Beberapa minggu yang lalu, secara nggak sengaja saya bertemu dengan seorang teman di sebuah mall tak jauh di mana saya tinggal. Ia seorang guru PNS yang mengajar di provinsi Jawa Tengah. Singkat kata, kamipun saling bertukar cerita hingga diapun menceritakan sebuah kisahnya.
Katanya, di Jateng, yang namanya mutasi jabatan baik dari kalangan guru dan kepala sekolah, bukan lagi barang baru. Mungkin kalo cerita tentang guru yang dimutasi ke sekolah lain, kurang menarik karena memang itulah kerja guru sebagai ujung tombak di dunia pendidikan.
Teman saya lalu bercerita tentang mutasi yang ada di kalangan kepala sekolah, ataupun kepala sekolah yang menduduki posisi baru. Disinilah cerita bermula, karena rata-rata mereka gagap dalam menjalankan fungsinya.
Temanku kemudian berkisah, ada dua kasus kepala sekolah yang baru saja menempati posisi barunya.
Disatu sisi ada kepala sekolah yang baru saja diangkat langsung ngegas. Mungkin ia berpikir, “Kalo bukan saya siapa lagi, kalo bukan sekarang kapan lagi?”Aji mumpung yang ada dibenaknya. Segeralah kebijakan baru meluncur yang jauh berbeda dengan kepsek sebelumnya. Muncul satu kata yang kerap diusung dirinya: DISIPLIN.
Pada rapat-rapat yang digelar bersama para guru, secara berulang-ulang kata disiplin didengungkan dirinya. “Bapak/Ibu, sebagai pendidik kita harus disiplin. Datang harus tepat waktu gak boleh telat. Keluar masuk lingkungan sekolah harus mendapat ijin dari saya.”
Jadi ga peduli ada tetangga sebelah rumahnya yang sedang kesusahan atau mengalami kedukaan, yang penting harus datang kerja, gak boleh telat apalagi ijin gak masuk. Kalopun ijin, yang diperbolehkan adalah jika menyangkut keluarga inti, anak dan istri/suami. Tetangga, teman atau ortu mah ke laut aja…
Secara singkat, kepsek yang satu ini adalah tipikal pemimpin yang ‘ingin’ ditakuti para gurunya. Pragmatis dia berpikir, bahwa jika guru berhasil dibuat takut oleh dirinya, maka kinerja sekolah akan otomatis menjadi lebih baik.
Di sisi yang lain, ada kepsek yang baru diangkat, tapi nggak langsung tancap gas. Mungkin karena ia banyak menggali gaya kepemimpinan lewat seminar atau baca buku. Jadi yang dilakukannya hanya observasi, tanya kanan kiri dan menggali keluhan yang dimiliki para gurunya. Tak lebih.
Mungkin dia menyadari jika urusan mengatur orang dewasa (andragogik) akan jauh berbeda dengan mengatur anak kecil/peserta didik (pedagogik).
Bulan-bulan pertama yang dilakukannya hanya interaksi dengan para guru. Kalopun terpaksa ‘menegur’ karena ada sikap guru yang sudah ‘kelewatan’, paling yang dilakukannya hanya mendatangi si guru dengan menanyakan keadaan keluarga si guru dari hati ke hati, dan bukan bicara masalah yang sedang dihadapi guru tersebut.
Singkatnya, kepsek tersebut mencoba mendekati anak buahnya dengan hati dan bukan dengan power yang dimilikinya. Baginya, istilah tabur tuai pasti akan terjadi. Masa iya sudah menabur kedamaian, malah dapatnya badai masalah di akhir cerita? Ada sebab, pasti muncul akibatnya.
Tak terasa waktupun berlalu. Satu semester telah dilewati. Apa yang terjadi pada kedua sekolah yang memliki gaya kepemimpinan kepsek yang berbeda?
Pada sekolah yang memiliki kepsek yang ditakuti oleh bawahannya, kinerjanya langsung melorot. Tidak ada motivasi kerja apalagi kreasi. Budaya kerja asal-asalan pun tercipta. Di mata para guru, yang penting datang, kerja dan pulang tenggo. Dan penghormatan yang dilakukan kepada pimpinan-pun hanya bersifat semu. Ya, karena rasa takut tadi.
Ini dapat terlihat jika kepsek tidak berada di sekolah. Semua orang lantas bersuka cita, seolah-olah bebas dan merdeka menyambut absennya dirinya.
Sedangkan pada sekolah yang memiliki kepsek yang disegani oleh bawahannya, sekolahnya menjadi lebih dinamis dari kepemimpinan sebelumnya. Sedikitpun tidak nampak aura ketakutan apalagi rasa curiga, sehingga semua merasa sekolah adalah rumah keduanya (second home).
Bagaimana dengan kedisiplinan dan kinerjanya? Dengan pendekatan human to human yang diterapkan sang kepsek, praktis kedisiplinan dan kinerja tercipta dengan sendirinya. Ada atau nggak ada kepala sekolah, semua guru sadar akan kewajibannya masing-masing, tanpa perlu ada ancaman ini dan itu.
Apa yang bisa disimpulkan dari kejadian ini?
Pertama bahwa kepemimpinan yang efektif dilakukan dengan pendekatan humanistik, bukan dengan pendekatan represif. Jika rasa takut sudah ditebar, jangan harap kinerja apalagi sense of belonging dalam bekerja bisa tercipta.
Kedua bahwa timbulnya rasa segan dari pihak anak buah akan bisa diciptakan lewat komunikasi. Komunikasi yang baik akan menciptakan rasa nyaman, dan rasa nyaman akan menimbulkan rasa percaya. Jika seorang mulai percaya, rasa segan dan hormat otomatis akan muncul dengan sendirinya.
Pemimpin yang disegani adalah mereka yang mau mendengar dan mau melayani.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments