Belajar dari Kasus Khashoggi


521

Kasus tewasnya Jamal Khashoggi, selaku wartawan senior dan kontributor Washington Post, sungguh menyentak dunia. Pasalnya Khashoggi kedapatan tengah mengurus kelengkapan surat-surat di konsulat Saudi di Istambul, Turki (2/10) dalam rangka mewujudkan rencana menikahnya kembali.

Siapa sebenarnya Khashoggi?

Khashoggi adalah seorang wartawan senior Arab Saudi. Ia memulai karir sebagai seorang reporter. Karirnya terus meroket, manakala dia berhasil mewawancarai tokoh Al Qaeda Osama bin Laden, di gua-gua persembunyiannya di pegunungan Tora Bora, Afganistan selain pernah wawancarainya secara langsung di Sudan pada 1995.

Spekulasi tewasnya Khashoggi dengan cara dimutilasi, terjawab sudah. Warga Saudi-lah pelakunya. Siapa yang menyuruhnya, itu mah pertanyaan retoris! Konon, 15 orang diterbangkan ke Turki sebagai eksekutornya dengan menumpang pesawat khusus.

Eksekusinya juga terbilang kasar, mengingat dilakukan di konsulat Arab Saudi. Kenapa juga nggak pakai tempat khusus? Di hotel kek, atau nyuruh pembunuh bayaran kek? Aliasnya, ada pesan yang mau disampaikan disana, sehingga pembunuhan itu dilakukan secara vulgar dan brutal.

Apa motif pembunuhan itu?

Untuk menjawab itu, kita perlu tahu, secara utuh siapa Khashoggi?

Khashoggi adalah pengikut Ikhwanul Muslimin. Bagaimana kita bisa tahu? Dalam tulisannya di Washington Post tertanggal 3 Juli 2018, ia pernah menyatakan bahwa AS sebagai pihak yang paling berwenang dalam mengatasi konflik di Suriah.

Selain itu ia juga menyatakan bahwa wilayah Suriah yang diduduki para ‘teroris’, keadaannya jauh lebih baik ketimbang wilayah Suriah yang diduduki rezim Assad. Siapa yang mendukung para ‘teroris’ di Suriah tersebut? Yah, Turki.

Dengan penyataan ini, dapat disimpulkan bahwa Khashoggi sangat mengagungkan Turki dibawah kepemimpinan Erdogan. Dan kalo sudah bicara soal Erdogan, mana mungkin melepaskan partai AKP sebagai partai pendukungnya. Nah AKP itu partai apa? Ikhwanul Muslimin.

Belum lagi, saat sebelum memasuki konsulat Saudi di Turki pada hari naasnya, Khashoggi sempat berpesan kepada Hatice Cengiz, tunangannya, “Kalo ada apa-apa, segera kontak Yasin Aktay.” Siapa Yasin Aktay? Tak lain adalah Ketua Penasihat pada partai AKP Turki. Ngapain juga Khashoggi percaya benar dengan orang ini, kalo tidak ada faktor kedekatan diantara mereka? Klir, yaa…

Yang membuat Saudi dibawah kepemimpinan Mohammed bin Salman (MBS) gerah terhadap seorang Khashoggi adalah tentang tulisannya yang sangat berani untuk mengeritik kepemimpinan MBS. Padahal Saudi adalah negara monarki absolut. Mana kenal istilah kritik di negara tersebut?

Para pengkritik tak punya tempat di Saudi. Kenal Syekh Nimr? Dia adalah seorang ulama yang gemar berceramah dengan mengecam pemerintah Saudi. Apa yang didapat kemudian? Hidupnya berakhir tragis dengan cara dipenggal oleh pemerintah Saudi pada 2016 silam.

Terus, apa karena sikap kritisnya yang membuat Khashoggi dibunuh? Sasus beredar, lebih dari itu. Pihak Saudi mengendus adanya upaya makar Khashoggi yang tengah membangun kekuatan Ikhwanul Muslimin di Saudi yang konon mendapat dukungan penuh pemerintah AS.

Kalo sudah bicara tentang menggunakan kekerasan untuk menggulingkan sebuah rezim, Saudi sebagai negara pencipta makhluk haus darah bernama Wahabbi, pasti sudah mengenal betul pola-polanya. Singkatnya, siapapun itu, harus dilenyapkan, dan bila perlu ekspos kekerasan dilakukan.

Lha, bukankah Trump pernah menyatakan bahwa AS adalah ‘centeng’ yang siap melindungi negara Saudi? Benar. Namun sebuah penyataan tidak pernah kekal selamanya. Apalagi dalam konteks Timur Tengah. Bukankah Saddam Husein juga dulu pernah memuji-muji AS, toh akhirnya digulingkan juga, kan?

Setidaknya dari kasus Khashoggi, kita dapat belajar banyak hal. Bicara tentang negara Saudi yang sangat anti kritik, mana mungkin demokrasi bisa ditegakkan? Ironis, padahal pemerintah seperti itulah yang sangat diidolakan oleh para pemuja khilafah, seperti HTI dan PKS.

Kedua, kasus ini juga mengajarkan, bagaimana cara-cara brutal yang diadopsi Saudi adalah cara yang lumrah untuk dilakukan demi mencapai tujuan yang diharapkan. Kalo saja terhadap 30 juta warga Yaman, rezim Saudi tega memborbardir selama 3 tahun terus menerus, apalagi terhadap seorang Khashoggi?

Pertanyaan selanjutnya, bila para pemuja sistem khilafah yang kerap mengadopsi kekerasan dalam memerintah, tiba-tiba berhasil berkuasa di negeri ini kelak, kebayang gak, apa jadinya anda dan saya?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)


One Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

  1. setuju,sayangnya di Indonesia saat ini banyak banget wahhabi fanboy, sebagian besar dari mereka mabuk agama sekaligus radang otak

error: Content is protected !!