Memahami Langkah Cabut Banding Ahok
“Yah…kenapa juga Ahok nyabut kasus banding-nya? Apa takut nanti kasus-nya seperti Jessica Wongso, yang pas banding malah dijatuhi hukuman lebih berat dari sebelum-nya? Kan mungkin-mungkin aja…orang juga tahu kalo orang-orang di pengadilan, terutama ketua MA-nya adalah genk Makassar, temen-temennya JK juga,” demikian gerutu orang-orang disekitar saya menanggapi langkah cabut banding yang dilakukan Ahok. Pertanyaan-nya sederhana: apa benar situasinya seperti yang mereka takutkan?
Sebelum membahas diskursus tersebut, saya teringat pada salah satu peristiwa sejarah. Ya, peristiwa Munich 1972, tepatnya 5 September 1972. Di ajang olimpiade yang digelar di kota Munich – Jerman Barat waktu itu – ada sekelompok teroris yang bernama Black September yang tega menghabisi nyawa para atlet dari Israel yang tengah ikut ajang tersebut. Tercatat 9 orang atlet Israel tewas.
Peristiwa tersebut merupakan peristiwa kelabu buat bangsa Israel, karena mereka “kecolongan” dengan aksi teror Black September. Seolah sadar dengan kesalahan-nya, PM saat itu, Golda Meir, segera membentuk pasukan khusus dibawah komando-nya. Pasukan itu diberi nama Penuntut Darah. Tujuannya satu: balas dendam. Buat orang Israel, aksi teror harus dibalas dengan aksi teror. Istilah mereka: mata ganti mata, mulut ganti mulut, dan nyawa ganti nyawa.
Secara singkat Mossad telah mengantungi nama-nama tertentu yang dipercaya bertanggungjawab terhadap serangan Munich tersebut. Operasi senyap ini sendiri memakan waktu yang lumayan lama dan dana yang tidak sedikit. Mereka bergerak secara diam-diam, dan menghabisi target mereka satu per satu. Ditengah hiruk pikuk-nya kota Paris, mereka bergerak senyap, namun pasti. Dan efek-nya para desainer teror Munich-pun tumbang, karena serangan bom atau-pun tertembus timah panas tim penuntut darah.
Saya sendiri kurang menyukai Israel. Tapi ada satu hal yang buat saya selalu teringat akan aksi agen Penuntut Darah dibawah komando PM. Golda Meir, yaitu operasi senyap (silent operation). Kenapa saya tertarik akan hal ini? Yah karena Jokowi. Maksud-nya? Jokowi adalah contoh seorang tokoh operasi senyap. Dengan senyap, dia bias berpikir jernih untuk sekedar plotting siapa musuh-nya dan bagaimana menghabiskan-nya. Perhatikan dalam setiap langkah-nya, selalu menghindari kegaduhan.
Kalo situasi gaduh, dia akan sulit bekerja menjalankan operasi-nya. Dia harus bergerak dalam keheningan. Ingat kasus KMP di DPR tempo hari. Lewat operasi senyap-nya, pakde menjalankan strategi, dan ujung-ujungnya KMP-pun terpaksa bubar grakk.. Begitu-pun dengan reshuffle di kabinet yang berjalan 2 kali. Apa ada kegaduhan terjadi? Gak ada bro…Faking krezi, kan…Yah, paling-paling JK doang yang manyun, karena orang-orang-nya di kabinet pada dipretelin wan-bai-wan..
Tapi untuk kasus Ahok, seakan pakde mengalami skenario yang berbeda. Disini pakde dihadapkan pada situasi gaduh. Ibarat buah simalakama, dia jadi serba salah. Kalo dia membela Ahok, kubu lawan siap menghantam diri-nya. Nah kalo dia tidak membela Ahok, Ahokers pasti maki-maki beliau. “Masa friend nyuekin friend, sih??”
Sadar posisi-nya yang dilematis, pakde memilih diam, walau-pun dia tahu konsekuensi-nya. Sekilas kita melihat, kok tega benar sama teman-akrabnya? Terlebih kita melihat Ahok dipaksa masuk bui lewat vonis 2 tahun. Dimana adil-nya? Lha yang bakar Wihara di Tanjung Balai aja, paling banter cuman vonis 2 bulan, bro?? Toh, keputusan hakim tidak Ahok mentahkan. Bahkan yang terbaru, Ahok membatalkan proses banding yang rencana-nya akan ditempuh di Pengadilan Tinggi Negeri. Apa hitungan-nya?
Bukan karena Ahok takut berjudi lewat kasus banding tersebut, karena Ahok bukan-lah seorang penjudi. Bukan pula Ahok puas dengan putusan yang diterima-nya, karena nenek-nenek juga tahu kalo itu nggak adil. Tapi lebih kepada, “pengertian-nya” kepada sabahat-nya, Jokowi. Ahok sangat sadar, kalo dia mengajukan banding, dan berhasil dimenangkan-nya, situasi ricuh pasti tak terelak-kan.
Demo berjilid-jiilid atas kasus penistaan agama-pun kembali digelar, kalo perlu sampe lebaran kuda. “Nah kalo gitu, kapan gue bisa nge-jalanin operasi senyap-nya” demikian gumam pakde. So, Ahok ambil langkah dukungan. Dia tarik berkas banding-nya, demi menyokong kawan seperjuangan-nya untuk memperbaiki Indonesia, dengan tidak menciptakan suasana gaduh.
Coba kalo kita lihat, sekarang apa gak ada langkah berarti yang dibuat Jokowi? Pembubaran HTI adalah sebuah langkah berani, tanpa situasi gaduh. Nah, SBY yang mantan jenderal aja gak berani bubarin HTI, lho….
Menurut analisis saya, dengan ungkapan “Gebuk” yang terlontar dari-nya saat bertemu dengan para pemimpin media massa di istana negara tempo hari, ke depan akan ada langkah-langkah “surprise” yang akan membuat kubu lawan mendadak jantungan dibuat-nya. Dan ini hanya bisa dilakukan saat semua-nya dalam kondisi senyap, tanpa sedikit-pun riak. Tiba-tiba: “Surprise…!!”
Ah, jadi menarik mencermati operasi senyap ala pakde. Apalagi jika melihat Bibib yang tak kunjung pulang, yang akhirnya membuat neng Firza meradang dan kaum goyang dombret-pun kejang-kejang. One simple wish: Semoga ini akan menjadi awal yang baik…
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments