Menyoal Pertanian Karbon (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah – 10092024
Pada bagian pertama tulisan, kita sudah bahas tentang pertanian karbon yang digadang-gadang akan dapat mengurangi efek pemanasan global yang dihasilkan oleh sektor pertanian.
Dengan adanya pasar karbon, maka industri yang selama ini dituding banyak menghasilkan jejak karbon, dapat menghapus jejak karbon-nya dengan cara membeli ‘hak khusus’ dari pertanian yang mampu menyerap karbon. (baca disini)
Namun masalahnya, pertanian karbon hanya berorientasi cuan dan mengorbankan kepentingan warga lokal untuk mendapatkan akses ke sumber air dan juga lahan yang telah beralih fungsi menjadi pertanian karbon.
Dan perusahaan-perusahaan raksasa yang mengelola pertanian karbon tersebut, nggak memberikan kompensasi berarti buat masyarakat lokal yang telah diambil hak-nya.
Apalagi sisi gelap dari pertanian karbon?
Anda pasti tahu perusahaan pestisida dan benih raksasa yang bernama Monsanto.
Sudah sejak lama perusahaan ini mengambil alih lahan pertanian tradisional dan mengubahnya menjadi pertanian digital. Untuk keperluan ini Monsanto membeli perusahaan Climate Corporation di tahun 2013 silam dengan harga ‘fantastik’. (https://www.ft.com/content/d465abf8-2b61-11e3-a1b7-00144feab7de)
Belakangan, Monsanto (yang diambil alih oleh Bayer) mengembangkan salah satu platform pertanian digital yang diberi nama Climate FieldView. (https://grain.org/en/article/6595-digital-control-how-big-tech-moves-into-food-and-farming-and-what-it-means)
Apa itu Climate FieldView (CF)?
Secara umum, CF adalah aplikasi yang mengumpulkan data dari satelit dan sensor di lahan pertanian, serta sensor pada traktor, lalu menggunakan algoritma untuk memberikan saran kepada para petani tentang praktik pertanian mereka.
Saran yang diberikan menyangkut kapan dan apa yang harus ditanam, berapa banyak pestisida harus disemprotkan, berapa banyak pupuk yang harus diberikan kepada tanaman, dan lain sebagainya. Harapannya satu: hasil pertanian mereka bisa berproduksi secara maksimal.
Dan praktik pertanian digital tersebut telah diaplikasikan pada lahan pertanian seluas lebih dari 24 juta hektar yang tersebar di AS, Kanada, Brazil, Argentina dan juga Eropa.
Setelah mengakuisisi Monsanto di tahun 2016 silam, Bayer di tahun 2020 meluncurkan program karbon dengan banyak istilah di beberapa negara. Dan untuk menjadi bagian dari program karbon Bayer tersebut, para petani harus terdaftar di platform pertanian digital FieldView. (https://www.bayer.com/en/agriculture/carbon-program-united-states)
Apa untungnya buat para petani untuk bergabung pada FieldView?
Tentu saja saran pertanian yang kelak akan mereka dapatkan dari Bayer yang diklaim dapat menyerap karbon, seperti pertanian tanpa pengolahan tanah dan penanaman tanaman tertutup. Selain itu mereka berharap agar digital farming, akan dapat mendongkrak hasil pertanian secara optimal.
Tapi satu hal yang para petani lupakan, bahwa melalui aplikasi tersebut, Bayer dapat memantau jumlah karbon yang diserap oleh para petani yang telah berpartisipasi. Dan data penyerapan karbon tersebut pada akhirnya bisa dimanfaatkan sebagai komoditas dan dijual ke pasar karbon.
Aliasnya, perusahaan yang untung besar lewat sistem digital farming. Sudah untung jualan bahan kimia pertanian, untung dapat informasi dari petani, dan informasi tersebut dapat dijual ke pasar karbon untuk mendapatkan ‘cuan’.
Mungkin dirasa cukup menguntungkan, Bayer kembali meluncurkan program barunya yang diberinama ForGround. Ini prinsipnya sama dengan FieldView, hanya saja perusahaan bisa bergabung pada platform digital tersebut. (https://bayerforground.com/farmers/carbon-initiative)
Dengan bergabung pada ForGround, maka perusahaan hulu dapat menggunakannya sebagai sarana untuk beriklan dan menawarkan diskon bagi peralatan pengolahan tanah, benih pakan ternak dan input lainnya. (https://assets.ctfassets.net/8b5bledpz9uj/1Es1Em6oG2KIDZtKzbDUtZ/25357372d1157630f0ec6c1e76728007/SoilWarrior_both_enrolled_and_unenrolled.pdf)
Sekilas bagus, karena perusahaan bisa ambil keuntungan dengan bergabung pada platform digital itu.
Hanya saja, Bayer tetap saja sebagai pihak yang lebih banyak dapat untung karena mereka bisa menjual data pengurangan emisi karbon yang telah didapat perusahaan, utamanya pada perusahaan makanan hilir.
Contoh yang paling sederhana adalah perusahaan unggas raksasa sekelas Perdue Farms yang telah meneken perjanjian kerjasama dengan Bayer dan bergabung dengan ForGround sejak 2022 silam.
Jadi petani yang memasok biji-bijian yang digunakan sebagai bahan baku pakan ternak ke Perdue, (biasanya jagung dan kedelai) otomatis terdaftar pada ForGround milik Bayer. (https://www.prnewswire.com/news-releases/bayer-launches-groundbreaking-collaboration-with-perdue-agribusiness-to-reduce-carbon-emissions-and-increase-sustainability-in-the-food-value-chain-301629710.html)
Dengan mekanisme ini, maka Perdue dapat melacak jejak karbon yang petani hasilkan dan sebagai umpan baliknya Perdue memasarkan pakan yang diberi label berkelanjutan pada para peternak, yang hasilnya ternaknya mungkin kita santap sebagai menu harian.
Apa anda yakin pakan ternak yang diumpan kepada ternak nggak meninggalkan jejak kimia berbahaya? Bukankah Perdue Foods pernah menarik produk mereka di pasaran karena terbukti terkontaminasi logam baru-baru ini? (https://www.fsis.usda.gov/recalls-alerts/perdue-foods-llc-recalls-frozen-ready-eat-chicken-breast-nugget-and-tender-products)
Terlepas dari semua itu, para petani yang hendak menjual produk biji-bijian ke Perdue, harus terdaftar ke ForGround. Jika mereka nekat nggak mau mendaftar, maka Perdue bisa mengancam untuk tidak membeli produk pertanian mereka ataupun membeli dengan harga lebih rendah dari harga pasaran.
Jadi siapa yang dapat untung besar dari pertanian karbon ini?
Tentu saja Bayer. Mereka semakin akan semakin menguasai petanu, mendikte tentang bagaimana mereka harus bertani dan menentukan input apa yang harus mereka gunakan.
Proses ini membuat banyak petani menggunakan pengolahan tanah yang dikurangi yang memang sejak awal dipromosikan oleh Bayer. Dengan sistem ini, maka para petani harus menyiram ladang mereka dengan berton-ton herbisida RoundUp yang sarat dengan Glifosat.
Selain itu para petani juga dipaksa menanam benih kedelai dan jagung hibrida yang tahan terhadap RoundUp yang tentu saja telah direkayasa secara genetik alias produk GMO.
Jadi apa yang bisa disimpulkan?
Bahwa ide pertanian karbon bukan tentang penyerapan karbon, tetapi lebih kepada bagaimana korporasi Big Ag meningkatkan kendali mereka pada sistem pangan global. Apa ujung dari kendali atas sistem pangan global ini selain kontrol atas manusia?
Dan anda nggak bisa protes akan hal ini.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)