“Pelajaran sekolah seharusnya tuntas di sekolah, nggak dibawa-bawa ke rumah,” demikian ucap pak mendikbud – Muhajir – pada suatu saat di penghujung tahun 2016. Ini-lah yang kemudian mendasari penghapusan pemberian Pekerjaan Rumah alias PR kepada para peserta didik.
Terlepas kebijakan sang menteri, toh peraturan yang kurang sosialisasi tersebut ibarat ditelan bumi, alias kurang efektif. Nyatanya, masih banyak sekolah-sekolah yang memberikan beban PR kepada para siswanya. Bahkan beberapa over–dosis, alias kelewat banyak.
Timbul pertanyaannya, apakah PR alias homework perlu dihapuskan?
Asal muasal pemberian PR mungkin bisa ditelusuri dari definisi belajar yang dikemukakan BF Skinner, “learning is a process of progressive behavior adaptation,” yang berarti belajar adalah proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif.
Bicara soal progresif, artinya proses adaptasi tersebut bisa dikondisikan lewat latihan. Singkatnya, seorang individu bisa dikondisikan untuk bisa beradaptasi dengan baik, jika diberikan latihan yang cukup. Dalam bentuk apa? Pemberian PR misalnya.
Merujuk pada hal tersebut, jadi pada hakikatnya pemberian PR perlu diberikan, namun perlu mempertimbangkan 2 hal pokok. Pertama, alasan pemberian PR. Yang kedua, content alias muatan dari PR itu sendiri.
Apa maksudnya?
Pertama soal alasan pemberian PR. Pada hakikatnya PR diberikan dengan tujuan untuk memperkuat apa yang sudah dipelajari di kelas. Dengan kata lain, PR tidak boleh berisikan materi baru yang belum dipelajari di sekolah. Banyak kemudian cerita horor tercipta, bermula dari pemberian PR yang model gini.
Pertanyaan sederhana: bagaimana bisa ngerjain soal, kalo belum diberikan pelajaran pendahuluan? Nah terus, apa guna pemberian PR sebagai bahan penguatan materi yang sudah dipelajari sebelumnya? Pada tahap ini, masih banyak sekolah yang melanggar rambu tersebut. Akibatnya, penguatan yang diharapkan, malah jadi PENGUAT-IRAN..
Kedua, menyangkut content dari PR tersebut. Di Amerika sana, ada standar baku tentang bagaimana memberikan PR kepada siswa. Standar ini disebut “aturan 10 menit”. Artinya, pemberian PR setiap hari, maksimum 10 menit per tingkat kelas. Anak kelas 2, misalnya, harus mengerjakan PR sekitar 20 menit setiap malamnya. Nah untuk jenjang SMA, bisa ditingkatkan menjadi 2 jam per malam.
Dengan kata lain, PR diberikan secara berjenjang, sesuai dengan content yang hendak dicapai. Makin nambah jenjang kelasnya, makin nambah juga jumlah PR yang harus diselesaikan. Ini sangat penting untuk diperhatikan, karena jumlah PR yang over-load, malah akan menambah kelelahan fisik dan emosional anak, selain memicu efek jenuh pada aktivitas belajar.
Penelitian yang dilakukan Harris Cooper, seorang professor psikologi di Duke University, menemukan bukti bahwa ada korelasi positif antara PR dan prestasi siswa. Penelitian ini menggaris bawahi, bahwa siswa kelas 7 sampai kelas 12, sangat cocok untuk metode pemberian PR. Namun bagi siswa sekolah dasar, kurang cocok dengan metode pemberian PR.
Ini dimungkinkan, karena siswa sekolah dasar, lebih membutuhkan pembentukkan karakter dasar dalam menu pendidikan mereka, semisal kedisiplinan dan kemandirian. Kalo-pun diberikan PR, ya minimal pake “aturan 10 menit” tadi, biar nggak kelebihan muatan.
Kesimpulannya, PR apakah masih perlu dihapuskan?
Saya akan mengutip pernyataan Cooper, “PR itu ibarat obat. Jika terlalu sedikit, tidak akan membawa pengaruh apa-apa. Tapi jika terlalu banyak, anda bisa mati dibuatnya. Namun jika anda mengambil porsi yang tepat, anda akan menjadi lebih baik.”
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments