Dan Rakyatpun Bingung
Oleh: Ndaru Anugerah
“Kalo misalnya ada seseorang yang nggak mau mengikuti program vaksinasi yang digelar pemerintah, apakah sanksinya?” tanya seorang netizen kepada saya.
Bagi saya, pertanyaan ini lumayan sulit untuk dijawab, mengingat pada pemerintahan sendiri ada dualisme kebijakan dalam menanggapi masalah tersbut.
Misalnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif mengatakan akan ada sanksi pidana bagi masyarakat yang tidak mau disuntik vaksin Kopit. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210110210605-12-591918/warga-tak-mau-divaksin-corona-bisa-masuk-penjara)
Kok bisa?
Karena vaksinasi Kopit bersifat wajib lantaran ada UU No.6/2018 tentang Karantina Kesehatan. Dalam pasal 93 dengan tegas menyatakan setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan karantina, bakal kena hukuman pidana paling lama setahun atau denda maksimal Rp. 100 juta.
“Jadi ketika vaksin wajib, maka jika warga negara yang tidak mau divaksin bisa kena sanksi pidana. Bisa denda, bisa penjara, bisa juga kedua-duanya,” ungkap Edward. (9/1)
Menanggapai pernyataan yang dikeluarkan Wakil Menkumham tersebut, pengacara Eggi Sudjana dan Ahmad Khozinudin melayang protesnya dalam bentuk somasi.
“Ketentuan sanksi pidana nggak bisa diberikan kepada rakyat yang menolak vaksin, karena sanksi dilekatkan pada ketidakpatuhan pada penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan,” ungkap Eggi.
Masalahnya, pemerintah belum menerapkan kebijakan karantina wilayah. Menurut Eggi, pempus melalui pemda hanya menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar alias PSBB. Dan PSBB nggak sama dengan karantina wilayah. Jadi, mana sanksi diberlakukan? (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210115172650-12-594312/eggi-sudjana-somasi-wamenkumham-soal-pidana-penolak-vaksin)
Belum selesai masalah somasi yang dilontarkan Eggi, eh Menkumham Yasonna Laoly justru punya pandangan yang berbeda dengan wakilnya.
“Ada disinformasi yang perlu diluruskan. Tak ada sanksi pidana bagi warga yang menolak vaksin,” ungkap Yasonna.
Selanjutnya Yasonna menegaskan bahwa kalopun sanksi diberikan, sikapnya hanya administratif saja. Jadi nggak ada acara bayar denda atau dikurung di penjara. (https://kumparan.com/kumparannews/beda-pendapat-yasonna-dan-wamenkumham-soal-pidana-bagi-warga-yang-tolak-divaksin-1uyW8T8OV8I/full)
Hal senada juga dikemukakan oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin.
Dalam menanggapi pernyataan Wamenkumham Edward saat raker dengan Komisi IX DPR (14/1), Budi mengatakan, “Saya paham bahwa ada satu wakil menteri yang mengucapkan hal-hal yang sifatnya mengancam dan kami sudah bicarakan di kabinet juga agar komunikasi publiknya lain kali sifatnya merangkul.” (https://nasional.tempo.co/read/1423171/wamenkumham-bilang-tolak-vaksin-covid-19-dapat-dipidana-menkes-sudah-ditegur)
Artinya, Wamenkumham Edward sudah keluarin statement kontroversial dulu, sebelum berkomunikasi dengan Menkes Budi.
Disini saja, rakyat sudah dibuat pusing. Pernyataan mana yang jadi acuannya? Kalo nggak mau ikutan divaksin, bakal dikenakan sanksi pidana atau sanksi administratif?
Kalo misalkan ada sanksi pidana, coba kita bandingkan sanksi tersebut dengan Perda yang dikeluarkan Pemprov DKI Jakarta bagi warganya yang menolak vaksin.
Mengacu pada Perda No.2 Pasal 30 tahun 2020 dikatakan sanksi bagi warga yang menolak vaksin berupa denda Rp. 5 juta. Sedangkan Wamenkumham bilang sanksinya Rp. 100 juta. Mana yang dijadikan rujukan? (https://www.beritasatu.com/megapolitan/716423/pemprov-dki-tetap-berlakukan-sanksi-denda-rp-5-juta-bagi-penolak-vaksinasi-covid19)
Belum lagi kalo dibandingkan antara satu daerah dengan daerah lain yang nggak seragam.
Katakanlah DKI Jakarta dan Kalbar bakal kasih sanksi berupa denda atau kurungan. Namun daerah lain semisal Makassar, Bali dan Yogyakarta, jelas-jelas mengatakan nggak bakal kasih sanksi bagi penolak vaksin.
Jika benar vaksinasi adalah program nasional, harusnya kebijakannya sama dong? Kenapa ini justru beda-beda.
Yang ada makin bingung, bukan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments