Sore itu seorang teman sesama mantan aktivis 90-an bertanya, “Udah lihat film Bumi Manusia, Ru?”
Mendengar pertanyaan ini, cukup bingung awalnya. Kaget kalo buku yang dulu semasa Orba dicap sebagai buku ‘haram’, sekarang bisa divisualisasikan. Hebat juga, pikir saya. Mengingat tidak mudah memindahkan konsep yang tertulis di buku menjadi sebuah karya sinematografi.
“Apa bisa pesannya nyampe ke penonton?” Mengingat pembahasaan yang ada dibuku, lumayan deklamatoris. Kalo anak generasi milenial baca, pasti baru satu halaman sudah dilempar tuh novel. Nggak ngerti apa maksudnya karena dianggap bertele-tele.
Bumi Manusia sendiri merupakan novel klasik karya Pramoedya Ananta Toer, yang dihasilkan saat dirinya menjalani eksekusi sebagai tapol di Pulau Buru.
Bung Pram sendiri, pernah menjalani hukuman di Pulau Buru selama 10 tahun, dari 1969 – 1979. Hukuman yang aneh setidaknya menurut pengakuan dirinya, mengingat tanpa menjalani proses pengadilan, tiba-tiba main tangkap dan langsung diangkut ke sana. Tanpa ada pembelaan.
Disanalah, dia menuntaskan karya monumentalnya yaitu tetralogy Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan juga Rumah Kaca. Jadi kalo anda sudah melihat atau membaca Bumi Manusia, maka lanjutannya yah ketiga novel tersebut.
Saya sendiri sudah lama membaca buku-buku karya Bung Pram, dulu semasa menjadi aktivis mahasiswa. Buku-buku itu nggak tahu siapa yang punya, tapi hebatnya bisa pindah tangan dari satu orang ke orang yang lain, tanpa terendus oleh aparat keamanan.
Beruntung bagi saya, karena sempat bertemu Bung Pram di medio 1999. Saat itu dia bersama koleganya sesama eks tapol Pulau Buru. Dia bercerita banyak tentang situasi yang dia alami saat menjalani masa tahanan dan bagaimana dia bisa menuntaskan karya tetralogy-nya tersebut.
Berbekal informasi tersebut, bagi saya jadi paham bagaimana kronologi karya emas itu bisa ada.
Jadi paham juga kenapa dia getol merokok, tanpa takut kena efek sampingnya. Ternyata dia selalu mengkonsumsi bawang putih sebagai upaya detoksifikasinya.
Bumi Manusia menceritakan bagaimana seorang pribumi yang bernama Minke, yang awalnya sangat berpikiran inlander alias foreign-minded. Sampai-sampai dia enggan mengakui bahwa dirinya pribumi, walaupun dia orang Jawa. Baginya budaya Jawa tak lebih dari budaya feodal.
Namun pikirannya menjadi berubah 180 derajat, saat dia mulai mengenal gadis blasteran yang bernama Annelies Mellema. Annelies sendiri merupakan anak dari Sanikem yang kemudian dikenal sebagai Nyai Ontosoroh.
Sebagai informasi, saat itu gelar Nyai merupakan gelar yang diberikan kepada seorang wanita, karena dinilai tidak mempunyai norma kesusilaan alias tuna susila. Kok bisa? Karena sang Nyai merupakan istri simpanan dari tuan Herman, penguasa keturunan Hindia Belanda saat itu.
Saat mengenal Annelies dan sang Nyai, mindset Minke muda perlahan berubah. Dia melihat adanya ketidakadilan dari pihak penguasa Hindia Belanda, memperlakukan sang Nyai dan Annelies selaku wanita. Wanita tak lebih dianggap sebagai warga kelas 2, dan dianggap hanya faktor penggembira saja. Nggak lebih.
Dan yang makin membuat Minke akhirnya berseberangan dengan penguasa Hindia Belanda adalah saat dirinya yang sudah menikahi Annelies, terpaksa harus menelan kenyataan pahit dan dipaksa harus berpisah.
Tragis karena alasannya nggak substantif. Mengingat Annelies merupakan warga kelas 1, sementara Minke itu siapa? Jadi nggak level untuk bisa berjalan apalagi menjalani biduk rumah tangga dengan pujaan hatinya.
Singkatnya, novel ini sebenarnya merupakan kritik sosial Bung Pram, saat melihat adanya ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin juga ketidakadilan yang dia terima dari penguasa Orde Baru kala itu, yang kemudian dia tuliskan dalam karya tetralogy tersebut.
Tapi kalo mengkaitkan novel ini dengan ajaran komunis/Marxis semisal pertentangan kelas, jelas lebay. Memamg dibagian mana ada pertentangan kelasnya? Atau misalnya, adakah bagian dari novel tersebut yang isinya memprovokasi untuk menggulingkan pemerintah yang sah? Kan nggak ada.
Saya sendiri melihat novel Bumi Manusia sebagai produk karya sastra dan bukan produk propaganda politik. Selain itu novel tersebut bukan sama sekali roman picisan yang banyak bertebaran di toko-toko buku. Novel itu merupakan refleksi sosial yang tak lekang oleh waktu.
Bahwa sekarang jaman boleh beralih ke era digital. Namun pada praktiknya, kita masih terjajah dalam pikiran alias belum merdeka. Terutama cara kita memperlakukan budaya luar, dan meletakkannya secara lebih dominan perannya, ketimbang budaya nasional kita.
Kita acapkali mendewakan budaya barat secara berlebihan. Tak jarang juga kita mengkultuskan budaya Timur Tengah sebagai bagian dari diri kita. Seolah budaya-budaya tersebut lebih sempurna dari budaya warisan leluhur kita. Saat itulah, kita telah membuang jatidiri kita yang sesungguhnya.
Bila ini dibiarkan terus terjadi, maka keutuhan hidup berbangsa lambat laun akan mendekati ajalnya. Pertanyaannya: siapkah kita?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
.
0 Comments