Saat Ilmuwan Buka Suara


516

Saat Ilmuwan Buka Suara

Oleh: Ndaru Anugerah

Bagaimana para ilmuwan menyikapi plandemi Kopit?

Kita bisa amati, bahwa mayoritas menelan mentah-mentah informasi plandemi, dan sebagian lebih pilih ‘main aman’ untuk tidak buka suara selain mendukung narasi resmi yang diorkestrasi media mainstream.

Ini bisa kita lihat pada sosok Dr. Spiro Pantazatos. Bagi yang belum kenal Dr, Pantazatos, dia adalah peneliti pada bidang Neurobiologi Klinis di Universitas Columbia.

Perlu anda tahu bahwa, Dr. Pantazatos merupakan ilmuwan ‘mainstream’ pada awal-awal plandemi, yang sudah pasti mendukung kebijakan lockdown sebelum vaksin dilakukan. Jadi kalo ditanyakan pandangannya tentang Kopit, sudah pasti sama dengan apa yang tertulis pada media mainstream.

Namun seiring berjalannya waktu, Dr. Pantazatos mulai membaca-baca karya ilmiah Prof. John Ioannidis dari Universitas Stanford tentang Kopit, yang justru bertolak belakang dengan narasi yang dihembuskan media mainstream dan juga ilmuwan bodrex lainnya. (https://www.bitchute.com/video/J0Q2VPVyckxF/)

Rasa keingintahuan Dr. Pantazatos mulai menemukan kanalnya, saat rekan kerjanya, Herve Seligmann mengatakan kepadanya bahwa kampanye vaksinasi justru meningkatkan angka kematian, nggak lama setelah program tersebut dijalankan. Setidaknya data di Eropa menunjukkan hal itu.

Merasa nggak puas terhadap data tersebut, Dr. Pantazatos mulai melakukan penelusuran data yang ada di AS, dengan cara melakukan analisis statistik pada data yang dirilis CDC selaku otoritas kesehatan berwenang.

Dan ajaibnya, hasil analisa yang dilakukannya menunjukkan tren yang sama di Amrik sana: bahwa program vaksinasi malah mengakibatkan banyak orang yang meninggal.

“Risiko injeksi meningkat selaras dengan dosis yang diberikan,” ungkap Dr. Pantazatos. (https://www.researchgate.net/publication/355581860_COVID_vaccination_and_age-stratified_all-cause_mortality_risk)

Secara garis besar, Dr. Pantazatos menyatakan bahwa efek samping akibat vaksinasi Kopit utamanya yang terkait angka kematian, perlu ditinjau ulang selaras dengan risiko manfaat yang biasanya dilakukan dalam dunia kedokteran.

Setelah makalahnya siap untuk naik cetak, anehnya pihak penerbit jurnal ilmiah justru enggan untuk mempublikasikannya.

Ada apa gerangan?

Anda perlu tahu bahwa jurnal bergengsi internasional sekalipun nggak lepas dari kepentingan sang Ndoro besar, yang digerakkan melalui tangan Big Pharma. Apa iya pihak farmasi besar nggak memberikan dana operasional pada jurnal bergengsi tersebut? (https://journals.plos.org/plosmedicine/article?id=10.1371/journal.pmed.0020138)

Selain itu, sudah rahasia umum jika banyak ilmuwan yang berhasil ‘dibeli’ untuk menerbitkan hasil penelitian yang selaras dengan ‘pesanan’ sang pendonor. (https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(15)60696-1/fulltext)

Tentang ini pernah saya bahas sebelumnya. (baca disini)

Jadi, kalo jurnal Dr. Pantazatos yang jelas-jelas berlawanan dengan narasi mainstream ditolak, itu wajar-wajar saja. Siapa juga yang mau kasih panggung pada pihak yang menentang narasi plandemi?

Terlepas dari semua itu, aksi buka suara yang dilakukan Dr. Pentazatos perlu mendapat apreasiasi. Nggak banyak ilmuwan yang model begini dan memilih untuk ‘diam’ agar karir-nya nggak terhambat.

Semoga makin banyak ilmuwan berani buka suara, agar kebenaran dibalik skenario plandemi Kopit yang bersifat lebay, dapat terbongkar.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!