Kisah Tuan Ibrahim dan Moses
Oleh: Ndaru Anugerah
Saat bongkar-bongkar gudang, nggak sengaja nemu film lawas (2003), berbahasa Perancis yang judulnya Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran, yang artinya kalo diterjemahkan Tuan Ibrahim dan Bunga-Bunga dalam Al-Qur’an.
Saya suka film ini, karena tinjauan filosofisnya lumayan tinggi. Satu yang perlu dicatat, bahwa film ini sempat memenangkan Venice Festival Awards di tahun 2003, Golden Globe Awards di tahun 2004, dan banyak penghargaan internasional lainnya.
Film yang diproduksi pada 2003 silam tersebut diangkat dari novel karya Eric Emmanuel Schmitt di tahun 2001.
Apa isi film tersebut?
Film ini mengambil setting cerita di tahun 1960-an, dan mengambil tempat dipemukiman kumuh (slum) yang ada di pinggiran Paris, Perancis.
Ceritanya ada seorang remaja keturunan Yahudi bernama Moses (yang diperankan oleh Pierre Bulanger) yang menjalin persahabatan dengan Tuan Ibrahim yang beragama muslim. Tuan Ibrahim sendiri (yang diperankan oleh aktor gaek Omar Sharif) merupakan pemilik toko klontong di rue Blueu alias jalan Biru.
Sejak kecil Moses yang biasa dipanggil Momo, terbiasa hidup mandiri mengingat sang ayah yang sibuk bekerja, sementara ibunya telah meninggalkan mereka berdua sejak lama. Kondisi ini diperburuk oleh lingkungan dimana Momo tinggal, dimana banyak PSK beroperasi disana.
Kisah persahabatan dimulai saat Momo sering berbelanja di toko grosir milik Tuan Ibrahim. Momo terpaksa mencuri di toko Tuan Ibrahim gegara nggak punya duit.
Tuan Ibrahim tahu akan kelakuan Momo, tapi pura-pura nggak tahu. Alih-alih marah atau kesal, Tuan Ibrahim justru kasih petuah ke Momo, “Apa yang kau beri, kelak akan jadi milikmu selamanya. Sedangkan apa yang kau terima, kelak akan hilang entah kemana.”
Tuan Ibrahim cuma mau kasih pesan, sebagai manusia hendaknya bisa memberi ketimbang mengharapkan sesuatu pemberian dari orang lain.
Persahabatan yang terjalin erat antara keduanya, makin menguat saat ayah Momo meninggal dunia dan Momo kemudian diadopsi oleh Tuan Ibrahim. Sampai kemudian Momo diajak oleh Tuan Ibrahim untuk mengunjungi Turki, tempat Tuan Ibrahim berasal.
Saat perjalanan itulah yang akhirnya mengubah cara pandang Momo tentang hidup yang dianggap tidak adil, penuh kemalangan dan banyak keluhan lainnya.
Tuan Ibrahim banyak mengajarkan dirinya tentang nilai-nilai kehidupan. Tentang bagaimana hidup bertoleransi dengan pemeluk agama lain. Tentang bagaimana menjalin hidup yang harmonis tanpa membeda-bedakan agama yang dianut seseorang. Dan tentang bagaimana hidup dijalani dengan senyuman.
Perjalanan hidup keduanya terpaksa terhenti saat Tuan Ibrahim meninggal dunia dalam perjalanan pulang ke Turki. Tentu hal ini sangat memukul hidup Momo, yang saat itu tengah mencari jati diri sebagai seorang remaja yang puber.
Lantas apanya yang menarik dalam film tersebut?
Bagi saya, film tersebut bukan sekedar film tentang Islam dan Yahudi. Bukan juga soal toleransi yang terjalin dari kedua insan yang berbeda latar belakang budaya, agama dan usia. Tapi terlebih lagi, film ini bercerita tentang bagaimana manusia hidup sesuai dengan kodratnya sebagai ciptaan sang Khalik yang hakiki.
Tuan Ibrahim banyak mengedepankan sikap hidup seorang sufi, yang kaya akan kelembutan hati dan bersikap bersahabat pada orang lain meskipun memiliki berbeda latar belakang dengan dirinya.
Bagi seorang sufi, penampilan fisik bukanlah yang utama, tapi bagaimana akhlak-nya dalam menjalani hidup bisa menjadi panutan bagi orang lain. Sikap santun yang berakhlak inilah yang diyakini dirinya, akan mampu membuat orang lain untuk tertarik dalam mengenal nilai-nilai Islam.
Untuk menjadi seorang sufi, kita nggak perlu merubah diri kita secara drastis. Cukup jalani kehidupan sesuai dengan kodrat kita. Kalo jadi pedagang, jadilah pedagang yang baik. Begitupun kalo jadi pemimpin, jadilah pemimpin yang baik.
Dengan menjalani hidup penuh ucapan syukur, niscaya kita akan selalu dekat dengan sang Pencipta.
Melalui Tuan Ibrahim yang Muslim, Momo yang berlatar Yahudi jadi mengenal nilai-nilai kehidupan, terutama dalam menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan. Bagaimana seseorang Momo yang labil, diajar untuk selalu menyandarkan dirinya hanya pada Tuhan dengan cara menanggalkan egonya.
Menariknya, sebagai seorang sufi Tuan Ibrahim nggak pernah menggunakan ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam menjelaskan nilai-nilai kehidupan kepada Momo. Cara yang kontras justru diperlihatkan Tuan Ibrahim dengan cara tersenyum, bersikap lemah lembut dan menyebarkan cinta kasih.
Dengan cara tersebut, Tuan Ibrahim dapat menjalankan ajaran agama yang dianutnya, sekaligus memberikan suri tauladan tentang nilai-nilai hidup kepada Momo. Tanpa Momo merasa didoktrin olehnya.
Cukup menarik untuk melihat film ini, karena kaya akan nilai-nilai universal yang terkandung dalam Islam.
Bagi saya, film ini mengajarkan tentang satu hal, bahwa dalam hidup bermasyarakat, kebaikan suatu ajaran agama dinilai bukan berdasarkan atribut atau asesoris yang dipakai seseorang, tetapi pada akhlak mulia yang diterapkannya dalam keseharian.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments