Saat Kader Davos Dijegal
Oleh: Ndaru Anugerah – 10092024
Gelaran pilpres telah berlalu. Dan hasilnya kita semua sama-sama tahu.
Berdasarkan data dari KPU, pasangan Gemoy mendapatkan suara 58,6%, pasangan Gama hanya memperoleh suara 16% dan paslon Amin mendapatkan suara 24,9%. (https://katadata.co.id/berita/nasional/65fb000f72b5f/hasil-pilpres-2024-kpu-tetapkan-prabowo-gibran-menang-kantongi-58-6)
Merujuk hasil tersebut, maka nggak ada alasan untuk takut pada kekuatan AB yang telah dinyatakan kalah telak.
Tambahan lagi, AB nggak punya partai. Jadi sangat tergantung pada ‘belas kasihan’ partai yang mau mengusungnya. Dengan demikian dirinya nggak punya panggung untuk ‘berlaga’.
Kalo ada ketum partai yang punya rasa belas kasihan karena setelah dikalkulasi secara politis AB yakin bakal menang kontestasi, maka AB bisa maju. Begitu-pun sebaliknya.
Nggak ada bargaining position bagi seorang AB untuk bisa dijadikan alasan untuk dirinya maju.
Kan begitu logikanya.
Nyatanya, di lapangan nggak begitu kejadiannya.
Pada gelaran pilkada serentak di November 2024 mendatang, rencananya AB mau ikutan berkontestasi, walaupun untuk ini dia harus turun derajat. “Masa kalah pilpres harus turun kelas ke pilkada?” begitu kurleb-nya.
Tapi disini bukan tanpa masalah. Karena hanya PDIP yang bisa mengusung dirinya selepas putusan MK yang terjadi di last minute pendaftaran calon di pilkada. sasus beredar, bahkan PDIP rencananya bakal memajukan nama AB setidaknya pada pilkada Jabar. (https://nasional.kompas.com/read/2024/08/29/19010101/pdi-p-bandung-95-persen-usung-anies-ono-di-pilkada-jabar)
Ternyata keputusan akhir, AB nggak diusung oleh PDIP. Baik pada Jakarta maupun Jawa Barat.
Apakah keputusan ini murni dari internal atau ada intervensi pihak eksternal?
Menarik apa yang diungkapkan Tempo dalam satu podcast-nya. Dikatakan bahwa ada upaya menjegal AB pada gelaran pilkada agar diirnya tidak ikutan berkontestasi. (https://www.youtube.com/watch?v=7N1b2OJEPac&pp=ygUQYm9jb3IgYWx1cyBhbmllcw%3D%3D)
Setidaknya ada 3 entitas yang berkeberatan atas majunya AB yang awalnya mau diusung oleh PDIP, pertama pak lurah dan kedua wowo dan ketiga Ahok.
Jika Ahok keberatan, ini masuk akal, mengingat sosok AB dinilai memberi angin bagi kekuatan ekstrim kanan untuk berkembang saat gelaran pilkada 2017 silam, agar dirinya bisa menang. Singkatnya Ahok punya masalah dengan AB yang dinilai sektarian.
Pertanyaannya selanjutnya: mengapa kedua tokoh eksternal yang lain, keberatan atas majunya AB?
Setidaknya ada beberapa alasan yang dikemukakan. Tapi yang paling utama adalah AB selain tingkat elektabilitasnya tinggi dan punya kans besar untuk terpilih sebagai pemimpin nasional sehingga dianggap potensial dalam mengacau skenario digelaran pilpres 2029 mendatang.
Jadi penjegalan dirinya untuk maju, nggak terjadi secara spontan, tetapi karena adanya tekanan dari pihak eksternal.
Dan penjegalan ini harus dilakukan karena AB sangat punya potensi.
Pertanyaan sederhana: mengapa baik pak lurah dan wowo sangat ketakutan pada sosok AB yang hanya beroleh 24,9% suara? Ngapain harus ketar-ketir pada sosok yang nggak punya ‘suara’ signifikan untuk menang?
Timbul spekulasi.
Apa jangan-jangan suaranya yang diperoleh AB saat gelaran pilpres, lebih dari angka resminya, jika seandainya tidak ada intervensi dari mesin Doraemon yang di create oleh pak lurah?
Bagaimana menurut anda?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)