Too Good To Be True


512

Too Good To Be True

Dalam bahasa Inggris, ada frasa too good to be true. Ini digunakan untuk menggambarkan suatu yang terlalu muluk untuk menjadi kenyataan. Hampir gak mungkin terjadi, karena terlalu mudah…

Tahun konsolidasi, adalah term yang digunakan untuk tahun ke-4 pemerintahan jokowi. Semua sudah dikonsolidasikan, demi suksesi di tahun 2019. Itu minimal. Sekelas pakde, pasti 2024 juga sudah dihitung, lah…

Semua lini sudah ditambal, bahkan daerah-daerah yang boncos perolehan suaranya, semisal jawa barat, sumatera barat dan nusa tenggara barat, pakde juga sudah “melempar jangkar”, dengan tujuan konsolidasi tadi.

Pertanyaannya, apa pakde akan menang mudah di 2019?

Seperti kita tahu, akhir-akhir ini ada upaya untuk menggoyang proses konsolidasi itu. Dari mulai isu hoax yang kian masif, sampai teror bom yang dilakukan oleh teroris JAD yang berafiliasi ke ISIS. So far, memang belum menunjukkan tanda-tanda kesuksesan.

Ada pepatah yang mengatakan, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Artinya, serapat apapun konsolidasi yang dilakukan pakde, pasti ada titik lemahnya. Dan pihak oposisi sangat mengetahui kondisi tersebut.

Mulai-lah para ‘barisan sakit hati’ menyatukan visi. Mereka itu adalah mafia kelas kakap, koruptor, sampai para konglomerat hitam, yang selama ini ‘keran’nya ditutup oleh kebijakan pakde. Tujuannya jelas, jokowi harus dilengserkan di 2019 nanti.

Saat ini, partai oposisi adalah PAN, Gerindra, PKS dan PBB, yang sudah ancang-ancang untuk mengalahkan sosok jokowi. Bahkan tagar #2019gantipresiden masif digelar. Cuma menurut analisa saya, ini hanya bluffing alias gertak sambal semata, karena belum adanya calon definitif siapa yang akan digadang-gadang menantang seorang jokowi di 2019 nanti.

Semua bersifat sangat cair. Karena ada banyak pertimbangan menentukan calon definitif.

Namun, ada ‘pihak’ yang belum bersuara. Benar!! Partai Demokrat. Selama ini, sang Pepo masih gamang dalam melangkah. Khas seorang SBY. Ragu dalam bertindak. Seorang plegmatis sejati. Tapi yang perlu dicermati adalah fakta bahwa seorang plegmatis memang seolah lemah diluar, tapi sebenarnya karakternya kuat.

Ini juga yang menjelaskan, mengapa sang Pepo bisa berkuasa 2 periode di negara ini, tanpa kendala yang berarti. Konon katanya, sang Pepo cukup mumpuni melakukan operasi senyap dengan menggerakkan ‘intelijen’. Itu kekuatan dia yang utama, menggiring opini publik.

Apa contohnya? Saya ingat ketika banyak pihak menggugat kemenangan sang Pepo dengan hanya 1 putaran saat pilpres 2009, lalu apa yang terjadi?

Bom Mega Kuningan meledak tepat 1 minggu setelah hasil pilpres dirilis. Dan semua orang sontak berpaling pada Nurdin M. Top sang master-mind, seakan lupa pada esensi gugatan dugaan kecurangan hasil pilpres 2009. Apa cuma kebetulan??

Satu yang ada di kepala sang Pepo saat ini. Bagaimana anak kesayangannya – AHY – setidaknya mendapatkan jabatan di perhelatan 2019 nanti. Setidaknya, sas-sus yang saya dengar, kursi cawapres sudah diincar. Kalo goal ini tidak mendapatkan respon, bukan tidak mungkin akan ada polarisasi menuju 2019 nanti.

Menjadi menarik mengikuti jalan panjang dan berliku di 2018 ini. Yang jelas too good to be true untuk seorang pakde menang mudah. Perlu rekalkulasi. Dimana tiap langkah sangat perlu untuk dihitung cermat. Bahkan dalam hitungan detik…

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!