PPDB = Pendaftaran Peserta Didik Bangkotan?
Oleh: Ndaru Anugerah
Baru lihat TV setelah sekian lama, langsung tayangan berita. Saya lihat ada sekelompok emak-emak yang demo di Balai Kota Jakarta, dengan tuntutan penghapusan kriteria umur pada sistem PPDB DKI 2020.
Gila saya pikir. Di tengah situasi pandemi yang saya percaya emak-emak itu pasti takutnya bukan kepalang sama si Kopit, tapi nekat juga menggelar aksi unjuk rasa yang sudah tentu nggak pakai kriteria social distancing yang diterapkan pemerintah.
Artinya kan aksi itu dirasa SANGAT PENTING, demi masa depan buah hati tercinta. Makanya dibela-belain sampai ikutan unjuk rasa. Benar kan ya?
Sebenarnya ada apa sih, kok mereka sampai nekat bersuara lantang?
Secara prinsip PPDB mengadopsi sistem zonasi yang bertujuan untuk memberikan akses pendidikan berkualitas selain mewujudkan TRIPUSAT PENDIDIKAN (sekolah, keluarga dan masyarakat).
Merujuk pada skenario zonasi, maka PPDB wajib menerima 90% siswa baru yang berdomisili dekat dengan sekolah. Dan 10% sisanya dibuka untuk pendaftar yang berasal dari luar zonasi. Nah angka 10% itu pun dipecah jadi 2 bagian, 5% untuk mereka yang berprestasi dan 5% untuk yang memiliki alasan khusus, misalnya perpindahan domisili ortu atau bencana alam.
Nah pada PPDB 2020 khususnya di wilayah DKI, ada aturan baru. Kuota jalur zonasi berkurang dari 80% menjadi 50%. 30% dialokasikan buat jalur prestasi, 15% dialokasikan buat jalur afirmasi dan 5% dialokasikan buat jalur mutasi/pindahan. (https://mamikos.com/info/pembagian-zonasi-ppdb-online-sd-smp-sma-dki-jakarta/)
Terus dimana masalahnya?
Munculnya SK Kadisdik DKI Jakarta No.506/2020 tentang Penetapan Zonasi Sekolah untuk PPDB Tahun Pelajaran 2020/2021.
“Apabila jumlah pendaftar PPDB jalur Zonasi melebihi daya tampung, maka dilakukan seleksi berdasarkan usia, urutan pilihan sekolah dan waktu pendaftaran,” begitu kurleb bunyi SK Kadisdik tadi.
Apa alasannya?
“Hal ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa masyarakat miskin justru tersingkir di jalur zonasi lantaran tidak dapat bersaing secara akademik dengan masyarakat yang mampu,” ungkap Nahdiana selaku Kadisdik DKI Jakarta.
Sebagai akibatnya, usia akan ditetapkan sebagai kriteria seleksi setelah siswa tersebut bertempat tinggal dalam zonasi yang ditetapkan, dan BUKAN LAGI PRESTASI.
“Usia yang lebih tua otomatis akan didahulukan. Sistem sekolah pun dirancang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Karena itu disarankan agar anak-anak tidak terlalu muda ketika masuk suatu jenjang sekolah,” tambah Nahdiana.
Ini diperkuat dengan keluarnya SK Kadisdik DKI Jakarta No.501/2020 tentang Petunjuk Teknis PPDB Tahun Pelajaran 2020/2021. “Untuk jalur zonasi diperuntukkan bagi usia tertua ke usia termuda, urutan pilihan sekolah dan waktu mendaftar.” (https://megapolitan.kompas.com/read/2020/06/15/14315611/usia-jadi-salah-satu-pertimbangan-jalur-zonasi-ppdb-jakarta-ini?page=all)
Terus berapa usia ideal bagi calon peserta didik?
Mantan Mendikbud Muhadjir Effendy mengeluarkan Permendikbud No.51/2018 tentang PPDB. “Peserta didik baru kelas 7 maksimal 15 tahun pertanggal 1 Juli berjalan. Sedangkan peserta didik baru kelas 10 maksimal 21 tahun pertanggal 1 Juli berjalan.”
Jadi nggak ada batasan usia minimal, hanya usia maksimal. Dengan kata lain, makin tua usia calon peserta didik baru, maka makin besar kans-nya untuk diterima di sekolah negeri.
Namun yang perlu diingat, bahwa PPDB harus dilakukan secara: non-diskriminatif, obyektif, transparan, akuntabel dan berkeadilan. (https://setkab.go.id/inilah-permendikbud-tentang-penerimaan-peserta-didik-baru-untuk-tk-sd-smp-sma-dan-smk/)
Berbekal semua informasi tersebut, maka teriaklah emak-emak yang merasa buah hatinya terzolimi dengan SK Kadisdik DKI Jakarta tersebut. “Zonasi itu sesuai dengan namanya dong, jadi harus sesuai jarak dan bukan pakai batasan umur,” begitu kurleb keluhan mereka.
Logikanya, akan banyak skenario dimana calon peserta didik yang memiliki domisili dekat dengan sekolah namun berusia muda, bakal tersingkir dengan calon peserta didik yang usia-nya lebih tua.
Dan ini jelas nggak adil.
Setidaknya, merujuk pada Permendikbud No.51/2018, ada 2 hal yang secara prinsipil dilanggar. Pertama asas obyektivitas dan kedua asas berkeadilan.
Lalu bagaimana nasib peserta didik yang usia muda? Apakah dipaksa masuk ke sekolah swasta? Kalo iya, apakah pemda DKI sudah memikirkan kondisi ekonomi orang tua, mengingat masuk ke sekolah swasta butuh BIAYA YANG NGGAK SEDIKIT?
Kedua, kalo spirit dari pemda DKI adalah memprioritaskan anak yang misqueen, ini jelas blunder? Kenapa juga nggak ditetapkan syarat prioritas bagi anak yang nggak mampu? Lagian anak yang nggak mampu dengan usianya, dimana nyambungnya? Bukankah untuk anak yang ‘kurang mampu’ sudah ada jalur afirmasi?
Dengan kata lain, itu mah akal-akalan doang. Aliasnya ada kesalahan prosedur yang dilakukan Pemda DKI lewat Kadisdik-nya.
Harusnya kalo pun diterapkan zonasi, ya pakai aturan jarak saja, nggak usah pakai embel-embel usia segala. Jadi nggak diskriminatif. Nah kalo kuotanya terbatas, pakai aturan yang obyektif, misalnya pakai syarat nilai raport atau ijazah. Itu jelas lebih bisa diterima dengan nalar.
Ketiga, dengan aturan umur yang ditetapkan, akan ada banyak kemungkinan usia peserta didik yang boleh terbilang uzur saat memasuki sekolah. Sebab apa usianya uzur? Bukan karena dia tidak mampu, tapi kemungkinan terbesar karena dia tinggal kelas.
Let’s say, begitu masuk SMA usianya 21 tahun. Begitu lulus SMA, usianya 24 tahun. Itupun kalo langsam 3 tahun. Kalo sempat nggak naik kelas, maka akan lebih tua lagi usianya begitu lulus sekolah nanti. Gimana mau cetak generasi bangsa yang kompetitif dengan usia uzur?
Akhirnya, apa salah jika orang membuat akronim PPDB sebagai Penerimaan Peserta Didik (usia) Bangkotan?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments