Langkah Blunder Sang Sultan
Oleh: Ndaru Anugerah
Apa masalahnya dengan seorang Erdogan?
Banyak pengamat mengatakan bahwa masalah utama pada Erdogan adalah ambisinya untuk berkuasa. Nggak salah jika istilah ‘hubris syndrome’ disematkan pada dirinya, karena ambisinya untuk mendirikan pemerintahan teokratis. (https://www.bbc.com/news/world-europe-25497127)
Dalam diri Erdogan, dia beranggapan bahwa hanya dirinya satu-satunya yang diberkati dan juga memiliki bakat guna mendirikan cita-cita mulia Tuhan di dunia. Nggak aneh jika dia menganggap dirinya sebagai pemimpin dunia Islam saat ini. Setidaknya bagi segelintir pengagumnya. (https://www.ozy.com/around-the-world/erdogan-pitches-himself-as-muslim-worlds-new-leader/379839/)
Menjadi wajar jika kemudian sosok Erdogan menjalan kebijakan tangan besi di Turki dengan berbagai cara, dari mulai memanipulasi massa, represi sosial hingga kontrol media. Ini semua dilakukan guna mengukuhkan kekuasaannya, karena dirinya menganggap telah mendapat mandat dari langit.
Kalo anda lihat kondisi di Turki menyangkut kebebasan berekspresi, maka hampir semua oposan pemerintah harus siap untuk dijebloskan ke penjara. Mungkin ini yang menyebabkan Turki berada di posisi 153 dari 180 negara dalam soal ‘Kebebasan Pers’ di tahun 2021. (https://stockholmcf.org/turkey-ranks-153rd-in-rsfs-2021-world-press-freedom-index/)
Apa hanya masalah dalam negeri saja yang dimiliki sang Sultan?
Saat ini Erdogan justru mau berpaling dari dunia Barat dan memilih untuk mengembangkan kekuatan regionalnya sendiri.
Contoh yang paling gamblang adalah saat Erdogan menolak untuk berpartisipasi ketika dunia Barat di bawah komando AS menjatuhkan sanksi atas pemerintahan Moskow. (https://www.bbc.com/news/world-europe-34954575)
Bukan itu saja, karena kemudian sang Sultan berencana membeli rudal pertahanan anti pesawat HQ-9 dari China dalam memperkuat armada tempurnya, meskipun belakangan program ini dibatalkan. (https://www.bbc.com/news/world-europe-31537334)
Lebih jauh lagi dalam upaya mewujudkan kemandiriannya, Turki juga bergabung dalam proyek BRI China yang kelak akan memungkinkan Bank Industri dan Komersial China (ICBC) melakukan investasi pada negara tersebut. (https://www.mei.edu/publications/chinas-belt-and-road-initiative-and-turkeys-middle-corridor-question-compatibility)
Secara geopolitik, Turki mencoba memperluas pengaruhnya dengan mengintervensi Libya dengan membuka pangkalan militernya disana. Ini sengaja dilakukan guna mengamankan jalur pipa gas Mediterania yang dimiliki Turki sepanjang 900 kilometer lewat TurkStream-nya.
Pada tataran teknis, gas alam dari Rusia akan diangkut ke Turki untuk selanjutnya dipasok kepada negara-negara Uni Eropa. (http://www.realinstitutoelcano.org/wps/portal/rielcano_en/contenido?WCM_GLOBAL_CONTEXT=/elcano/elcano_in/zonas_in/ari110-2020-tanchum-libya-energy-and-the-mediterraneans-new-great+game)
Sialnya, saat hendak mengeksekusi rencananya pada kawasan Mediterania, kepentingan Turki terpaksa harus bertabrakan dengan Perancis yang punya kepentingan yang sama di wilayah tersebut, utamanya pada Yunani dan Siprus. (https://nationalinterest.org/feature/france-vs-turkey-showdown-mediterranean-brewing-169048)
Walhasil kedua negara kini bersitegang. (https://www.wsj.com/articles/france-sends-navy-to-eastern-mediterranean-amid-turkey-greece-standoff-11597318623)
Cerita nggak berhenti sampai disitu, karena revitalisasi perjanjian kerjasama energi antara Iran, Irak dan Suriah yang dibesut pada 2010 silam, kini berencana membangun pipa gas dari South Pars di Iran ke Homs di Suriah (yang akan menghubungkan Teluk Persia dan Laut Mediterania).
Dan sepertinya Rusia akan memberikan ‘lampu hijau’ pada jalur Islamic pipeline tersebut. (https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0032321720934637)
Bayangkan jika ini terlaksana, apa nggak akan menjadi pesaing jalur Proyek Pipa Gas Trans-Adriatik (TAP) milik Turki yang lebih dulu menjual gas Azerbaijan ke Eropa lewat laut Mediterania? (https://www.dailysabah.com/business/energy/azerbaijan-starts-gas-exports-to-european-market-via-tap)
Cerita ‘baiknya’ tidak hanya sampai disini, mengingat di dalam negerinya sendiri sang Sultan punya masalah lain yang nggak kalah ruwetnya.
Baru-baru ini, Bank Sentral Turki menurunkan suku bunganya menjadi 16% yang mengakibatkan anjloknya nilai Lira Turki sekitar 30%. Efek lanjutannya adalah biaya hidup masyarakat Turki langsung terkerek naik. Ini dapat terlihat pada nilai CPI (Consumer Price Index) yang mencapai 20% di September silam. (https://www.marketwatch.com/story/turkish-central-bank-cuts-benchmark-interest-rate-to-16-271634814446)
Dengan ini saja, popularitas Erdogan apa iya nggak tergerus?
Jika, sekali lagi jika tentara Turki (TSK) yang punya jiwa nasionalis berhasil digosok oleh Barat misalnya, untuk melakukan kudeta terhadap kepemimpinan sang Sultan, apa ini nggak mungkin terjadi? (https://www.aljazeera.com/news/2007/4/28/army-vows-to-keep-turkey-secular)
Saya beritahu.
Di tahun 1997 silam, TSK yang punya spirit nasionalis berhasil melakukan kudeta pada Presiden Necmettin Erbakanpor yang saat itu memimpin koalisi Islam, layaknya Erdogan kini. (https://www.aa.com.tr/en/politics/turkey-legacy-of-1997-post-modern-coup-against-erbakan/1405460)
Siapa yang jadi sponsor kudeta itu, saya nggak perlu kasih tahu lha ya.
Artinya, tentara yang punya jiwa nasionalis itu akan bisa digosok kembali saat melihat kondisi masyarakatnya kian terpuruk di bawah kepemimpinan Erdogan.
Di sisi yang lain, Rusia yang selama ini bersikap pragmatis terhadap Turki, apa nggak akan ikutan kasih support buat TSK untuk melengserkan sang Sultan jika kondisinya memungkinkan?
Well, kita lihat saja nasib sang Sultan sebagai junjungan antum ke depannya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments