Skenario Minyak (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah
Proyek Nord Stream 2 yang dibesut Rusia, sebenarnya proyek lama semasa perang dingin dulu. Saat itu Uni Soviet selama beberapa dekade memasok gas alam ke seluruh Eropa melalui Ukraina.
Namun setelah Presiden Viktor Yanukovych digulingkan di tahun 2014, Ukraina bukan sekutu Rusia lagi. Karenanya, Rusia terpaksa cari jalur alternatif untuk menjalankan proyek Nord Stream 2 tersebut.
Gazprom sebagai perusahaan negara Rusia yang memasok gas tersebut, pada 2013 silam telah mengumumkan bahwa pasokan gas ke Eropa telah mencapai angka 30%, dengan peningkatan substansial ada di negara Inggris, Jerman dan Italia. (http://www.bloomberg.com/news/2014-02-18/fracking-doesn-t-threaten-russian-power.html)
Pemerintahan Trump jelas ketar-ketir dengan proyek Rusia tersebut. Jika ini berhasil, maka Rusia akan mampu memperketat cengkramannya atas pasokan gas ke Eropa.
Hal ini bisa berakibat 2 masalah bagi AS.
Pertama Uni Eropa akan makin tergantung pada supply gas yang diberikan Rusia. Dan kedua, AS bakal kehilangan pangsa pasar, karena kalah bersaing dengan Rusia perihal kemampuannya menyediakan sumber energi yang harganya lebih murah dengan cara praktis.
Dan ini nggak boleh dibiarkan.
Singkat cerita, Trump menjatuhkan sanksi atas proyek Nord Stream 2 tersebut. “Siapapun yang membantu perusahaan gas milik negara Rusia (Gazprom) menyelesaikan saluran pipa ke Uni Eropa, bakalan mendapatkan hukuman yang setimpal,” demikian bunyi UU yang ditandatangani Trump. (https://www.bbc.com/news/world-europe-50875935)
Bisa ditebak, gimana kesalnya sikap Rusia atas sanksi tersebut? Kok energi bisa-bisanya dibawa ke urusan politik?
Nggak aneh kalo sekarang OPEC + berencana memangkas produksi minyak atas pesanan AS, Rusia giliran membalas dengan menampik permintaan tersebut. “Mending ane keluar dari OPEC + dah.”
Dan Saudi sebagai good boy dari AS, kembali membalas sikap Rusia tersebut dengan melakukan perang harga minyak. Dibantinglah harga minyak serendah-rendahnya dengan harapan Rusia akan menjerit minta ampun diakhir cerita.
Nyatanya, tebakan Saudi meleset.
Rusia walaupun secara anggaran tetap menempatkan minyak sebagai sumber pemasukan negara, namun tetap bisa survive atas serangan Saudi tersebut yang menjual minyak dengan harga obral. Karena apa? Cadangan devisa yang dimilikinya.
Saat asyik-asyiknya perang harga, Corona kembali menghantam bisnis minyak dunia dan menghantar harga jualnya ke level terendah dalam sejarah dunia.
Secara kalkulasi, Saudi bakalan megap-megap, mengingat pada APBN-nya, harga minyak dipatok dengan sekitar USD 83 untuk mencapai titik impasnya. (https://www.hellenicshippingnews.com/saudi-arabias-breakeven-oil-price-to-dip-amid-lower-spending-says-imf/)
Dengan harga minyak obral saja Saudi bakalan defisit, gimana lagi dengan harga minyak seharga nol dollar? Bisa berdarah-darah Pangeran MBS.
Pertanyaannya: kenapa Saudi demikian nekatnya berani menantang Rusia?
Nggak lain karena ada AS dibelakang Saudi sebagai bodyguard-nya. Jadi, apapun yang terjadi AS nggak bakalan meninggalkan Saudi sendirian, mengingat sudah ada perjanjian sebelumnya.
“Mang kupikir Klan Saud bisa tetap eksis di negaranya selama lebih dari 7 dekade dari ancaman kudeta, tanpa ada bantuan AS, gitu?”
Skenario yang akan dimainkan adalah Saudi kelak akan mendapatkan ‘bantuan keuangan’ dari AS untuk menutup defisit APBN-nya. Jadi bakalan aman.
Kalo itu nasib Saudi, gimana dengan anggota OPEC lainnya?
Jika keruntuhan harga minyak terus berlanjut, bukan nggak mungkin akan menghancurkan anggaran nasional negara-negara pengekspor minyak mulai dari Venezuela, Nigeria hingga Iran. Dan memang ini situasi yang diharapkan AS dan Saudi. Maksudnya?
Saat itulah, The Big Oil Companies (Exxon Mobil, Chevron Texaco, BP Amoco and Royal Dutch/Shell) akan membeli banyak perusahaan minyak (yang kolaps saat harga bahan bakar tersebut terus melorot), dengan harga obral. Ibarat sambil menyelam minum air, Bray…
Apakah skenario akan berjalan sesuai rencana?
Tampaknya pandemi akan segera berlalu di China diikuti oleh bagian-bagian Eropa serta wilayah Asia yang mengarah pada pembukaan kembali ekonomi sekaligus pencabutan beberapa pembatasan seperti stay at home yang sangat masif dikampanyekan PBB.
Merujuk pada laporan yang rilis BBC (14/4), dua negara Eropa (Austria dan Italia) berencana mengangkat status lockdown di negaranya pada awal Mei ini. (https://www.bbc.com/news/world-europe-52275959)
Dan seperti halnya lockdown yang sifatnya ‘membeo’, kalo aksi pembukaan kembali tersebut terbilang sukses, maka banyak negara akan mengikutinya.
Faktor kunci yaitu China dan Rusia (sebagai penantang skenario yang dibesut AS tersebut), bakal memainkan peranan yang signifikan sebagai katalis. Apakah skenario tersebut bakal berhasil atau justru malah sebaliknya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments