Dan CDC pun Akhirnya Mengakui
Oleh: Ndaru Anugerah
Ada yang heboh di Amrik sana, namun SENGAJA NGGAK DIEKSPOS OLEH MEDIA MAINSTREAM.
Apa itu?
Sebulan yang lalu, CDC (Center for Disease Control) AS mengeluarkan sebuah laporan yang lumayan bikin heboh. Tapi karena laporan tersebut bisa dapat menghebohkan ‘dunia persilatan’, sengaja nggak diekspos oleh media mainstream, biar nggak geger.
“CDC mengeluarkan estimasi tingkat kematian (IFR) keseluruhan untuk C19 pada angka 0,26%,” begitu kurleb isi laporannya. (https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/hcp/planning-scenarios.html)
Bukan itu saja. Para peneliti di CDC memperkirakan tingkat kematian sebesar 0,4% pada pasien terinfeksi yang bergejala, dan 35% bagi mereka yang terinfeksi namun tidak menunjukkan gejala. Hasil estimasi tersebut berdampak pada angka IFR yang hanya 0,26%.
Padahal sebelumnya CDC ngotot memakai acuan yang dikeluarkan WHO, bahwa tingkat kematian (IFR) untuk di Kopit sebesar 3,4%. Ini pula yang akhirnya memicu arahan badan kesehatan dunia tersebut kepada banyak negara untuk menerapkan lockdown. (https://www.sciencealert.com/covid-19-s-death-rate-is-higher-than-thought-but-it-should-drop)
Dan sekarang CDC pun mengakui bahwa estimasi yang dikeluarkan WHO jelas mengada-ada alias LEBAY. Apa tujuannya selain buat takut dan menyuruh menerapkan status lockdown?
Angka tingkat kematian yang dikeluarkan CDC tersebut, hasilnya nggak jauh beda dari hasil penelitian yang dilakukan para peneliti Stanford sebulan sebelumnya. (https://www.conservativereview.com/news/horowitz-new-antibody-study-strong-evidence-lockdown-strategy-wrong-course/)
Bisa jadi angka tingkat kematian (IFR) bahkan bisa lebih rendah dari perhitungan tersebut, mengingat banyak penelitian dan perhitungan yang dilakukan pada populasi terbatas, telah menunjukkan persentase kasus asimptomatik alias tanpa gejala yang jauh lebih tinggi. (https://www.conservativereview.com/news/horowitz-now-know-majority-contract-covid-19-asymptomatic-changes-everything/)
Dengan kata lain, pernyataan Prof. John Ioannidis dari Universitas Stanford, bahwa tingkat asimptomatik sebesar 50% terjadi pada pasien C19 yang akan menurunkan tingkat kematian menjadi hanya 0,2%, jelas bukan kaleng-kaleng.
Asal tahu saja, dikalangan medis internasional, reputasi seorang Prof. Ioannidis udah dianggap ‘living legend’ alias legenda hidup, yang kalo udah ngomong, PANTANG SALAH.
Seperti diketahui bersama, Prof. Ioannidis pernah menerbitkan analisis pracetak (sebelum peer review), tentang rata-rata tingkat kematian berdasarkan tes SEROLOGI dengan ukuran yang lebih besar dari 500 orang dan diambil secara acak.
Tes Serologi itu jauh lebih akurat dalam mendeteksi viral load si Kopit ketimbang test RT PCR, namun biayanya memang lebih mahal.
Nah merujuk pada sampel acak tersebut, Prof. Ioannidis menyimpulkan bahwa tingkat kematian C19 hanya sekitar 0,2% hingga 0,4%.
Artinya apa? Si Kopit tidaklah lebih mematikan ketimbang penyakit INFLUENZA MUSIMAN (seasonal influenza) yang terjadi di AS saban tahun.
Hasil penelitian Prof. Ioannidis ini pula menampik perkiraan yang dikeluarkan WHO yang menyatakan si Kopit jauh lebih mematikan 17 kali lipat, sekaligus menampik laporan Imperial College yang dipimpin oleh Prof. Neil Ferguson (bonekanya BG), yang menyatakan si Kopit 4,5 kali lipat lebih mematikan. (https://www.conservativereview.com/news/horowitz-new-study-demonstrates-low-coronavirus-fatality-rate-outside-nursing-homes/)
Dan yang perlu dicatat, bahwa kematian keseluruhan akibat si Kopit, setengahnya (0,1%) mengambil tempat di panti jompo alias menimpa orang yang sudah uzur. “Mereka sangat rentan karena memiliki penyakit penyerta (komorbiditas),” demikian paparannya. (https://www.conservativereview.com/news/horowitz-new-study-demonstrates-low-coronavirus-fatality-rate-outside-nursing-homes/)
CDC juga memperkirakan bahwa tingkat kematian C19 pada mereka yang berusia di bawah 50 tahun adalah 1 banding 5000, bagi yang MEMILIKI GEJALA. Kalo yang TANPA GEJALA DIMASUKKAN, angkanya menjadi 1 banding 6725.
Satu yang perlu diketahui bahwa HAMPIR SEMUA YANG MENINGGAL MEMILIKI KOMORBIDITAS SPESIFIK alias penyakit penyerta yang mendasarinya. Jadi nggak ada ceritanya ujug-ujug mati DIKARENAKAN SI KOPIT SEMATA.
Senada dengan laporan CDC dan Prof. Ioannidis tersebut, 4 dokter pakar penyakit menular di Kanada (Neil Rau, Susan Richardson, Martha Fulford dan Dominik Mertz), memperkirakan tingkat kematian C19 untuk orang dibawah 65 tahun dengan angka yang lebih kecil lagi, yaitu hanya 6 per juta orang.
“Ini setara dengan risiko kematian akibat kecelakaan kendaraan bermotor selama periode yang sama,” ungkap laporan tersebut. (https://nationalpost.com/opinion/opinion-we-are-infectious-disease-experts-its-time-to-lift-the-covid-19-lockdowns)
Yang perlu digaris bawahi adalah masukan yang diberikan oleh keempat pakar kesehatan Kanada tersebut. “Pendekatan asli untuk MERATAKAN KURVA bisa dijalankan dengan MELONGGARKAN PEMBATASAN.”
Kenapa perlu dilakukan pelonggaran pada status karantina?
“TIDAK MUNGKIN MENCAPAI KONDISI NOL INFEKSI UNTUK KASUS C19, karena secara mendasar Corona menyebar seperti influenza atau flu biasa, termasuk dari mereka yang tanpa gejala sekalipun.”
Berikutnya ditambahkan, “Virus ini menyebabkan PENYAKIT YANG SANGAT RINGAN PADA BANYAK ORANG.” Dengan kata lain, si Kopit nggak berbahaya karenanya bukaan kembali penting dilakukan untuk meratakan kurva, BUKAN MALAH DIKURUNG TERUS-TERUSAN DI RUMAH.
Anyway, ada berita menghebohkan kek gini, fact checker kok nggak kedengaran suara sih?
Nanti saya kasih uang Doraemon deh…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments