Ketika Tangan Tuhan Bekerja
Oleh: Ndaru Anugerah
Di kalangan medis, nama Prof. Peter McCullogh MD sudah nggak asing lagi. Beliau adalah pakar internis dan ahli jantung dari sekolah kedokteran di Texas A&M University Health Sciences Center, yang namanya paling banyak ditebitkan dalam jurnal kedokteran selain beliau juga merupakan editor pada dua jurnal medis bergengsi. (https://www.cardiometabolichealth.org/peter-mccullough.html)
Dalam menangani kebijakan Kopit yang diambil negaranya, beliau merasa sangat tidak puas.
Mengapa?
Karena pasien yang dinyatakan positif, nggak dikasih treatment apapun melainkan hanya disuruh isolasi mandiri. Dan ketika sakitnya bertambah parah, baru dibawa ke rumkit. Ini sama saja menunggu ajal untuk menjemput. (https://www.lifesitenews.com/news/eminent-doc-media-censored-covid-19-early-treatment-options-that-could-have-reduced-fatalities-by-85)
Nggak heran kalo kemudian angka kematian akibat Kopit di Texas menjadi demikian tinggi (pada awal pandemi), karena semua nggak mendapat perlakuan yang tepat. (https://www.lifesitenews.com/blogs/us-frontline-doctors-expose-criminal-campaign-by-tech-giants-govt-agencies-to-block-covid-cure)
“Dari 50 ribu jurnal yang sudah di-peer review, tidak ada satupun yang memberitahu dokter tentang bagaimana cara menangani pasien C19,” ungkap Prof. McCullogh. Dan ini makin membuat dirinya makin nggak puas.
Berbekal hal tersebut, beliau mengumpulkan tim dokter untuk mempelajari penggunaan obat konvensional tanpa diberi label, yang kemudian diterapkan pada penderita Kopit.
Dan ajaibnya, pengobatan tersebut membuahkan hasil yang menggembirakan, yang tertuang dalam jurnal ilmiah. (https://www.amjmed.com/article/S0002-9343(20)30673-2/fulltext)
Lantas, apa treatment yang diberikan Prof. McCullogh?
Macam-macam. Ada pengurangan reokulasi, terapi antivirus kombinasi, imunomodulasi, terapi antiplatelet hingga pemberian oksigen, pemantauan dan telemedicine. Untuk lengkapnya, anda bisa membaca jurnal yang beliau sudah publikasi tersebut.
Apa dampak dari treatment yang dilakukan Prof. McCullogh dan tim-nya?
“Jika treatment dilakukan dengan tepat, maka sekitar 85% pasien Kopit bisa diselamatkan dari kematian,” ungkapnya. (https://www.youtube.com/watch?v=QAHi3lX3oGM&t=5s)
Dengan kata lain, kalo di AS kini ada sekitar 600 ribu angka kematian akibat Kopit, maka akan ada sekitar 510 ribu nyawa yang bisa diselamatkan, jika diberikan treatment yang tepat. (https://www.worldometers.info/coronavirus/country/us/)
Luar biasa.
Demi memudahkan aksesibilitas temuannya tersebut kepada banyak orang, Prof. McCullogh membuat video yang kemudian diunggah di Youtube. Seketika, video tersebut menjadi viral dan banyak ditonton oleh netizen, hingga akhirnya Youtube menyensornya.
“Anda telah melanggar ketentuan komunitas,” demikian kurleb-nya.
Kenapa disensor?
Karena kalo dibiarkan dan banyak orang tertolong dari kematian, maka proyek vaksinasi global nggak akan jalan. Dan ini nggak boleh biarkan, apapun taruhannya. Jadi narasi bahwa Kopit adalah penyakit mematikan, harus tetap didengungkan oleh media dan para troll-nya.
Apalagi yang dikatakan Prof. McCullogh?
Bahwa saat ini, perhitungan di Texas akan kekebalan kawanan alami, tanpa menggunakan vaksin adalah sekitar 80%. Dan ini bisa terjadi karena orang telah mengembangkan kekebalan karena infeksi yang telah mereka dapatkan.
“Kekebalan alami jauh lebih lengkap dan tahan lama. Dan ini tidak bisa dikalahkan oleh kekebalan buatan dengan menggunakan vaksin sekalipun. Tidak ada alasan ilmiah, klinis maupun keamanan untuk dapat memvaksin orang yang telah sembuh dari C19,” ungkapnya.
Prof. McCullogh menambahkan, “Salah satu kesalahan besar yang saya dengar adalah bahwa alasan dilakukannya vaksinasi nggak lain untuk mencegah penularan infeksi pada orang tanpa gejala. Pendapat saya adalah tingkat penyebaran asimtomatik itu sangat rendah, kalopun ada, karena pada prinsipnya, hanya orang sakit dengan gejala yang dapat memberikan penularan.”
Ini bukan asal ngomong, karena penelitian di China menyatakan bahwa mereka gagal menemukan bukti penyebaran pada orang tanpa gejala, setidaknya pada sampel berjumlah 10 juta orang. Jadi penularan OTG itu hanya asumsi tanpa ada dasar ilmiahnya. (https://www.lifesitenews.com/news/asymptomatic-transmission-of-covid-19-didnt-occur-at-all-study-of-10-million-finds)
Makin seru perlawanan yang dilakukan dibanyak tempat di dunia, dalam menentang proyek besar sang Ndoro. Dengan demikian makin banyak orang yang sadar, bahwa pandemi ini hanya akal-akalan semata yang nggak bisa dinalar secara ilmiah.
Satu keyakinan saya, bahwa ada tangan ajaib Tuhan yang dapat menggerakkan orang seperti Prof. McCullogh untuk berani bicara lantang atas ketidakbenaran ini.
Every cloud has a silver lining, doesn’t it?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments