“Alhamdulillah, saya akhirnya memutuskan untuk menikahi calon suami saya, karena dia sudah berjanji kepada saya, bahwa setelah nikah nanti, dia masih membolehkan saya untuk menggeluti profesi saya,” demikian ucap seorang artis pada awak media.
Sekilas, tidak ada yang aneh pada pernyataan tersebut. Namun seorang sosiolog Perancis bernama Pierre Bourdieu dalam bukunya “Outline of a Theory of Practice” (1977) menyatakan hal yang berbeda. Ada praktik kekerasan simbolik disana.
Menarik mengkaji pemikiran Bourdieu bahwa ada aroma kekerasan yang dibalut dengan simbol tertentu. Secara definitif, kekerasan simbolik adalah mekanisme komunikasi yang ditandai dengan relasi kekuasaan yang timpang dan hegemonik, dimana pihak yang satu memandang lebih superior dari yang lain, entah dari segi ras, etnis, agama, jenis kelamin, sampai usia.
Terlalu ribet yah? Saya sederhanakan. Point-nya, kekerasan simbolik adalah bentuk kekerasan terselubung, dimana yang menjadi korban kekerasan-pun, tidak merasakan sama sekali. Bahkan menganggap sebagai sesuatu yang wajar, alamiah, dan memang jalannya demikian.
Ilustrasi di atas, jelas menggambarkan, bahwa korban kekerasan simbolik, tidak menyadari kalo dia adalah korbannya. Yang terjadi malah dia merasa bangga dengan pilihan hidupnya, walaupun sang pujaan hatinya telah melakukan kekerasan simbolik pada dirinya.
Mau contoh kekerasan simbolik yang lain?
Tahu pelacur? Julukan itu hanya menyasar pada satu entitas gender, yaitu wanita. Padahal yang namanya pelacuran, ada dua pihak yang terlibat. Tapi yang di-label pelacur hanya wanita an sich, karena wanita dipandang lebih rendah, sedangkan pihak pria-nya yang secara gender lebih superior, bebas dari labeling.
Contoh lain adalah warna kulit. Coba lihat dalam setiap produk iklan yang ditayangkan di televisi maupun media massa lainnya, kenapa iklan krim pemutih banyak bertebaran? Karena semua orang (khususya wanita), berlomba-lomba ingin kulitnya putih. Seakan-akan, adalah bencana kalo mereka kedapatan berkulit hitam, misalnya.
Dan yang paling sterotype adalah labeling kafir, yang dilakukan pada orang atau sekelompok orang yang berbeda golongan dengan kelompok tertentu. Yang Kristen di-label kafir, dan aneh-nya yang Islam-pun gak segan-segan dilabel kafir, hanya karena tidak seakidah dengan kelompok tertentu. Dan hebatnya, tidak ada penolakan disana. Semua serba pasrah..
Parahnya, kekerasan simbolik juga sudah menyasar anak-anak dengan game online-nya.
Pernyataan Gerbner (1998) yang menyatakan “They are forced into video and foreign sales to make profit. Therefore, they need a dramatic ingredient that requires no translation, speak action in any language, and fits any culture. That ingredient is violence,” merupakan sebuah ironi.
Apa yang bisa diharapkan kalo dari anak saja sudah dijelali modul kekerasan? Maka jangan heran teriakan bunuh dan kebencian rasialis pada demo berjilid-jilid tempo hari bisa masif digelar, yah mungkin ada kontribusi dari kekerasan simbolik tadi. Terciptalah apa yang namanya kecerdasan destruktif.
“Kekerasan simbolik harus dilawan,” kata temanku. “Karena kalo tidak, ia akan meningkat menjadi kekerasan yang lebih tinggi lagi, yaitu kekerasan psikologis.” Apalagi tuh?
Kekerasan psikologis adalah bentuk kekerasan simbolik yang lebih tinggi tingkatannya. Kekerasan yang dilakukan lewat bahasa tubuh, dengan perlakuan yang bervariasi dari mulai ancaman, merendahkan sampai teror, dan bisa ditebak, korbannya akan depresi berat dan merasa takut yang tidak terbayangkan.
Persekusi adalah salah satu bentuk dari kekerasan psikologis.
Pertanyaannya: kenapa perlu orang melakukan persekusi? Ada dua alasan. Pertama karena ingin menunjukkan kekuasaan yang mereka punya saat itu. Kedua, karena mereka belum memegang kontrol yang sempurna atas kekerasan itu sendiri.
Apa maksudnya?
Mereka hanya akan bisa memperlihatkan tingkat kekerasan yang tertinggi, kalo mereka merasa punya kontrol yang sempurna atas kekuasaan. Dan kekerasan itu bernama kekerasan fisik.
Lihat-lah aksi kekerasan berbalut agama yang dipertontonkan oleh sekelompok orang kepada publik lewat kanal media sosial, saat mereka mengeksekusi para korbannya. Dan itu banyak dilakukan oleh orang yang merasa berhak mendapatkan kavling surga, setelah mereka melakukan aksi brutal, dari mulai pemotongan kepala sampai memperkosa para korbannya.
Di Indonesia, kelompok ini memang baru melakukan aksi persekusi, karena mereka belum memegang kontrol kekuasaan. Bayangkan, apa yang terjadi, kalo kelompok-kelompok ini, dengan mendompleng capres mereka di 2019, berhasil memenangkan kontestasi pilpres? Kekuasaan mereka menemukan legitimasinya, dan apa yang terjadi di Suriah, praktis akan mereka terapkan di Indonesia.
Melawan sudah bukan lagi pilhan, bro…tapi keniscayaan. Karena diam, adalah pengkhianatan.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments