Oleh: Ndaru Anugerah
Hari Minggu yang lalu, seperti biasa jalan-jalan sama keluarga untuk sekedar refreshing. Mumpung jalanan sepi, pikirku.
Saat melewati beberapa supermarket, tampak beberapa mobil sudah mengular untuk membeli bahan kebutuhan pokok.
“Persiapan lockdown,” kata beberapa orang yang sedang mengantri.
Sesaat saya tersenyum sekaligus sedih.
Senyum karena benar dugaan saya kalo mayoritas rakyat Indonesia ternyata adalah orang yang minim literasi. Cara paling mudah mengidentifikasinya adalah gampang panik dan juga gampang ditipu. Rush terhadap barang kebutuhan pokok adalah buktinya.
Sedih juga, karena mereka nggak sadar akan dampak dari aksi rush tersebut. Yang paling mungkin terjadi adalah harga-harga barang keebutuhan akan terkerek naik karena permintaan meningkat. Buat mereka yang berduit, mungkin nggak masalah. Tapi bagaimana yang misqueen?
Boro-boro ikutan nge-rush, lha wong bisa hidup sehari-hari aja sudah susah. Apalagi kalo harga akhirnya naik? Duit dari mana akan mereka dapat?
Tapi, bukan itu yang saya akan bahas lewat tulisan saya kali ini. Saya akan coba bahas tentang lockdown yang sekarang makin ramai dibicarakan masyarakat di negeri ber-flower ini.
Merujuk kepada definisi yang dikeluarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDD), lockdown berarti kuncian adalah situasi dimana orang nggak diizinkan masuk atau keluar suatu daerah karena keadaan darurat.
Dan pihak yang berwenang dalam mengeluarkan lockdown tadi, tentu pihak yang punya otoritas seperti kepala negara.
Ini bisa dimungkinkan karena lockdown berkaitan erat dengan banyak departemen, misalnya kesehatan, sosial, keamanan dan pertahanan ataupun urusan dalam negeri.
Nggak heran kalo pihak sekelas presiden-lah yang punya wewenang untuk mengkoordinasikan departemen-departemen tersebut.
Berdasarkan protokolnya, lockdown punya beberapa aturan yang ketat seperti: membatasi masyarakat untuk keluar rumah, ketersediaan bahan makanan bagi masyarakat yang terkena dampak lockdown tersebut, sampai pencegahan tindakan rusuh akibat panik yang ditimbulkannya.
Walaupun lockdown pernah diberlakukan oleh beberapa negara semisal China, Italia, Denmark, Filipina dan Irlandia, bukan berarti lockdown bisa diterapkan seenak jidat.
Kenapa?
Begitu lockdown diberlakukan, maka akan menimbulkan efek domino. Contoh yang paling sederhana adalah panic buying seperti yang saya lihat kemarin. Jika ini terjadi terus menerus, bisa dipastikan harga-harga akan meroket.
Dampak lainnya adalah aktivitas ekonomi sudah pasti akan terganggu. Karena banyak orang tinggal di rumah, maka tingkat konsumsi masyarakt akan merosot. Belum lagi harga yang terkerek naik, makin banyak memicu orang untuk konsumsi seadanya. “Makan mie instant aja deh mendingan.”
Dan lockdown akan memicu orang untuk berbondong-bondong menarik uangnya di bank-bank dan mereka lebih menyimpan dalam bentuk cash. Bisa dibayangkan nasib perbankan jika aksi tarik tunai secara massal terjadi?
Menghitung semua hal yang sangat mungkin terjadi, maka Jokowi cermat berhitung. Dengan memberlakukan lockdown, pasti akan berimplikasi pada kepemimpinan nasional yang kini diembannya. Dengan kata lain, lockdown sama saja nyuruh dia minum racun.
“Saya masih belum berpikir untuk lockdown,” demikian pernyataannya. Artinya, jangankan mau ambil langkah lockdown, mikir aja belum.
Seperti ulasan saya sebelumnya, bahwa skenario panik global sengaja dihembuskan agar tercipta suasana mencekam internasional. Siapa pemainnya, silakan baca ulasan saya (baca disini).
Agar lebih dramatis suasananya, maka lockdown adalah protokol yang diwajibkan. Gimana mau menjalankan rencana vaksinasi global, kalo kondisinya adem ayem?
Singkat cerita, Jokowi-pun ditelpon oleh Tedros dengan maksud memberikan tekanan. Intinya: “Ente wajib me-lockdown Indonesia.”
Sialnya, Jokowi malah keras kepala dan nggak mau nurutin ‘arahan’ Tedros. Paling pol yang dilakukan adalah mengeluarkan Keppres No.7/2020 tentang Pembentukkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona yang diketuai Doni Monardo. Padahal bukan itu yang diharapkan.
Namun, bukan AS namanya kalo gampang keok. Setelah pakde menolak, maka giliran para komprador yang giliran menyalak untuk memuluskan agenda tuannya.
Ada opa Jack yang mendesak dengan melontarkan ucapan: “Kalo trend yang terinfeksi terus naik, maka nggak ada cara lain selain lockdown,” begitu kurlebnya. (14/3)
Bicara tentang opa Jack, maka nggak aneh kalo gabener sebagai golden boy-nya juga mengeluarkan kebijakan yang sama. Saat dia mengelurakan kebijakan social distancing, eh armada trans Jakarta malah dibatasi. Yang ada orang makin berjubel didalam busway yang cuma beroperasi seadanya.
“Alih-alih social distancing, yang ada orang makin rentan tertular COVID-19 di dalam busway yang crowded.”
Dan terakhir, nggak ketinggalan ikutan menyalak adalah partai Cikeas dan juga partai Kandang Sapi. Kedua kompak bersuara: “Indonesia harus lockdown, segera.” Emejing…
Dibalik gonggongan tersebut, beredar kabar dari negeri antah berantah tentang kemungkinan kudeta untuk menggulingkan Jokowi. Dinarasikan, Jokowi akan dikudeta lewat gerakan rakyat dengan atau tanpa lockdown.
Entah bagaimana ngitung togelnya?
Biar saya kasih tau ya, target lockdown tersebut bukan untuk menumbangkan Jokowi saat ini, tapi sekedar untuk memaksanya menerapkan status lockdown. That’s it. Setelah lockdown, maka akan ada skenario vaksinasi global. Begitu rencananya.
Tapi saya ragukan keberhasilannya.
Lagian, Jokowi saat ini tengah dikelilingi orang-orang militer yang cukup loyal pada dirinya. Tengok siapa saja yang ada di ring-1 Jokowi? Mayoritas berlatar militer, kan. Bahkan Menkes-nya pun militer.
Kalopun ada kudeta, triumvirat yang akan menggantikannya-pun, juga sudah dipikir masak-masak oleh pakde. Ada Mendagri, Menlu dan Menhan, yang semuanya ada dalam kendali Jokowi.
Jadi kalo tiba-tiba ada isu kudeta dibalik gerakan lockdown, pasti ente mainnya kurang jauh.
“Apa ente mau tunjuk wan Aibon jadi pengganti pakde lewat lockdown?”
Yang bokir…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments