Jaman berubah begitu cepat seiring dengan hadirnya revolusi digital. Sangat dahsyat perubahan terjadi, bukan lagi hitungan tahun atau bulan, tapi sudah hitungan hari, bahkan menit.
Dulu saya ingat, semuanya berjalan sangat lambat. Seolah perubahan itu cuma khalayan semata. Tiap malam selalu ada program Dunia Dalam Berita di TVRI yang sesekali di-potong dengan program mancing mania yang dilakukan kroni-kroni Cendana. Entah apa maksudnya?
Semuanya hanya berpatokan pada televisi dan radio sebagai media konvensional sebagi hiburan maupun sebagai sumber informasi. Itu yang terjadi sampai dekade 1990an akhir.
Tiba-tiba muncullah telpon selular.
Orang mulai meninggalkan telpon konvensional dan beralih menggunakan telpon selular dengan fasilitas personal touch-nya. Ini kemudian menjadi lengkap, saat fitur ponsel dilengkapi dengan beragam aplikasi yang memungkinkan orang berkomunikasi tanpa batas. Dimana saja dan kapan saja.
Karena alasan praktis inilah, orang mulai meninggalkan media konvensional.
Lengkaplah sudah. Revolusi digital mulai melakukan disrupsi pada media konvensional. Media-media konvensional semisal televisi dan radio sudah mulai sepi ditinggalkan pemirsanya.
Mungkin kasus Net TV bisa dijadikan rujukan, bagaimana media komunikasi konvensional yang mulanya digadang sebagai “televisi masa kini”, sekarang mulai ditinggal pasarnya dan menuju fase kebangkrutan. Apa penyebabnya?
Nggak lain karena era digital dengan disrupsinya-lah yang menggilas media-media konvensional, tanpa ampun. “Ngapain nonton TV, mendingan nonton Netflix,” demikian ungkap milenial.
Melihat gelagat ini, maka KPI praktis berpikir. “Lha kalo media konvensional pada gulung tikar karena hadirnya media digital, terus kerjaan kita nanti apa?”
Serta merta keluarlah pernyataan bahwa KPI akan melakukan pengawasan terhadap media-media non konvensional alias media digital semisal Youtube dan Netflix. “Agar kualitas tayangannya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,” begitu dalihnya.
Menanggapi hal ini, ramainya jagad dunia maya. Beragam responnya, tapi mayoritas sudah pasti menolak rencana abrakadabra tersebut.
Dalam sekejab nongol deh yang namanya petisi di change.org yang isinya menolak rencana konyol tersebut. Bahkan #tolakKPIawasiYOUTUBE di twitter malah sempet jadi trending topic.
Menurut kewenangan yang diberikan pada KPI merujuk pada UU No.32/2002 tentang penyiaran, yang jadi tanggungjawab KPI adalah media-media konvensional saja. Sedangkan media-media digital mah bukan kewenangan KPI lagi.
Lagian, media digital seperti Netflix kan sudah dilengkapi fitur ‘Parental Control’ yang bisa disetting orang tua agar anak-anak dibawah umur tidak bisa mengakses konten yang berbau pornografi, misalnya.
Selain itu, media digital menyajikan konten yang sangat kompatibel dengan generasi milenial. Mereka punya karakteristik visual yang kuat dan imajinasi yang tinggi. Dan media digital sudah menyediakan layanan ini. Coba ditanya anak-anak, mau nonton tivi atau liat youtube?
Harusnya KPI melakukan retrospeksi diri, terhadap kinerjanya. Apa sudah maksimal?
Beralihnya pasar dari media konvensional ke media digital dengan layanan berbayar (over the top) sekalipun, adalah bukti kurang bermutunya tayangan yang ada di televisi-televisi kita.
Coba perhatikan tayangannya, apa banyak gunanya?
Nggak usah terlalu jauh, lihat tayangan sinetron. Apa yang didapat, selain eksplorasi kemiskinan, penderitaan dan perceraian? Sekalinya ada tayangan reality show, malah kontennya alay. Ada-lah orang gebuk-gebukan. Ada-lah yang selingkuh ketahuan. Gaje bingo bray…
Bayangkan tayangan ini ditonton terus menerus oleh orang tua berikut anak-anak mereka. Konten tersebut akan mereka rekam dalam bawah sadar mereka. Dan tiba giliran mereka terjebak pada suatu masalah dikehidupan nyata, yang ada di otak bawah sadar-lah yang akan mereka recall.
Jadi jangan heran kasus pembunuhan dan perceraian kian meningkat dari hari ke hari. Karena bisa jadi dipicu oleh tayangan-tayangan yang nggak mendidik. Yah, dari tivi-tivi itu..
Merasa muak dengan tayangan yang unfaedah, maka sebagian masyarakat rela merogoh kocek dan beralih ke tayangan digital, yang minimal bisa memberi sesuatu manfaat buat anak-anaknya.
Apa KPI bisa memperbaiki kinerja mereka terhadap konten tayangan di televisi?
“Kami tidak segan melakukan teguran keras terhadap aduan masyarakat terhadap konten tayangan yang nggak sesuai,” begitu kata seorang anggota KPI. Tapi apa buktinya? Apa ngefek?
Aliasnya efek jera yang seharusnya diharapkan demi meningkatnya kualitas tayangan televisi, nggak juga terjadi.
Belum lagi kerjaan KPI yang kerap mem-blur setiap tayangan yang diduga mengandung konten pornografi sesuai pemahaman mereka doang. Shizuka temannya Doraemon pake baju renang karena mo renang, langsung di-blur. Apa anak kecil bakal birahi melihat Shizuka pake pakaian renang?
Lagian, kalo nggak pake pakaian renang, apa Shizuka perlu pake gaun pesta buat renang?
Dengan kata lain, publik jadi bertanya-tanya ada apa dibalik sikap ngototnya KPI terhadap wewenangnya untuk mengawasi media-media digital? Apa ada udang dibalik bakwan, Malih?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments