Cukup Bilang Pemilunya Curang
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada pemilu legislatif yang dilakukan di Venezuela baru-baru ini, Partai Persatuan Sosialis Venezuela (PSUV) dan sekutunya berhasil merebut 67,7% (277) kursi di parlemen alias Majelis Nasional. Dengan hasil ini, maka otomatis mayoritas parlemen dikuasai kubu pro-Maduro.
“Ini merupakan kemenangan mayoritas rakyat Venezuela yang berarti kemenangan atas demokrasi yang sejati,” ujar Maduro. (https://www.bbc.com/news/world-latin-america-55211149)
Apakah pemilu legislatif tersebut demokratis?
Tentu saja, mengingat prosesnya dipantau oleh 1500 observers dan 300 perwakilan dari 34 negara di seluruh dunia, termasuk mantan kepala negara di Amerika Latin. Jadi nggak relevan kalo bilang pemilu tersebut dipenuhi kecurangan. (https://www.telesurenglish.net/news/US-Observers-Endorse-Venezuelas-Election-Legitimacy-20201206-0010.html)
Bahkan mantan presiden Ekuador, Rafael Correa bilang, “Di Venezuela, nggak ada yang meragukan sistem pemilihan yang demokratis, karena berjalan secara transparan dan damai.”
Namun beda halnya dengan AS. Menanggapi hasil tersebut, Menlu Mike Pompeo justru mencuit dengan keras, “Ada kecurangan pemilu di Venezuela, karena tidak mencerminkan keinginan rakyat.” (https://twitter.com/SecPompeo/status/1335672345894268938)
Menanggapi cuitan Pompeo tersebut, mantan presiden Honduras, Zelaya kasih pernyataan yang bisa bikin kuping Pompeo merah, “AS nggak punya hak untuk berbicara soal kecurangan pemilu, karena posisi mereka hanya sebagai pengamat.” (https://twitter.com/telesurenglish/status/1335681116406157316)
Sikap media mainstream pada umumnya, selaras dengan sikap yang diambil AS pada pemerintahan Maduro.
Washington Post contohnya, dengan gamblang menuding bahwa Maduro telah memanipulasi hasil pemilu yang diboikot oleh kubu oposisi. (https://www.washingtonpost.com/world/the_americas/venezuela-election-national-assembly-maduro-guaido/2020/12/06/8a9fee74-35d2-11eb-8d38-6aea1adb3839_story.html)
Wall Street Journal juga kasih ulasan yang isinya kurleb sama, “Maduro memperketat cengkramannya saat oposisi memboikot proses pemilu.” (https://www.wsj.com/articles/venezuelas-maduro-tightens-grip-as-opposition-boycotts-elections-11607296455)
Bahkan Human Rights Watch juga kasih pernyataan yang paralel, “Hasil pemilu tersebut hanya panggung sandiwara yang memberikan legitimasi pada pemerintahan Maduro.” (https://www.mintpressnews.com/human-rights-watch-right-wing-massacre-bolivia/262887/)
Kalo dibilang pemilunya nggak representatif karena diikuti oleh sedikit pemilih, ini blunder Nah pemilu di Rumania yang hanya diikuti oleh 30% pemilih, kenapa AS dan sekutunya nggak teriak dengan isu yang sama? Apa karena Rumania adalah sekutunya di NATO, makanya nggak ‘diserang’? (https://www.euronews.com/2020/12/06/romanians-go-to-the-polls-following-years-of-political-uncertainty)
Jelas tudingan pemilu curang mengada-ada. Apa tujuan AS mendelegitimasi hasil pemilu legilastif di Venezuela? Perubahan rejim jelas tujuan utamanya. Kenapa Maduro perlu dilengserkan?
Pertama rejim Maduro yang tidak sejalan dengan kebijakan Washington dan malah mbalelo. Yang dua, rejim sosialis Maduro dianggap sebagai ancaman serius pada halaman belakang (backyard) AS di benua Amerika.
Makanya, segala cara bakalan terus dipakai AS dan sekutunya untuk menjatuhkan kepemimpinan Nicolas Maduro.
Sampai-sampai AS dan sekutunya menunjuk seorang Juan Guaido selaku presiden sementara di Venezuela. Lantas menetapkan seorang Guaido selaku presiden sementara dasarnya apa?
Dengan pede-nya sang presiden ‘inval’ mengklaim, “Itu sudah sesuai dengan Konstitusi 233 Venezuela.”
Memang isi UU tersebut apa?
“Presiden sementara dapat dilakukan jika pejabat presidennya nggak tersedia dengan alasan: kematian, mengundurkan diri, dicopot dari jabatannya oleh MA, atau cacat fisik/mental secara permanen yang disertifikasi oleh dewan medis.” (https://www.constituteproject.org/constitution/Venezuela_2009.pdf)
Coba lihat sosok Maduro. Dia masih hidup, tidak mengundurkan diri dari jabatannya, nggak dicopot jabatannya oleh MA, dan juga tidak cacat fisik/mental secara permanen. Dengan semua kondisi tersebut, penunjukkan Guaido selaku presiden sementara jelas lebay.
Let’s say misalkan Guaido terpilih jadi presiden sementara, apakah dia sosok yang pantas untuk jadi pemimpin di Venezuela?
Pada April 2019, Juan Guaido sudah melancarkan kudeta gagal pada pemerintahan Maduro. Belum menang pemilu aja sudah berani kudeta, gimana kalo berkuasa? (https://www.euronews.com/2019/05/04/venezuela-guaido-defiant-after-failed-coup-attempt)
Guaido juga sudah mengadakan perjanjian rahasia dengan pemerintah Inggris, jika dia diberikan sokongan politik untuk berkuasa. Sebagai imbalannya, Inggris akan mendapatkan hak konsesi atas wilayah Essequibo yang kaya akan kandungan minyak. Belum memimpin aja sudah berani ‘jual’ negara, gimana kalo pegang kuasa? (https://www.thecanary.co/exclusive/2020/05/13/revealed-secretive-british-unit-planning-for-reconstruction-of-venezuela/)
Belum lagi upaya Guaido dalam mengontrak tentara bayaran untuk membunuh presiden Maduro lewat operasi Gedeon. (https://prruk.org/us-imperialisms-decomposition-accelerates-outsourcing-regime-change/)
Pada kasus korupsi, Guaido juga bukan sosok yang ideal. (https://www.hinterlaces.net/asalto-a-un-pais-el-prontuario-de-guaido-en-diez-casos-emblematicos)
Dengan semua rekam jejak tersebut, jelas gelar presiden sementara nggak layak disandang oleh seorang Guaido. Kalo begitu, apa gelar yang layak disematkan kepada sosok Guaido?
Presiden halu. Itu baru cocok.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments