independensi pada ICC.

Semua boleh dicolek, asal jangan AS dan sekutu-nya.

Menanggapi hal itu, wajar jika hakim Flugge resign karena ICC nggak ubahnya dagelan semata yang nggak akan pernah diijinkan untuk mencokok AS dan sekutunya. Bukankah harga diri harus dijunjung tinggi oleh para penegak keadilan?

Kisah ini menjelaskan secara gamblang bahwa nggak akan ada keadilan hakiki yang bisa diharapkan, termasuk pada lembaga HAM sekelas ICC sekalipun.

Bukankah ICC ‘sengaja’ dibentuk oleh kekuatan-kekuatan Barat untuk melegitimasi aksi ‘kejahatan’ yang mereka lakukan pada negara-negara yang dijadikan target operasi mereka?

Anda kenal sosok Christopher Black?

Dia adalah seorang pengacara pidana internasional asal yang pernah membela mantan Jenderal Gendamarie Augustin Ndindiliyimana asal Rwanda pada persidangan International Criminal Tribunal for Rwanda.

Dalam gelar perkara di tahun 2014 silam, Black berhasil memenangkan sidang yang menuntut sang jenderal dari tuntutan hukum. (https://www.thestar.com/news/world/canadian-lawyer-wins-legal-battle-over-rwanda-charges/article_8238763b-c8b9-5e0c-8bff-abffb23a24fe.html)

Mengomentari pengunduran diri Flugge, Black mengatakan, “Taktik intimidasi AS (lewat Bolton) bukanlah fenomena baru. Ini sudah terjadi sejak lama sejak badan dunia tersebut dibentuk.”

Black menambahkan, “Tidak hanya hakim dalam kasus saya di pengadilan Rwanda yang mendapat tekanan, tetapi saya sendiri diancam oleh CIA saat saya berada disana agar berhenti mengajukan pertanyaan dan memberikan bukti yang tentu saja tidak mereka sukai.” (https://www.rt.com/news/450611-us-icc-manipulation-experts/)

Apakah itu berarti ICC samsek nggak berani menyeret AS dan sekutunya?

Kalopun ICC terpaksa menggelar pengadilan internasional guna menyeret AS dan sekutunya, maka percayalah bahwa itu hanya pengadilan sandiwara semata. Paling banter, hanya prajurit berpangkat rendah yang akan ‘ditumbalkan’ demi membuat image bahwa ICC telah berlaku adil.

Jadi clear yah bahwa ICC nggak bisa bertindak independen dalam melangkah. Semua ada kontrol AS dan sekutunya dalam setiap aksi mereka.

Termasuk dalam kasus Duterte.

Dengan segenap aksi yang dilakukan Duterte dari mulai menghujat Obama sebagai ‘bajingan’ karena tindakannya yang dinilai tidak bertanggungjawab. (https://www.politico.eu/article/philippines-leader-to-obama-son-of-a-bitch-i-will-swear-at-you-rodrigo-duterte/)

Hingga keinginannya untuk membahas kerjasama militer dan ekonomi dengan pemerintah Rusia di Moskow. (https://www.theguardian.com/world/2017/may/23/philippine-president-rodrigo-duterte-moscow-meet-favourite-hero-vladimir-putin)

Atau niatannya untuk memutus kerjasama militer dengan AS dan berpaling ke China dan Rusia. (https://www.theguardian.com/world/2016/sep/29/rodrigo-duterte-to-end-joint-us-and-philippine-military-drills)

Nggak terlalu sulit untuk menarik benang merah itu, bukan?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!