Oleh: Ndaru Anugerah
Teman saya, maniak banget sama yang namanya sepakbola, utamanya liga Inggris. Apapun pertandingannya, pasti dia tongkrongin. Konon di Inggris sana, sepakbola (soccer) merupakan ‘agama’ yang wajib diikuti peminatnya dengan fanatisme berlebih (hooligans).
Bahkan kalo anda pecinta klub Liverpool, trus anda secara tidak sengaja minum di café tempat supporter MU, siap-siap aja anda babak belur dipukuli sama fans-nya disana. “Wrong place, mate…” dan gedebag-gedebug…bengep-lah muka kita dibuatnya.
Dengan menjadi fanatik pada liga sepakbola Inggris, apakah kita praktis menjadi bagian dari kaum hooligans?
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” demikian bunyi Hadits Riwayat Abu Daud dan Ahmad. Apa maksudnya pernyataan tersebut? Tanya-tanya ke ulama NU, akhirnya dapat deh keterangan yang cukup mumpuni.
Gini penjelasannya.
Pada masa Nabi Muhammad (sekitar 15 abad yang lalu), identitas keislaman merupakan hal yang terpenting untuk ditonjolkan, yang dapat membedakan pengikut sang nabi dengan yang bukan pengikutnya. Gimana donk membedakannya, kan sama-sama orang Arab?
Muncullah identitas pembeda. Ini dilakukan sang nabi, setelah dia mendapatkan pengkhianatan pada komunitasnya.
Konon, ada seorang kafir yang menyatakan masuk islam di pagi hari, kemudian dia ngikut kongkow-kongkow bicarain strategi dakwah, eh sorenya dia jadi kafir kembali. Pasti kesel donk, karena strategi dakwah udah bocor?
Maka berdasarkan pengalaman tersebut, muncullah ide hukuman mati bagi orang yang dianggap murtad. Ya, mirip-mirip dengan spy yang jadi double agent, gitu deh…
Singkatnya, nabi membuat politik identitas, agar dapat mengontrol komunitasnya. Agar komunitas-nya berbeda dengan yang lain. Sontak, muncullah aturan identitas seperti: kumis-jenggot, sepatu sandal dan model celana ataupun jenis pakaian.
Dengan kata lain, ini terjadi karena adanya konteks saat itu, yang mengharuskannya demikian.
Pesannya jelas: jangan sampe pengikutnya sama dengan yang bukan pengikutnya. Kalo sampe sama, maka otomatis kalian sama dengan mereka dan itu fatal akibatnya.
Pahami munculnya suatu hadits sesuai konteksnya! Kenapa bisa begitu?
Semisal ada hadits yang berbunyi: “Berbedalah kalian dengan Yahudi, karena mereka salat tidak pakai sandal dan sepatu” (HR Abu Daud). Lha trus apa sekarang ini ummat muslim sholat harus pake sandal apa sepatu, gitu?
Yang ada tuh orang bisa diteriakin di mesjid atau bahkan dianggap penista Islam.
Abu Yusuf (murid imam Abu Hanifah), sesekali mengeluarkan pernyataan yang cukup cerdas: “Jika suatu nash muncul dilatarbelakangi sebuah tradisi, dan kemudian tradisi itu berubah (karena jaman), maka pemahaman kita terhadap nash itu juga berubah.”
So, jelas yee tong, kalo politik identitas saat ini udah kudet, alias kurang apdet. Jaman sudah berubah, maka tradisi juga kudu berubah donk? Kini ada yang namanya global village, bukan lagi Madinah village jaman nabi masih hidup dulu.
Satu-satunya ciri keislaman yang tertinggal saat ini adalah akhlak yang mulia. Dari sinilah, orang akan tahu Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin sebagai identitas pembeda dengan ummat agama lain.
Anehnya, tiap tahun agenda mengharam-haramkan untuk sekedar mengucapkan salam atau merayakan tradisi tahun baru, kok selalu berulang, ya? Mirip proyek gali-gali jalan yang tiap tahun selalu on and on… Apa jangan-jangan ini sekedar proyek tahunan??
Pertanyaannya, apa karena kita pake celana jeans atau pake jas plus dasi, lantas otomatis kadar ke-islaman seseorang akan berkurang?
Padahal dalam Islam ada kaidah al-adah muhakkamah, dimana tradisi/adat istiadat yang tidak bertentangan dengan pokok akidah, sah-sah saja diakomodir dalam praktik maupun ekspresi kehidupan Islam seseorang. Bukan haram, namanya…
Ahh, jangan-jangan antum kurang minum kencing onta, yang ada pait-paitnya??
Semoga ini menjadi jelas bagi kita semua untuk bertindak.
Seperti imam Ali as pernah berkata: “Agama adalah akal. Tidak beragama orang yang tidak berakal.”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
Saudara-saudara muslim di indonesia terlalu mudah menganggap hal yang tidak sefaham dengan mereka adalah haram, dan mengkafirkan saudara muslim lainnya yang tidak sefaham dengan mereka