Menuju Kelangkaan Pangan (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian sebelumnya, kita telah membahas tentang skenario kelangkaan pupuk dengan mendompleng naiknya harga gas alam. Ini bisa terjadi karena pemain besarnya tengah mengupayakan dua cara: mengurangi atau menutup produksi pupuk, utamanya yang berbasis nitrogen/ammonia. (baca disini)
Perlu anda ketahui bahwa pupuk ammonia adalah jenis pupuk yang paling banyak digunakan secara luas pada sektor pertanian global. (https://ec.europa.eu/info/sites/default/files/food-farming-fisheries/farming/documents/market-brief-fertilisers_june2019_en.pdf)
Kenapa pupuk ini paling diminati?
Pada awalnya, Haber-Bosch sebagai dua ilmuwan Jerman mengembangkan proses pemupukan buatan berbasis nitrogen pada PD I. Ini dilakukan guna menggandakan produk hasil pertanian. Sejak itulah pupuk ammonia dijadikan pilihan utama pada pertanian modern. (https://www.tfi.org/the-feed/fertilizer-history-haber-bosch-process)
Karena menjadi primadona, pupuk ammonia banyak dicari orang. Data mengungkapkan bahwa setidaknya setengah populasi dunia bergantung pada pupuk jenis ini.
Bahkan penelitian yang dirilis pada jurnal ilmiah menyatakan bahwa 48% populasi global di tahun 2008 silam, sangat bergantung pada pupuk nitrogen untuk akses harian mereka ke bahan pangan. (https://www.nature.com/articles/ngeo325)
Ini berarti bahwa setidaknya 3,5 milyar manusia yang ada di dunia di tahun 2015, sudah bergantung pada pupuk ammonia, jika ketersediaan pangan harian yang jadi rujukannya. (https://basedunderground.com/2021/10/31/oh-crap-fertilizer-shortages-could-become-the-death-knell-for-global-food-production/)
Namun apa daya, karena realitanya pupuk ammonia (berbasis nitrogen) kini sudah mulai langka di pasaran akibat pembatasan produksi ataupun akttivitas penutupan pabrik.
Sialnya, China justru memperburuk skenario ini.
Maksudnya gimana?
Kita tahu bahwa China kini mengalami situasi gagal panen pada pertaniannya selain defisit energi. Kedua kombinasi ini akan mengancam ketahanan pangan Negeri Tirai Bambu tersebut.
Nggak aneh jika presiden Xi Jinping mengeluarkan program ‘Kampanye Piring Bersih 2.0’ pada Agustus silam, karena situasi krisis pangan tengah mengancam. Pesannya jelas: jangan boros dan habiskan makanan yang ada di piring tanpa bersisa. (https://www.bbc.com/news/world-asia-china-53761295)
Tentang ancaman krisis pangan di China bukan mengada-ada mengingat banjir yang menghantam Provinsi Henan yang menjadi sentra gandum China, jelas buat situasi kecukupan pangan jadi tanda tanya besar. (https://www.air-worldwide.com/blog/posts/2021/8/agricultural-impacts-of-flooding-in-henan-china/)
Kalo masalahnya hanya sebatas stok pangan China, kita mungkin masih bisa tutup mata.
Masalahnya nggak se-simple itu.
China selain dikenal sebagai negara pengguna pupuk nitrogen terbesar di dunia, juga merupakan produsen pupuk tersebut. Dengan adanya kondisi gagal panen, maka otomatis China mengamankan stok pupuk ammonia buat negaranya ketimbang mengejar tujuan ekspor.
“Kalo cuan mungkin bisa dicari kemudian. Tapi kalo rakyat perutnya lapar, urusannya bakal panjang,” mungkin begitu kurleb-nya.
Menjadi masuk akal jika kemudian China menyetop ekspor pupuk nitrogen dan juga fosfat, setidaknya hingga Juni 2022 mendatang. Belum jelas juga apakah Juni 2022 mendatang, kondisinya akan lebih stabil atau justru makin memburuk. (https://www.dtnpf.com/agriculture/web/ag/crops/article/2021/09/30/china-phosphate-fertilizer-export)
Kebijakan ini lagi-lagi akan berimbas pada makin langkanya pupuk ammonia, mengingat China adalah produsen nitrogen urea terbesar di dunia selain fosfat. (https://www.agweek.com/business/agriculture/7265171-China-Ida-and-vaccine-mandates-all-contributing-to-fertilizer-shortage)
Gimana kita tahu kelangkaan pupuk mulai terjadi?
Di Inggris sana, petani lokal dilaporkan tidak dapat lagi membeli pupuk setidaknya sampai musim panas tahun depan. Ditambah kondisi inflasi yang meroket dan kacaunya global shipping, maka nggak butuh seorang Einstein untuk menebak skenario berikutnya, bukan? (https://www.theguardian.com/business/2021/oct/20/global-energy-crisis-famine-production)
Apakah Big Ag dan jaringan kartelnya melakukan aksinya tanpa ada yang mengorkestrasi?
Tentu saja tidak.
Saya bilang berkali-kali bahwa kelangkaan pupuk adalah skenario Ndoro besar. Namun ‘mainnya cantik’ karena dibalut kenaikan harga gas alam.
Apa tujuan utamanya?
Nggak lain adalah tatanan dunia baru yang BERKELANJUTAN. Supaya rencana ini bisa terwujud, tentu saja emisi karbon harus dihilangkan dari muka bumi.
Apa maksud Uni Eropa meluncurkan Fit for 55 yang berencana mengurangi emisi CO2 sebesar 55% pada 2030 mendatang? Tentu saja guna memuluskan rencana besar tersebut. (https://ec.europa.eu/info/strategy/priorities-2019-2024/european-green-deal/delivering-european-green-deal_en)
Atau misalnya rencana Biden untuk memperluas energi hijau yang bersubsidi tinggi di AS sana. Akan kemana muaranya selain mewujudkan dunia tanpa karbon? (https://www.grantthornton.com/library/articles/energy/2020/energy-policy-outlook-Biden-presidency.aspx)
Yang paling gres, komitmen yang dibuat oleh lebih dari 100 negara pada COP26 yang baru saja berakhir tentang pengurangan 30% gas metana pada 2030 mendatang. Kalo bicara metana, bukankah sasarannya adalah peternakan? Kemana pangkalnya selain pembangunan berkelanjutan? (https://www.bbc.com/news/world-59137828)
Pertanyaan kritisnya: apakah energi yang didapat, misalnya dari panel surya dan turbin angin, akan cukup untuk menyediakan energi besar yang dibutuhkan? Belum lagi kalo angin nggak bertiup dan matahari nggak bersinar, energinya dapat darimana?
Berikutnya, dengan adanya kelangkaan pupuk, bukankah ini akan memicu kelangkaan pangan secara global? Apakah ini nggak bisa diantisipasi?
Tentu saja bisa, namun bukan begitu skenario-nya.
Dengan kelangkaan pangan, maka akan ada skenario pangan alternatif yang tentu saja bebas karbon. Inilah yang akan disorong dalam waktu dekat. Ini selaras dengan agenda pertanian berkelanjutan yang didengungkan oleh PBB lewat SDG 2030. (https://www.fao.org/fao-stories/article/en/c/1184363/)
Ke depannya, daging akan diganti dengan yang sintetik alias buatan laboratorium yang tentu saja demi ‘KEBERLANJUTAN’. Sayuran dan buah juga sama. Bahkan susu untuk bayi, juga akan sama nasibnya.
Anda yakin bahwa makanan sintetik tersebut aman bagi tubuh anda? (baca disini)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments