1965: Ketika Kotak Pandora Terbuka (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Pada bagian pertama saya telah ulas tentang peran penting akademisi sebagai think-tank ekonomi liberal yang kelak diberlakukan lewat kebijakan. Dan rencana ini hanya bisa terwujud jika Soekarno dilengserkan dan penggantinyalah yang akan menjalankan skenario para elite pembaharu tersebut. (baca disini)
Setelah membentuk think-tank, apa yang kemudian dibutuhkan? Angkatan bersenjata-lah jawabannya. Ini berlaku sesuai diktum, “Kekuasaan politik tumbuh dari laras senapan.” (https://www.researchgate.net/publication/297702843_Political_power_grows_out_of_the_barrel_of_a_gun_Mao_and_the_Red_Army)
Di tahun 1958, AS melihat tumbuhnya PKI sebagai ancaman yang serius. Bahkan PSI yang disokong mati-matian oleh Washington sebagai penyeimbang kekuatan, dibuat nggak berkutik oleh organisasi palu arit tersebut. Wajar mengingat PSI bukanlah partai massa sehingga nggak punya akar rumput yang kuat.
Guy Pauker sebagai pejabat intelijen AS mengatakan, “Koumunisme akan menang di Asia Tenggara kecuali ada kekuatan efektif untuk melawannya. Dan kekuatan itu adalah para perwira sebagai individu dan tentara nasional sebagai struktur organisasinya.” (https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14649370600983238?scroll=top&needAccess=true)
Bagaimana cara mendekati tentara?
Beruntung bagi AS, karena mereka memiliki klik ke SESKOAD Bandung, yang dikenal sebagai jantung-nya angkatan bersenjata.
Disanalah para jenderal memutuskan soal organisasi dan juga politik. Disana jugalah, para perwira senior secara bergiliran ditatar dengan buku-buku petunjuk dan metode yang diambil dari Sekolah Komando AS di Fort Leavenworth, Kansas.
Di tahun 1962, kader Soemitro seperti Sadli, Widjojo Nitisastro dan yang lainnya, mulai pergi secara teratur ke SESKOAD untuk memberikan kuliah, Kuliah apa? Kuliah tentang aspek-aspek ekonomi dalam bidang pertahanan.
Langkah mereka nggak dipersulit, mengingat Kolonel Soewarto selaku deputi komandan SESKOAD kala itu, merupakan lulusan Fort Leavenworth tahun 1959. Guy Pauker mengatakan, “Kolonel Soewarto memiliki ‘ide-ide baru’ sekembalinya dari pendidikan di AS.”
Di SESKOAD inilah para alumni Berkeley bertemu dengan klik lainnya semisal Miriam Budiardjo (alumni MIT), Selo Sumardjan (alumni Cornell) dan para senior dari ITB yang telah menjalin kerjasama dengan Universitas Kentucky sejak 1957.
Singkat cerita, koalisi anti komunis yang terdiri dari para jenderal, kader-kader Soemitro dan akademisi lainnya segera terbentuk. Bahkan Letjen Yani selaku Pangad menarik beberapa teman jenderalnya untuk bergabung dalam koalisi itu, untuk membahas contingency plan alias rencana cadangan, kalo-kalo Soekarno lengser.
Tentu saja yang menjadi pemikiran mereka adalah kaum komunis yang punya kaki cukup kuat dikalangan wong cilik. “Apapun yang terjadi, komunis nggak boleh mengambil alih kekuasaan,” kurleb-nya begitu isi diksusi mereka.
Lalu siapa yang bisa diandalkan dalam menghadang gerakan merah di akar rumput? Sudah pasti tentara.
Beruntung bagi koalisi tersebut, karena mereka punya SDM yang mumpuni, mengingat ada sekitar 4000 orang perwira yang sudah mendapat pelajaran komando AD di Fort Leavenworth dan juga pelajaran tentang kontra-pemberontakkan di Fort Bragg.
Jelas tentara (secara khusus AD) yang bisa diandalkan dalam membendung gerakan PKI di akar rumput. Kenapa? Pertama karena mereka punya lembaga teritorial yang menjangkau daerah di pedesaan. Kedua, banyak perwira AD yang menguasai jalur perekonomian nasional saat itu.
Setidaknya, Robert Shaplen dari New York Times mengamini hal tersebut. “AD dan Polisi telah menguasai seluruh aparatus negara, (khususnya di bidang perekonomian),” ungkapnya. (http://www.wirantaprawira.de/ypkp/ypkp_6.htm)
Tahu bahwa posisi strategis telah dikuasai AD, maka pada Desember 1963, DN Aidit mendorong aksi sepihak bagi terlaksananya reformasi agrarian di pedesaan. Bukan itu saja. Di tahun 1962, PKI juga meminta agar Buruh dan Tani dipersenjatai untuk membentuk milisi rakyat.
Tentu saja gerakan ini ditujukan untuk menarik simpati rakyat kecil sekaligus menggembosi peran tentara di daerah. Lebih jauh lagi PKI sadar, kalo mereka bukan pihak pemegang bedil. Maka otomatis, mereka bukan pemegang kekuasaan. Karenanya mereka menuntut terbentuknya milisi rakyat yang kelak dapat mendukung gerakan politik PKI.
Gerakan PKI ini sama saja dengan mengajak perang pihak AD. Sehingga hanya butuh pemicu untuk terjadinya ekskalasi yang lebih besar.
Dan pemicu itu adalah aksi kudeta yang dibesut oleh Kolonel Untung yang terjadi dipenghujung September 1965. Kudeta ini hanya berumur satu hari karena berhasil digagalkan oleh pihak AD.
Singkat cerita, pimpinan AD langsung tuding bahwa kaum komunis-lah dalang penyebab terjadinya kudeta tersebut.
Namun menurut David Ransom, hal itu cukup janggal. “Kalo PKI terlibat (dalam gerakan kudeta), kok nggak ada gerakan akar rumput PKI di jalan-jalan atau di desa-desa dalam mendukung gerakan kudeta tersebut?” (https://la.utexas.edu/users/hcleaver/357L/357LRansomBerkeleyMafiaTable.pdf)
Prof. W,H. Wertheim bahkan menegaskan, “Kudeta tersebut sebenarnya merupakan masalah internal AD antara kubu perwira di Divisi Diponegoro dan Komando Tertinggi AD di Jakarta.” (https://www.jstor.org/stable/2754905)
Jadi bagaimana jalannya kudeta yang sebenarnya? Silakan simpulkan sendiri.
Satu yang pasti, menurut Ransom bahwa sejak lama staf Kedubes AS di Jakarta mengajak para mahasiswa (yang kemudian memimpin demonstrasi untuk menggulingkan Soekarno), untuk makan dan minum bersama. Bahkan CIA sendiri punya hubungan yang cukup dekat dengan Kepala Intel AD saat itu Letkol Achmad Sukendro.
Jadi bagaimana kaitan antara kader-kader Soemitro, AD dan mahasiswa dalam upaya penggulingan Soekarno?
Kader Soemitro membantu AD dalam membuat ‘rencana cadangan’. Tapi keduanya nggak punya kekuatan massa yang dapat digerakkan untuk melakukan aksi demonstrasi di lapangan dalam menggulingkan Soekarno. Posisi inilah yang kemudian diisi oleh para mahasiswa.
Dan AS sangat sadar akan potensi mahasiswa yang bisa dijadikan proxy mereka alam menjalankan contingency plan tersebut. Dengan menggunakan mahasiswa, maka simpati rakyat akan lebih mudah didapat, mengingat mahasiswa adalah kaum intelektual.
Lalu bagaimana mahasiswa bisa berkumpul dalam suatu wadah besar?
Disinilah peran Brigjen Syarif Thajeb sangat dominan. Perwira AD yang sempat digembleng di Harvard tersebut, kemudian mengumpulkan para pemimpin mahasiswa di rumahnya, yang kemudian membentuk organisasi payung Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Selain itu, banyak pemimpin KAMI yang telah mengikuti program pertukaran pelajar ke AS lewat American Field Service Exchange Students, yang disponsori oleh National Student Association dan telah mendapat binaan dari CIA. (http://www.geocities.ws/mafiaberkeley/berkeleymafia02.html)
Aksi mahasiswa menjadi demikian masif, karena telah ‘mendapatkan arahan’ dari Marshall Green yang sebelumnya sukses mendalangi aksi mahasiswa di Korsel dalam mengjungkal presiden Syngman Rhee. Setelah kudeta 1965, buku petunjuk untuk mengorganisir mahasiswa segera dibagikan oleh Kedubes AS di Jakarta, terutama kepada para pemimpin KAMI.
Dan bahan bakar aksi menjadi bertambah besar, saat seorang mahasiswa FK UI bernama Arief Rahman Hakim tewas ditembak saat demonstrasi. (https://tirto.id/tertembaknya-arif-rahman-hakim-mempercepat-pelengseran-sukarno-cE8v)
Bagaimana kelanjutan kisah pasca peristiwa 1965?
Saya akan lanjutkan pada bagian ketiga nanti.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments