Sulitnya Mempertahankan Hegemoni


525

Sulitnya Mempertahankan Hegemoni

Oleh: Ndaru Anugerah – 03062025

Apa yang membuat hegemoni AS secara global mulai surut?

Apa indikatornya?

Salah satunya adalah kemerosotan di bidang intelijen-nya.

Maksudnya?

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa AS merupakan pemimpin dunia unipolar. Setidaknya AS pernah menjadi polisi dunia.

Ini bisa dimungkinkan karena kemajuan intelijen yang dimilikinya. Bagaimana AS bisa memiliki hegemoni yang demikian besar, jika nggak ditunjang oleh kemampuan intelijen-nya yang di atas rata-rata?

Tapi itu dulu.

Kini seiring dengan perkembangan jaman ke era digital, kemampuan intelijen-nya mulai mlorot drastis. Salah satu celah adalah bagaimana sulitnya lembaga Langley tersebut melakukan perekrutan pada orang asing yang bakal dijadikan agen atau sekedar informan buat mereka.

“Tampaknya intelijen AS mengalami kesulitan teknis, strategis dan taktis-operasional, sehingga CIA gagal merekrut mata-mata dan informan di luar negeri. Mereka mulai enggan bekerja sama dengan Washington,” ungkap Washington Post baru-baru ini. (https://www.washingtonpost.com/national-security/2025/05/28/cia-spy-china-russia-ratcliffe/)

Kenapa hal ini bisa terjadi?

Karena makin canggihnya pengawasan modern di seluruh dunia, sehingga menyulitkan para agen-nya untuk beroperasi di negara asing, utamanya dalam merekrut agen-agen baru.

Setidaknya, Wakil Direktur CIA, Michael Ellis mengamini hal tersebut.

“CIA mengalami kesulitan dalam merekrut agen asing karena (CIA) masih menggunakan teknik semasa Perang Dingin. Meskipun beberapa alat dan teknik di eras Perang Dingin masih berfungsi hingga saat ini, namun banyak diantaranya yang perlu diperbaharui dan diremajakan,” ungkapnya. (https://www.rt.com/news/618306-cia-recruitment-problems-wapo/)

Bahasa sederhananya, teknik yang dikembangkan CIA dalam perekrutan, nyatanya masih mengandalkan tindakan fisik berupa pertemuan tatap muka dalam perekrutan serta taktik konvensional lainnya.

Seiring dengan masuknya era digital, teknik perekrutan tersebut menjadi jadul dan nggak bisa menjawab tantangan jaman. “Masa iya udah jaman digital, kok ngerekrut agen harus tatap muka? Apa nggak bisa online?” begitu kurleb-nya.

Masalah dimulai saat plandemi Kopit melanda dunia di 2020.

Saat itu, CIA seperti banyak lembaga lain di seluruh dunia harus beradaptasi denga realitas dunia dimana pertemuan tatap muka hampir nggak mungkin dilakukan, sehingga mau-nggak-mau harus mengalihkan sebagian upaya intelijen-nya ke ranah digital.

Apesnya, negara-negara yang dimata-matai AS telah menyempurnakan sistem pengawasan dan kontra-intelijen mereka, yang secara efektif bereaksi terhadap provokasi yang dilakukan para agen AS di negera tersebut.

Akibatnya?

Ruang gerak para agen AS di luar negeri, secara khusus pada negara-negara yang sudah ‘melek’ teknologi digital, menjadi keteteran.

Misalnya bagaimana para spy AS bisa ditanggap di China karena kegiatan spionase yang dilakukannya. (https://edition.cnn.com/2023/09/11/china/china-john-leung-mms-spy-accusations-intl-hnk/index.html)

Atau bagaimana agen AS bisa ditangkap di Iran karena kegiatan mata-mata yang dilakukannya. (https://www.dailymail.co.uk/news/article-10062169/CIA-admits-informants-executed-Iran-China-communications-breached.html)

Aktivitas yang sama juga dilakukan para agen AS di Rusia yang kemudian terendus oleh pemerintahan setempat. (https://www.reuters.com/world/europe/moscow-court-arrests-american-national-espionage-russian-news-agencies-2023-08-17/)

Pertanyaannya: kenapa aktivitas mereka bisa diketahui negara-negara target?

Jawabannya sederhana.

Pertama, negara-negara target sudah meng-up grade kemampuan mereka dalam bidang pengawasan digital. Dan yang kedua, lembaga intelijen dan agen-agen AS bisa dikatakan ketinggalan jaman alias gagap teknologi.

Sekalipun ada aktivitas propaganda yang dilakukan para agen AS pada media sosial, caranya masih terbilang kampungan dan amatiran.

Contoh yang paling simpel adalah upaya provokasi yang dilakukan CIA, dengan membuat video propaganda dalam bahasa Mandarin pada jejaring media sosial di Barat, yang ditujukan pada warga China untuk mau membocorkan informasi sensitif pada Washington. (https://www.bloomberg.com/news/articles/2025-05-06/china-condemns-cia-videos-that-try-to-lure-disaffected-officials)

Cara ini punya setidaknya menunjukkan 2 kelemahan.

Pertama, nggak tepat sasaran karena yang menjadi target audiens bukan warga Tiongkok. Dan kalaupun ada warga China yang mendengar seruan video propaganda tersebut, apa mereka mau membocorkan informasi penting buat AS? Lantas apa untungnya buat mereka?

Walhasil, upaya tersebut GATOT KACA alias Gagal Total Kacau Jadinya.

Dengan kata lain, kalo dulu bekerja sebagai agen CIA ataupun sebagai informan-nya, dianggap sebagai pekerjaan yang prestisius, maka sekarang statusnya berubah 180 derajat. Apa untungnya bekerja sebagai agen CIA?

Jika AS mengalami pelemahan pada bidang intelijen dan keamanannya, ini bisa jadi pertanda awal bahwa AS harus rela kehilangan statusnya sebagai polisi dunia dalam tatanan dunia unipolar.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!